Rabu, 29 Juli 2015

'Siat-siat Wayang'

KEARIFAN lokal yang berikutnya sebagai kristal nilai-nilai agama Hindu di Bali ada disebutkan dalam bahasa Bali seperti ini, 'siat-siat wayang pemuput mepunduh di gedongane'. Kalimat ini maksudnya, 'seperti perang dalam pewayangan, akhirnya semua wayang berkumpul kembali di keropak (kotak) tempat menyimpan wayang.'

Kearifan lokal ini mengandung nilai-nilai manajemen konflik yang benar-benar arif. Dalam cerita pewayangan, Ki Dalang umumnya melengkapi pementasannya dengan adanya perang antara ruang kenawan lawan ruang kebot. Maksudnya, wayang simbol kebaikan dan kebenaran (dharma) umumnya dimainkan dengan tangan kanan Ki Dalang, sedangkan simbol kejahatan (adharma) umumnya dimainkan dengan tangan kiri Ki Dalang. Setelah Ki Dalang selesai pentas, semua wayang yang dimainkan dengan tangan kanan maupun dengan tangan kiri kembali disatukan terkumpul dalam kotak wayang.

Perang dalam bahasa Bali disebut siat atau masiat. Leluhur orang Bali yang beragama Hindu pada zaman dahulu umumnya pementasan wayang inilah yang paling digemari. Apalagi saat itu teknologi hiburan tidak seperti sekarang majunya. Dari seringnya nonton wayang itulah timbul kristalisasi pemikiran para pemikir orang tua-tua dahulu. Dari sanalah muncul kristalisasi istilah "siat-siat wayang pemuput mepunduh di gedogane".

Kristalisasi nilai inilah yang umumnya dinasihati kepada mereka yang sedang dilanda konflik. Mereka yang berkonflik itu sebenarnya tidak dicela karena mungkin memang ada sesuatu hal ketidak-mampuan mereka dalam bermusyawarah. Orang-orang yang arif umumnya akan menasihati dengan istilah "siat-siat wayang" tadi.

Ini maksudnya untuk mengingat bahwa kita bersaudara -- saudara sekandung, saudara sebanjar, sedesa, satu kawitan, atau memiliki kesamaan ideologi politik, dan sebagainya. Habis ribut-ribut berkonflik, mereka diharapkan sadar bahwa kalau mereka dapat rukun kembali akan banyak pihak akan diuntungkan.

Jadi, kearifan lokal "siat-siat wayang" itu mengandung nilai yang universal guna memberikan kontribusi untuk memanajemen konflik yang sudah terjadi. Setidak-tidaknya mengarahkan konflik itu dari fight menuju flight. Dari kondisi ini mungkin bisa diarahkan menuju kondisi agreement -- kondisi yang mengarah pada terbentuknya perjanjian-perjanjian menuju rekonsiliasi. Rekonsiliasi artinya kembali rukun dan damai seperti semula. Rekonsiliasi itu puncak dari penyelesaikan konflik dengan metode mediasi dengan mediator-mediator yang cerdas, sabar dan ulet.

Perang yang dipentaskan oleh Ki Dalang adalah perang yang terus menerus terjadi di dalam diri manusia dan di dalam bhuwana agung ini. Yang dilukiskan dalam wayang itu adalah perang antara Dewi Sampad (kecenderungan kedewaan) melawan Asuri Sampad (kecenderungan keraksasaan). Kalau satu pihak dikuasai oleh kecenderungan kedewaan, maka ia pun akan menampilkan perbuatan yang benar dan baik. Di lain pihak, ada yang sedang dikuasai kecenderungan keraksasaan.

Dua kecenderungan inilah yang umumnya dipentaskan berperang oleh Ki Dalang. Karena, setiap orang bisa saja khilaf sehingga ia pun berbuat yang tidak baik. Namun, suatu saat ia pun bisa sadar. Saat sadar itu janganlah ia dimusuhi. Ajaklah kembali bersama dan bersatu. Demikian juga dalam hubungan sosial tidak selalu kita bermusuhan atau bersahabat. Kadang-kadang sahabat bisa jadi musuh bahkan musuh bisa berbalik jadi sahabat.

Pisahkanlah antara dua kecenderungan kedewaan dengan keraksasaan sebagai ekspresi sifat manusia dan kemanusiaannya sendiri. Pada hakikatnya, kemanusiaan itu baik karena ada Sang Hyang Atma bersemayam dalam diri setiap orang. Yang patut dimusuhi dengan tujuan memperbaiki adalah sifat-sifatnya. Inilah yang dipentaskan oleh Ki Dalang. Dua kecendrungan itu memang pasti akan selalu bertarung. Nilai-nilai kemanusiannya yang suci itulah yang harus terus diingat dan itulah yang dijadikan pedomanan membangun kebersamaan dan persatuan.

Itulah yang diingatkan oleh leluhur kita dahulu agar terus diejawantahkan sehingga kita dapat bersatu kembali bagaikan wayang berkumpul kembali di dalam gedogan wayang. Nasihat kearifan lokal ini tidak bersifat menggurui orang yang sedang berkonflik. Wayang itu hanya ditunjuk sebagai contoh yang sangat patut diteladani. Demikian bijaknya leluhur zaman dahulu mengatasi persoalan. Dengan cara itu manusia dituntun untuk membeda-bedakan kecenderungan sifat manusia dan mana kemanusiaan yang universal itu.

Di samping itu, tidak ada yang kekal di dunia ini. Orang berkonflik juga tidak kekal. Orang bersahabat juga tidak ada yang kekal. Hanya Tuhanlah yang Maha Kekal. Ada yang sedang berkonflik berusaha mencari momen-momen yang tepat untuk kembali baik-baik. Dalam persahabatan, orang berusaha sekuat mungkin menghindari momen-momen yang dapat merusak persahabatan itu. Karena itu, dalam bersahabatan, betapa pun akrabnya, hendaknya selalu dibatasi agar persahabatan itu lebih lama bertahan bahkan diwarisi sampai pada keturunan kita kelak. Keturunan pun semestinya memelihara warisan persahabatan leluhur untuk dilanjutkan dari generasi ke generasi.

Kearifan lokal Bali ini hendaknya dijadikan bahan renungan oleh berbagai pihak terutama dalam menghadapi Pemilu tahun 2009. Dalam pemilu ini, orang boleh berbeda pendapat bahkan berseberangan pendapat pun sah-sah saja dalam kehidupan demokrasi. Tetapi yang tidak boleh adalah memaksakan kehendak dengan kekerasan. Karena itu, kelolalah perbedaan itu dengan kearifan lokal yang disebut dengan "siat-siat wayang". Selesai pemilu agar jangan terjadi permusuhan abadi dengan sesama umat yang satu bangsa dan satu negara dalam wadah NKRI. Marilah kita renungkan, kita berbeda partai politik itu untuk menampung aspirasi rakyat dalam menentukan kehidupan bernegara dan berbangsa. Beda partai bukan untuk bermusuh-musuhan.

sumber : www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net