Selasa, 11 Agustus 2015

Arti ''Banten'' Dalam Upacara Yadnya

Sehananing Bebanten pinaka raganta tuwi.
pinaka warna rupaning Ida Bhatara
pinaka Andha Buwana.
(Dikutip dari: Lontar Yadnya Prakerti). 

Artinya:
Semua banten lambang diri kita (manusia), lambang aneka kemahakuasaan Tuhan dan lambang Bhuwana Agung.

DALAM kitab Upadesa dinyatakan, ada tiga kerangka agama Hindu yaitu Tattwa, Susila dan Upacara Yadnya. Tiga kerangka itu diumpamakan bagaikan sebutir telur. Tattwa ibarat kuning telur, Susila agama bagaikan putih telur. Upacara Yadnya bagaikan kulit telur. Meskipun upacara agama itu sebagai kulit telur namun telur tanpa kulitnya tentunya hal itu bukan telur namanya. Namun kewajiban kulit telur melindungi kuning dan putih telur tersebut. Upacara yadnya itu salah satu wujudnya adalah dengan banten. Jadinya banten itu adalah simbol sakral untuk memancarkan isi Tattwa dan Susila. 

Jangan sampai banten itu bertentangan dengan Tattwa dan Susila agama. Dalam Lontar Yadnya Prakerti lebih lanjut dinyatakan bahwa: reringgitan tetuwasan pinaka kelanggengan kayunta meyadnya, sekare pinaka keheningan kayunta, plawa pinaka peh pekayunan suci. Artinya: Tetuwasan dan reringgitan (ukir-ukiran) lambang ketetapan hati melakukan yadnya, bunga lambang kesucian pikiran dan plawa lambang pengembangan pikiran yang suci. 

Dalam kutipan salinan Lontar Yadnya Prakerti bahwa simbol banten bentuknya sangat lokal, namun di dalamnya terkemas nilai-nilai yang universal global. Karena itu, banten tersebut dalam pengamalannya tidak cukup berhenti direalisasikan dalam wujud ritual semata. Nilai-nilai filosofi Hindu yang terkemas di dalamnya harus diaplikasikan lebih lanjut dalam kehidupan individual dan sosial yang lebih nyata. Dengan demikian, nilai-nilai Hindu yang terkemas dalam banten itu secara nyata dapat melahirkan transformasi individual dan sosial ke arah yang diamanatkan dalam banten tersebut. 

Misalnya pada banten itu ada reringgitan dan tetuwasan yang melambangkan ketetapan hati atau kelanggengan. Hal ini seyogianya dimaknai sebagai wujud ketahanan diri menghadapi berbagai bentuk godaan dalam kehidupan individual dan kehidupan sosial. Kalau kegiatan beragama tidak membawa perubahan diri dan perubahan sosial ke arah yang lebih baik, itu artinya kita belum berhasil memaknai nilai-nilai suci yang terkemas dalam banten. 

Banten menggunakan berbagai jenis bunga. Tujuan penggunaan bunga simbol kesucian dan ketulusan melakukan yadnya. Pengertian yadnya itu sangat luas. Orang yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam bidang ekonomi janganlah hidup dengan memamerkan kemewahan. 

Kalau ada orang yang hidup berlebihan tentunya akan ada orang yang hidup kekurangan. Meskipun mereka melangsungkan upacara yang mewah, hal itu tidak akan ada artinya dari sudut pandang agama Hindu. Karena itu, penggunaan bunga dalam banten agar dimaknai sebagai simbol untuk mengingatkan kita untuk secara tulus ikhlas menolong mereka yang membutuhkan pertolongan sesuai dengan swadharma kita masing-masing. 

Ada banten yang melambangkan diri kita (pinaka raganta tuwi). Misalnya Banten Peras. Dalam Lontar Yadnya Prakerti disebutkan sebagai berikut, peras ngarania prasida Tri Guna sakti. Artinya Banten Peras itu adalah lambang sukses (prasida) dengan menguatkan Tri Guna. Tri Guna yang kuat dalam artian positif adalah Tri Guna yang berposisi proporsional ideal. 

Dalam kitab Wrehaspati Tattwa 21 dinyatakan keadaan Tri Guna yang berposisi ideal. Tri Guna yang ideal itu apabila Guna Sattwam dan Guna Rajah sama-sama kuat dalam diri seseorang maka Guna Sattwam mendorong orang berkeinginan melakukan Dharma. Sementara Guna Rajah yang menyebabkan orang melakukan perbuatan Dharma itu secara nyata. Hal itu yang akan mengantarkan Atman masuk sorga. 

Untuk itu, natab banten peras seyogianya diartikan sebagai suatu dorongan dan peringatan agar kita senantiasa mengendalikan Tri Guna dalam kehidupan sehari-hari. Kalau Tri Guna itu dikendalikan dengan baik, justru Tri Guna itu sebagai modal spiritual yang sangat potensial melahirkan perilaku yang mulia dan sikap mental yang tangguh. Demikian juga banten penyeneng. 

Menurut puja penganternya penyeneng, itu merupakan lambang kehidupan yang seimbang. Nyeneng antara kehidupan rohani dan duniawi (kaki penyeneng, nini penyeneng). Hidup yang seimbang adalah hidup yang menciptakan sesuatu yang patut diciptakan, memelihara sesuatu yang patut dipelihara. Dan, meniadakan sesuatu yang sudah patut di-pralina. Dalam puja banten penyeneng dinyatakan pemujaan kepada Hyang Tri Murti, yaitu dengan puja penganter, ''kejenganing dening Brahma, Wisnu Iswara''. 

* I Ketut Gobyah 

  
sumber : www.baliopst.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net