Minggu, 02 Agustus 2015

Beragama Banyak Tema, Miskin Pemaknaan

AGAMA yang kaya ajaran moral lebih banyak digemakan dengan banyak tema namun masih miskin dalam pemaknaannya. Kehidupan beragama masih lebih banyak mengutamakan persaingan eksistensi mengejar gengsi untuk mendapatkan posisi. Dengan banyak tema tanpa makna, beragama seprti itu akan menjadi mubazir alias sia-sia. Beragama semestinya bersaing menunjukkan prestasi menegakan kebenaran, keadilan, kesetaraan dan kemerdekaan berprestasi sesuai dengan profesi masing-masing. 

Kegiatan beragama demikian semaraknya, namun belum banyak menghasilkan perilaku umat yang makin baik dan bijak terutama dari kalangan elite bangsa. Terbukti krisis ekonomi, kekerasan, arogansi kekuasan dan kemunafikan masih marak melilit bangsa ini. Dalam kitab suci sangat banyak kita jumpai mutiara-mutiara penuntun kehidupan di dunia ini. Mutiara penuntun kehidupan itu untuk membangun kehidupan yang makin berubah menuju kehidupan yang makin berkualitas. Kalau kehidupan beragama berhenti pada perlombaan menampilkan tema-tema yang hebat-hebat dengan wacana yang tinggi-tinggi, maka kehidupan beragama akan menjadi sumber munculnya berbagai persoalan hidup baik individual maupun sosial. 

Kalau tema itu berhenti pada wacana dan kebanggaan akan agama yang dianut maka persoalan hidup, baik individual maupun sosial tetap saja terbengkalai. Apalagi tema itu digemakan lewat kegiatan ritual dan seremonial, hal itu akan lebih banyak menjejali masyarakat dengan wacana-wacana kosong saja. Pada zaman Kali ini masyarakat umumnya akan menutup telinga rapat-rapat terhadap berbagai nasihat yang muluk-muluk. Tetapi akan membuka mata lebar-lebar pada contoh dan teladan yang nyata mereka saksikan maknanya dalam kehidupan. Apalagi contoh dan teladan itu berasal dari para pemimpinnya. Karena itu tema-tema beragama yang agung itu tidak perlu terlalu digembargemborkan dalam ritual dan seremonial yang bersifat formal. Akan lebih baik kalau tema itu dilihat secara nyata pemaknaannya dalam kehidupan sehari-ahri. 

Agama mengajarkan selalu berjuang memenangkan dharma melawan adharma, menyucikan bhuwana agung-bhuwana alit. Beryadnya kepada Tuhan dan semua ciptaan-Nya. Hidup bersama tanpa kekerasan, dan banyak lagi ajaran agama yang dapat dijadikan acuan untuk membuat tema-tema yang muluk-muluk. Tema itu ditulis dalam spanduk-spanduk lebar dengan tulisan indah. Setelah selesai ritual atau seremonial itu berlangsung tema-tema itu pun menghilang tanpa kesan. Demikian juga ceramah-ceramah yang mengutamakan tema lebih banyak mendapatkan pendengar dari pada pelaksana. Lebih-lebih ceramah itu lebih banyak untuk menghibur daripada mengetuk hati nurani guna menumbuhkan keterpanggilan jiwa bagi umat pendengar untuk melakukan kegiatan beragama yang membawa perubahan perilaku ke arah yang makin baik. Demikian juga tema tanpa kekerasan tidaklah mungkin terjadi kalau sekadar diproklamirkan melalui adanya ''Tahun tanpa Kekerasan''. Kalau kebijakan pemerintah tetap tidak membawa keadilan sangatlah mustahil kekerasan itu dapat diredam. Kebijakan yang memanjakan satu kelompok dan menekan serta meminggirkan kelompok yang lain, tentunya hal itu akan menjadi kondisi yang dapat memicu timbulnya kekerasan. Apalagi kalau kebijakan untuk menggunakan kekuasaan dan anggaran pemerintah, hal itu akan menjadi sumber keresahan sosial. 

Keresahan itu akan dapat memunculkan kekerasan. Karena anggaran tersebut pada hahikatnya milik rakyat yang disalah gunakan oleh penguasa. Demikian juga kekuasaan itu berasal dari seluruh rakyat dan semestinya digunakan untuk melayani rakyat secara adil dan beradab. Tema tanpa kekerasan atau Ahimsa tidak serta merta akan terwujud kalau tidak diimplementasikan dengan perencanaan yang matang. Demikian juga pelestarian alam seperti menjaga kelestarian hutan. Tema tersebut tidak dapat diselesaikan dengan upacara keagamaan yang besar dengan menghabiskan dana ratusan juta bahkan milyaran rupiah. Upacara keagamaan itu penting sebagai media mengakumulasikan doa membangun kekuatan spiritual. Namun tidak perlu dengan berhura-hura. 

Kekuatan spiritual yang diharapkan dapat muncul dalam upacara keagamaan itu hendaknya diaplikasikan dalam kegiatan sosial yang nyata dapat membangun pelestarian hutan tersebut. Dalam kegiatan beragama sebaiknya jangan terlalu banyak mengumbar tema yang tidak mampu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Lebih baik dipilih tema yang sederhana namun benar-benar dapat diwujudkan dalam perilaku sehari-hari. Dengan demikian tema-tema itu tahap demi tahap akan nyata dapat memperbaiki kehidupan individual dan sosial. 

sumber : www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net