Senin, 03 Agustus 2015

Beragama jangan Berhenti pada Simbol

Hari raya Galungan sudah dirayakan oleh umat Hindu dalam kurun waktu ratusan tahun. Di Bali saja menurut catatan Lontar Purana Bali Dwipa, Galungan sudah dirayakan sejak tahun 804 Saka atau tahun 882 Masehi. Namun setelah tiga abad dirayakan, entah apa pertimbangannya pernah berhenti selama 23 tahun. Ketika Sri Jayakasunu memerintah di Bali barulah hari raya Galungan kembali dirayakan sampai sekarang. Namun, lebih menonjolkan perayaannya setiap Budha Kliwon Dungulan. Bagaimana mengaplikasikan makna tattwa dan susila dari perayaan Galungan itu selanjutnya dalam kehidupan sehari-hari, kurang mendapatkan perhatian. 

SESUNGGUHNYA yang sangat penting kita renungkan dalam-dalam adalah tattwa dan susila yang dikandung oleh perayaan Galungan tersebut. Tattwa dan susila yang terkemas dalam hari raya Galungan sangat luhur dan sangat terkait dengan perjuangan hidup manusia di dunia ini. Nilai tattwa dan susila itu seyogyanya kita jadikan tolok ukur untuk mengarahkan perilaku kita sehari-hari. Karena tattwa dan susila dari Galungan membangun diri yang kuat untuk membangun hidup yang aman (raksanam) dan sejahtera yang adil (daanam). Karena ciri kemenangan dharma apa bila adanya rasa aman dan sejahtera yang adil dalam masyarakat. 

Namun rasa aman dan sejahtera yang adil itu rasanya semakin jauh meskipun hari raya Galungan selalu kita rayakan dengan meriah. Hal itu terjadi karena perayaan hari agama seperti Galungan dan kegiatan agama Hindu lainnya umumnya masih berhenti di tingkat simbol. Timbulnya rasa tidak aman dan tidak sejahtera secara adil itu justru dimunculkan oleh berbagai kebijakan struktural yang tidak bijaksana dan tidak adil. Orang yang tidak kuat daya tahan mentalnya akan terpancing untuk melakukan tindakan-tindakan yang memicu rasa tidak aman karena tidak tahan menderita akibat kebijakan struktural yang tidak bijaksana dan tidak adil dalam berbagai aspek kehidupan. Bagi yang memiliki daya tahan mental yang kuat memang mampu untuk tidak mudah terpancing oleh berbagai kebijakan struktural yang tidak bijaksana dan tidak adil itu. Namun demikian setidak-tidaknya mereka menjadi apatis akan berbagai hal yang terjadi. Akibatnya kekuatan adharma itu makin sedikit mendapatkan perlawanan. Karena sikap apatis itu akan memicu timbulnya sikap individualistis. Artinya sikap yang semakin tidak hirau pada penderitaan orang lain. 

Semestinya mereka-mereka yang memiliki akses distruktural itulah memberikan contoh untuk berbuat yang tidak memicu kekerasan. Sebagai contoh dalam penggunaan APBD atau APBN yang lebih mementingkan memberikan fasilitas hidup bagi mereka-mereka yang duduk di jajaran struktural legislatif dan eksekutif. Bahkan memfasilitasi orang-orang dekat yang menjadi tukang dukung dan membangun yes man group untuk menguatkan kedudukan mereka yang berkuasa. Perayaan Galungan semestinya dijadikan media untuk menajamkan visinya membangun kasih dalam dirinya, sehingga sikap egoisme itu makin melemah. 

Dengan lemahnya egoisme itu mereka akan dapat melihat dirinya tidak bijaksana dan tidak adil. Seperti kasus di Bali. Sudah dari dulu banyak pihak menunjukkan data statistik bahwa Bali tidak aman. Namun mereka-mereka yang distruktural selalu membohongi rakyat dengan menyatakan bahwa Bali aman dan sejahtra. Keluhan rakyat yang setiap hari didengungkan karena mendapatkan perlakuan tidak adil, birokrasi yang berbelit-belit mempersulit rakyat tidak pernah ikut dirasakan. Inilah akibatnya kalau kegiatan beragama hanya berhenti di tingkat simbol. Perayaan Galungan penuh dengan simbol yang bermakna tinggi. Hari Sugian Jawa lambang menguatkan diri untuk menyucikan bhuwana Agung, Sugian Bali lambang penyucian diri. Embang Sugi lambang mengkonsentrasikan segala potensi diri (anyekung Jnyana nirmalakna). Penyajahan lambang matirtha gocara--mohon wara nugraha Hyang Widhi Wasa. Penampahan natab banten sesayut pamyak kala lara melaradan dan memasang penjor. Saat Galungan ngaturang banten tumpeng Galungan. 

Semua simbol tersebut melambangkan perjuangan untuk membangun diri dan alam untuk memenangkan dharma. Namun semuanya itu sering berhenti pada simbol belaka. Tidak ada tindak lanjut dari nilai-nilai simbol tersebut untuk diwujudkan dalam kegiatan hidup yang nyata dalam keseharian kita. Karena itu hari raya kemenangan dharma hanya mentok dalam perayaan. Tetapi pada kenyataannya dharma dalam keadaan belum menang. Padahal pada hari Kuningan sebagai simbol yang melukiskan keadaan dharma yang menang. Adanya banten tebob, selanggi lambang perjuangan memenangkan dharma yang tidak pernah surut. Tamiang, ter dan kolem lambang hidup yang aman dan sejahtera lambang dharma telah menang. * I Ketut Wiana 

  
sumber : www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net