Jumat, 07 Agustus 2015

Berpolitik di Pulau Dewata

KEBERHASILAN orang Bali di zaman dulu mengamalkan ajaran agama menyebabkan Pulau Bali ini sampai diberikan julukan Pulau Dewata oleh orang asing. Ada juga yang menjuluki pulau mungil ini dengan sorga terakhir. Julukan yang indah itu bukan karena diminta oleh leluhur orang Bali zaman dulu. Julukan itu diberikan oleh orang luar tanpa diminta dan juga bukan karena tekanan politik atau latar belakang bisnis. Julukan tersebut diberikan murni berangkat dari ketulusan hati orang-orang luar Bali. Julukan tersebut sebagai hasil prestasi leluhur orang Bali Hindu di masa lampau. 

Dewasa ini mempertahankan julukan Pulau Dewata tidaklah bisa hanya dengan berbangga-bangga pada julukan tersebut. Apalagi julukan Pulau Dewata itu hasil prestasi leluhur di masa lampau, bukan hasil jerih payah kita di masa kini. Julukan Pulau Dewata warisan leluhur hendaknya dipertahankan dengan wujud nyata berbuat mulia bagaikan Dewata dalam segala aspek kehidupan di Pulau Bali ini. Salah satu caranya, wujudkanlah sifat-sifat Dewata yang dinyatakan dalam perbuatan sehari-hari, misalnya dalam kehidupan berpolitik. 

Pada kenyataannya sudah banyak julukan Pulau Dewata kita nodai sendiri dengan cara-cara berbuat bagaikan Asura dalam berbagai aspek kehidupan. Contoh nyata perilaku berpolitik dari sementara pihak di Pulau Dewata ini bagaikan cara-cara Asura. Perilaku berpolitik dari kalangan elite sampai akar rumput makin jauh dari cara berpolitik yang mencerminkan ciri-ciri orang yang memiliki kecenderungan kedewataan atau Dewi Sampad. Berpolitik dengan cara-cara menekan, menyuap, menyalahgunakan kekuasaan, provokasi, intimidasi, menekan dengan kekerasan fisik, bahkan sampai membakar dan membunuh. Cara-cara berpolitik itu sudah sangat jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip berpolitik yang normatif. Anehnya hal itu dilakukan oleh sementara politisi di Pulau Bali yang mendapat julukan Pulau Dewata ini. Hanya untuk mengejar kedudukan, ada sementara politisi yang mengkhianati kelompoknya sendiri yang pernah memberikan dia kedudukan yang nyaman. Cara-cara melakukan permainan politik Asura seperti itu sangatlah licin. 

Cara berpolitik gaya Asura itu dilakukan oleh sementara politisi di level elite. Di tingkat akar rumput tentunya tidak akan mampu melakukan permainan politik licin dan kotor seperti itu. Karena cara bermain politik seperti itu membutuhkan dana yang besar. Di samping itu harus memerlukan komunikasi ke berbagai tingkat terutama pada mereka yang memegang tombol-tombol kekuasaan politik, birokrasi maupun hukum. Untuk memiliki saluran komunikasi pada para pemegang tombol-tombol kekuasaan tersebut sangat sulit tanpa memiliki dana yang besar. Politisi di akar rumput tidak cukup banyak melihat contoh panutan yang patut diteladani. Bagi mereka yang kurang waspada akan terjebak ikut berpolitik gaya Asura. 

Pada zaman Kali ini umumnya masyarakat akan menutup telinga akan nasihat-nasihat, apa lagi yang muluk-muluk. Namun akan membuka mata pada contoh-contoh yang patut diteladani. Mereka yang ada di akar rumput sangat jarang dialokasikan dana untuk mengadakan pendidikan politik guna memperluas wawasan politik dengan landasan moral agama. Umumnya mereka mendapatkan sekadar sumbangan untuk melakukan kegiatan yang mudah menyulut emosi fanatisme pada satu partai politik. 

Mempertahankan Bali sebagai Pulau Dewata semestinya juga harus dilakukan lewat jalur politik di samping jalur-jalur lainnya. Dalam berpolitik pun di Pulau Dewata ini semestinya dengan sifat-sifat kedewataan. Masyarakat hendaknya diajak melakukan kegiatan politik dengan berlomba-lomba menaati hukum, etika dan moral. Misalnya dalam melakukan gerakan massa di jalan raya. Ajaklah mereka menaati aturan lalu lintas. Jangan justru saat melakukan kegiatan atas nama parpol, pemimpin politiklah yang membiarkan mereka melanggar aturan lalu lintas. Cara melakukan kegiatan politik yang melanggar aturan hukum, etika dan moral itu sesungguhnya dapat dicegah oleh para pimpinan parta politik kalau mereka mau. 

Tidak benar anggapan bahwa hanya agama yang suci dan politik kotor. Agama dan politik sama-sama suci. Cuma sumbernya yang berbeda. Kesucian agama bersumber dari sabda Tuhan sedangkan kesucian politik bersumber dari suara hati nurani. Kalau memang ingin mempertahankan citra Bali sebagai Pulau Dewata, marilah kita lakukan kegiatan politik dengan hati nurani, menaati hukum, etika dan moral agama. Perilaku itulah yang dapat digolongkan perilaku manusia yang memiliki kecenderungan kedewaan atau Dewi Sampad sebagaimana diajarkan dalam kitab suci Bhagawad Gita. 

  
sumber : www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net