Sabtu, 08 Agustus 2015

Buah Impor untuk Upacara

DENGAN makin tersingkirnya hasil bumi Bali seperti bunga-bungaan dan buah-buahan, umat Hindu makin nge-trend menggunakan bunga-bungaan dan buah-buahan impor. Hal itu tentunya sah-sah saja dan merupakan privasi setiap orang. Seperti kebanyakan orang menyenangi barang-barang buatan luar negeri lainnya. Karena tidak ada dasar sastranya untuk melarang penggunaan barang-barang impor termasuk buah-buahan dalam upacara. Meskipun upacara yang diselenggarakan atas dasar pamer kebanggaan itu termasuk upacara yang Rajasika Yadnya seperti dinyatakan dalam kitab Bhagawad Gita. 

Upacara Rajasika Yadnya umumnya digemari oleh mereka yang dikuasai oleh sifat-sifat Asura atau Asuri Sampad. Namun perlu juga direnungkan bahwa umat Hindu dalam mewujudkan sradha dan bhaktinya kepada Tuhan tidak hanya dengan bahasa hati dan niat. 

Sradha dan bhakti itu diwujudkan dengan bahasa simbol. Bhagawad Gita IX.26 menyatakan sarana pokok dalam memuja Tuhan adalah dengan daun, bunga, buah dan air suci. Semuanya itu sesungguhnya hanyalah simbol yang harus lebih diwujudkan pemaknaannya dalam perilaku yang lebih nyata. Dalam Lontar Yadnya Prakerti penggunaan daun, bunga, buah dan air suci itu dijelaskan maknanya dengan sangat gamblang. Daun juga disebut plawa. Dalam lontar Yadnya Prakerti dinyatakan: plawane pinake peh pikayunane suci. Artinya daun/plawa itu lambang untuk mengembangkan kesucian pikiran. Sekare pinaka kasucian muang katulusan kayunta meyadnya. Artinya, bunga itu lambang keikhlasan hati dan ketulusan hati yang suci melakukan yadnya. Raka-raka pinaka widyadhara-widiadhari. Raka-raka itu sebagai widyadhara dan widiadhari. 

Rakan banten umumnya terdiri dari buah-buahan, dan jajan dalam berbagai bentuk. Katya Widiadhara-widiadhari dalam hal ini artinya para penguasa ilmu pengetahuan. Dalam kaitannya dengan penggunaan buah tersebut bahwa yang kita persembahkan kepada Tuhan adalah buah karya kita dalam mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah diturunkan oleh Tuhan Yang Mahaesa. 

Dalam kaitannya dengan ini banyak orang merasa puas secara rohani kalau mampu membuat sarana persembahan dengan menggunakan daun, bunga maupun buah dari hasil kebunnya sendiri. Ini mendorong umat untuk berkebun. Kalau kita cermati sastra agama Hindu lebih dalam lagi, penggunaan flora dan fauna sebagai sarana upacara yadnya dalam agama Hindu bukanlah untuk memamerkan kebanggaan (Asmita). Tetapi untuk melestarikannya dan memberikan arti yang lebih mulia atas kehadirannya di dunia ini sebagai sama-sama ciptaan Tuhan. 

Dalam Sarasmuscaya 135 dengan tegas dinyatakan bahwa sebelum mewujudkan empat tujuan hidup kita di dunia ini hendaknya terlebih dulu melakukan Bhuta Hita. Bhuta Hita artinya menyejahtrakan alam. Karena hanya dalam alam yang sejahteralah semua makhluk hidup dapat memperoleh kehidupannya. Dalam Agastia Parwa juga dinyatakan bahwa ''Bhuta Yadnya ngarania taur muang kapujaan ring tuwuh''. Artinya, Bhuta Yadnya itu adalah mengembalikan dan menyayangi tumbuh-tumbuhan. Dalam Manawa Dharmasastra V.40 sangat jelas dinyatakan bahwa tujuan penggunaan flora dan fauna sebagai sarana upacara agama agar kelak ia menjelma menjadi flora dan fauna yang lebih baik. Ini artinya, dengan ilmu pengetahuan yang kita miliki kita beryadnya secara nyata untuk melestarikan keberadaan flora dan fauna itu di lingkungan kita sendiri. Itulah Bhuta Yadnya yang berbentuk sekala. 

Sedangkan upacara macaru adalah Bhuta Yadnya yang bersifat niskala. Akan sangat ideal kalau hasil pelestarian buah-buahan, bunga-bungaan yang kita lakukan itulah yang kita jadikan lambang persembahan kepada Tuhan. Hal ini akan jauh lebih baik ditinjau dari berbagai dimensi. Kehidupan beragama semestinya kita mampu gerakkan untuk menguatkan berbagai dimensi kehidupan. Tidak sekadar berbangga-bangga kosong mendorong pemborosan hidup, apalagi dalam keadaan krisis ekonomi dewasa ini. Penggunaan daun, bunga, buah dan air sebagai sarana persembahan itu sesungguhnya simbol untuk mendorong umat Hindu agar berkarya nyata menyejahterakan sesama makhluk hidup sebagai wujud persembahan yang sesungguhnya pada Tuhan. 

Lebih-lebih di Bali banyak lahan tidur, sehingga akan sangat berarti apabila Bhuta Yadnya yang sekala dilakukan dengan menghijaukan lahan tidur tersebut dengan berbagai tumbuh-tumbuhan yang bermanfaat bagi kehidupan ini. Tentunya Bhuta Yadnya yang bersifat niskala tidak boleh dilupakan. Namun hendaknya disesuaikan dengan Bhuta Yadnya sekala-nya. Kurangilah penggunaan barang-barang luar untuk menghemat devisa negara. Lebih-lebih cadangan devisa negara kita selalu dalam keadaan mengkhawatirkan. Lemahnya cadangan devisa negara sebagai salah satu sumber kacaunya keadaan ekonomi suatu bangsa. Dengan mengurangi penggunaan barang impor dalam berbagai kebutuhan, itu berarti kita juga membantu penghematan devisa negara. Tentunya dengan tidak mengurangi nilai yadnya. 

  
sumber : www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net