Senin, 10 Agustus 2015

Demokrasi Itu Adu Visi, bukan Adu Fisik

DEMOKRASI di Indonesia masih diselenggarakan sangat primitif. Karena nuansa permusuhan dalam dinamika demokrasi masih belum reda. Berbeda diartikan bermusuhan. Berbeda tidak diartikan sebagai peluang untuk bersinergi saling mengisi. Ini dibuktikan setiap dekat-dekat pemilu ada gejala permusuhan dan kerusuhan makin meningkat.

Perbedaan dalam demokrasi belum dirasakan sebagai keindahan dengan jalan mensinergikannya. Perbedaan masih dijadikan ajang permusuhan. Semestinya perbedaan dijadikan ajang adu visi dengan menggunakan argumentasi-argumentasi yang kuat dalam membela kepentingan rakyat banyak. Perbedaan jangan dijadikan ajang adu kekerasan fisik sampai menimbulkan korban jiwa dan harta benda yang sia-sia. Hal itu jelas tidak sesuai dengan ajaran Ahimsa dalam ajaran Hindu dan ajaran ngalap kasor menurut kearifan lokal Bali.

Mempengaruhi mereka yang berbeda sering masih banyak digunakan cara-cara primitif seperti intimidasi, provokasi, janji-janji yang muluk-muluk, menggunakan cara-cara kasar dan kekerasan dalam menggalang masyarakat pendukung. Demokrasi menggalang dukungan massa dengan adu kekuatan fisik membakar emosi yang berkobar-kobar.

Dinamika demokrasi untuk menampung dan merumuskan aspirasi rakyat semestinya melalui adu dialog sehat terbuka dan benar-benar fair. Yang dialogkan adalah tentang persepsi dan visi masing-masing untuk diadu dengan argumentasi yang masuk akal. Persepsi dan visi tersebut hendaknya dituangkan menjadi konsep-konsep yang pragmatis mengatasi berbagai persoalan yang menyangkut kepentingan publik. Angkatlah apa yang paling serius dihadapi oleh rakyat yang mendambakan kehidupan yang aman dan sejahtera.

Demokrasi belum merupakan proses menjaring aspirasi rakyat lewat saluran supra dan infrastruktur politik. Padahal semuanya itu sudah ada sistem yang ditetapkan dengan suatu prangkat undang-undang sebagai hukum positif. Sayangnya hukum positif itu baru bentuk formalnya saja yang dijadikan acuan berdemokrasi. Tetapi realisasinya masih jauh dari norma hukum positif yang dihasilkan melalui proses demokratis. Apalagi norma agama sangat jarang disinggung sebagai landasan moral. Sangat jarang ada semacam pencerahan rohani yang diselenggarakan oleh organisasi politik. Para politisi semestinya sudah memiliki kecerahan rohani dalam melakukan dinamika politik.

Dengan rohani yang cerah dan kuat para politisi tidak mudah terpancing melakukan kekerasan fisik maupun nonfisik. Jauh sebelum ada hajatan politik semestinya organisasi politik memiliki program pencerahan dan penguatan moral dan mental para kadernya. Program itu dilakukan dengan kesadaran sendiri, bukan karena instruksi dari atas. Sungguh sangat mulia melatih kader-kader politik untuk mempersiapkan pengetahuannya, moral dan mentalnya agar mampu berpolitik dengan cara yang cantik. Politisi berpolitik tidak mengandalkan kekuatan fisik dan emosi rakyat pendukung memenangkan kompetisi politik. Apa lagi berpolitik itu bukan arena adu fisik. Berpolitik itu arena adu visi. Berpolitik dalam negara demokrasi janganlah menggunakan ''hand'' tetapi had and heart. Artinya jangan mengandalkan kuatnya kepalan tangan untuk memukul. Tetapi gunakan kecerdasan otak dan hati nurani. Merumuskan kehendak rakyat bukanlah pekerjaan yang mudah. Rakyat itu banyak juga maunya.

Memperjuangkan kehendak tidaklah dimaksudkan untuk memenuhi segala permintaan rakyat. Masyarakat harus dimotivasi untuk mampu mandiri. Mana yang harus diupayakan sendiri mana yang menjadi kepentingan bersama yang harus diperjuangkan melalui jalur perwakilan. Pembangunan yang tidak cermat analisanya dpaat membuat masyarakat menjadi tergantung. Selalu menunggu kucuran dana APBD dan APBN. Negara yang kuat adalah negara dimana masyarakatnya mandiri tidak cengeng. Kehidupannya hanya mengandalkan bantuan dari atas tidak akan membuat negara menjadi kuat.

Menurut paradigma demokrasi, rakyatlah sesungguhnya atasan dari mereka yang berada di legislatif, eksekutif dan yudikatif. Bahkan saat bangkitnya demokrasi ada slogan orang Barat vox populi vox dei. Artinya suara rakyat adalah suara Tuhan. Tetapi pada kenyataannya dalam keadaan dinamika legislatif, eksekutif dan yudikatif tidak normatif, yang menjadi korban pertama justru rakyat. Yang paling banyak menjadi korban kekerasan dan kerusuhan dengan latar belakang politik adalah rakyat yang berada di akar rumput.

Berpolitik dalam dinamika demokrasi hendaknya menyiapkan kader-kader memiliki visi yang kuat memperjuangkan nasib rakyat, bangsa dan negara. Organisasi politik harusnya memiliki visi jauh ke depan untuk membangun sistem politik yang kuat menciptakan stabilitas sosial politik yang dinamis. Jadi yang disebut kader itu bukanlah sekadar pintar mengumpulkan massa dan suara. Utamakanlah pendidikan kader yang benar-benar dapat diandalkan berpolitik mengemban amanat penderitaan rakyat.

 
sumber : www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net