Minggu, 30 Agustus 2015

Hindu di India dan Hindu di Bali

Karyam so'veksya saktimca
Desakaala ca tattvatah
Kurute dharmasiddhiyartham
Visvaruupam punah punah.
(Manawa Dharmasastra VIII.10) 

Maksudnya:
Setelah mempertimbangkan iksha (tujuan), sakti (kemampuan), desa (aturan setempat), kala (waktu) dan tattwa (kebenaran) untuk menyukseskan tujuan agama (Dharmasiddhiyartha) maka ia wujudkan dirinya dengan bermacam macam wujud. 


KEBERADAAN agama Hindu kalau diperhatikan penampilan luarnya sungguh sangat berbeda-beda. Jangankan antara agama Hindu yang berkembang di satu negara dengan negara lainnya tentu juga sangat berbeda-beda. Penampilan luar Hindu dalam satu negara bahkan dalam satu daerah propinsi sangat berbeda-beda. Ajaran suci Veda sebagai sumber ajaran agama Hindu itu adalah ajaran yang sangat universal. Namun, keuniversalan ajaran Veda itu dalam aplikasinya di dunia ini tidak boleh menihilkan apa yang ada di dunia. Keberadaan dunia yang terus berputar ini penuh dengan perbedaan. Karena itu agar ajaran Hindu sukses dalam penerapannya di dunia yang berbeda-beda itu maka Hindu mengajarkan berpikir universal tetapi berbuat lokal dan kontekstual disesuaikan dengan keberadaan dunia di mana Veda itu diterapkan. 

Dengan cara seperti itu kebenaran Veda (Dharma) itu akan sukses. Hal ini diamanatkan dalam Sloka Manawa Dharmasastra yang dikutip di atas. Agar penerapan dharma atau agama itu sukses maka perlu ada lima macam pertimbangan. Lima macam pertimbangan itu adalah Iksha artinya tujuan seseorang. Sakti artinya kemampuan, Desa artinya aturan setempat, Kala artinya waktu dan tattwa artinya kebenaran. 

Penerapan agama Hindu agar sukses harus disesuaikan dengan Iksha, Sakti, Desa dan Kala. Tetapi dalam pelaksanaannya tidak boleh bertentangan dengan Tattwa atau kebenaran Veda. Hal inilah yang menyebabkan Hindu di India dan Hindu di Bali atau di mana saja selalu berbeda-beda bentuk penampilan luarnya. 

Namun, jika ia dibedah dengan pisau bedah Hindu yang benar maka bentuk luar yang berbeda-beda itu ternyata di dalamnya kita akan menjumpai kebenaran Hindu yang sama dan universal. Tidak ada bedanya Hindu di India dengan Hindu di mana pun berkembang. Perbedaan bentuk luar dari agama Hindu itu sering dipahami secara dikotomis atau dipertentangkan antara Hindu yang satu dengan Hindu yang lainnya. Hal itu mungkin disebabkan oleh apa yang disebut kepicikan profesionalis yang lazim dihidap oleh para spesialis dan birokrat kita. Para spesialis ilmuwan empiris sering kurang greget membedah perbedaan bentuk luar Hindu secara lebih mendalam. 

Sangat berbeda halnya dengan cara berpikir tokoh-tokoh Hindu kuno di masa lampau seperti di Bali khususnya dan di daerah Nusantara pada umumnya. Beliau-beliau itu tidak menghidap arogansi apa pun, sehingga mampu mensinergikan nilai-nilai Hindu yang universal dengan berbagai potensi lingkungan alam dan sosial kultural setempat. 

Pada zaman dahulu tidak dikenal adanya sentris-sentris sempit seperti Bali sentris atau India sentris. Yang ada hanya Hindu sentris. Ini artinya di mana pun Hindu berkembang selalu memuliakan potensi setempat sebagai media utama dalam mengaplikasikan ajaran Hindu. Meskipun demikian proses untuk saling memberi dan saling menerima berbagai potensi budaya terjadi secara sukarela dan sangat alami. 

Kalau ada hal-hal yang memang patut diambil dari satu daerah dalam rangka memperkaya daerah yang lain, hal itu sah-sah saja. Lebih-lebih dalam abad kemajuan teknologi komunikasi yang makin canggih. Kalau ada suatu budaya Hindu di Bali yang dianggap baik dan cocok dipakai di Jawa, tidaklah tepat hal itu disebutkan sebagai Bali sentris. Demikian juga kalau pada zaman dahulu berbagai budaya Hindu di Jawa diadopsi oleh masyarakat Bali tidaklah ada istilah Jawa sentris. 

Hindu di India pun kalau memang ada hal-hal yang diambil yang dianggap baik dan cocok oleh sementara masyarakat Bali tidaklah tepat kalau dikatakan India sentris atau keindia-indiaan. Saling memperkaya sesama Hindu tidaklah perlu dirisaukan. Justru hal itu menjadi positif dalam proses terbentuknya budaya Hindu dunia yang makin solid. Sikap dikotomis dalam memahami perbedaan penampilan luar budaya Hindu sungguh tidak produktif memajukan Hindu. Untuk menghilangkan sikap dikotomis tersebut, yakni dengan cara memahami dan mendalami Hindu lebih seimbang sebagai sosok Hindu yang utuh. Memahami sosok Hindu yang utuh itu adalah memahami Hindu secara seimbang antara ritual, susila dan tattwa sebagai intisarinya agama Hindu. 

* I Ketut Gobyah 
sumber : www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net