Jumat, 14 Agustus 2015

Makna ''Banten'' bagi Umat Hindu

Upakara yang dikatakan di Bali sebagai banten, pada banten disebut sebagai Bali. Dalam Bhuwana Tattwa Maha Rsi Markandeya disebutkan bahwa Maha Rsi bersama pengikutnya membuka daerah baru pada Tahun Saka 858 di Puakan (Taro, Tegallalang, Gianyar). Kemudian mengajarkan cara membuat berbagai bentuk upakara sebagai sarana upacara. Mula-mula terbatas kepada para pengikutnya. Lama-kelamaan berkembang ke penduduk lain di sekitar Desa Taro. Apakah filosofi banten bagi umat Hindu? Apa itu banten jika ditinjau dari sudut sastra agama? 


===========================================================
Menurut Ketua Umum PHDI Kabupaten Buleleng Ida Pandita Sri Bhagawam Dwija Warsa Nawa Sandhi, jenis upakara yang menggunakan bahan baku daun, bunga, buah, air, dan api disebut Bali, sehingga penduduk yang melaksanakan pemujaan dengan menggunakan sarana upakara itu disebut sebagai orang-orang Bali. Jadi yang dinamakan orang Bali mula-mula adalah penduduk Taro. 

Lama-kelamaan ajaran Maha Rsi Markandeya ini berkembang ke seluruh pulau, sehingga pulau ini dinamakan Pulau Bali (pulau yang dihuni oleh orang-orang Bali-red). Lebih tegas lagi, pulau di mana penduduknya melaksanakan pemujaan dengan menggunakan sarana upakara (Bali). Tradisi beragama dengan menggunakan banten. Selanjutnya dikembangkan oleh Maha Rsi lain seperti Mpu Sangkulputih, Mpu Kuturan, Mpu Manik Angkeran, Mpu Jiwaya, dan Mpu Nirartha. Sejak kapan sarana upakara itu berubah nama dari Bali menjadi Banten dan mengapa demikian, sulit mencari sumber sastranya? Menurutnya, beberapa sulinggih dihubungi ada yang menyatakan bahwa banten asal kata dari wanten, mengalami perubahan dari kata wantu atau bantu. Jadi banten adalah alat bantu dalam pemujaan, sehingga timbul pengertian bahwa Bali atau banten adalah niyasa atau simbol keagamaan. 

Menurut Ketua III Paruman Pandita PHDI Propinsi Bali ini, umat Hindu melaksanakan ajaran agamanya antara lain melalui empat jalan atau cara (marga). Keempat cara itu yakni Bhakti Marga, Karma Marga, Jnana Marga dan Raja Marga. Bhakti Marga dan Karma Marga dilaksanakan sebagai tahap pertama yang lazim disebut sebagai Apara Bhakti. Tahap berikutnya sesuai dengan kemampuan nalar diri masing-masing dilaksanakan Jnana Marga dan Raja Marga yang disebut sebagai Para Bhakti. 

Dikatakan, pada tahap apara bhakti pemujaan dilaksanakan dengan banyak menggunakan alat-alat bantu seperti banten, simbol-simbol dan jenis upakara lainnya. Seterusnya pada tahap para bhakti penggunaan banten dan simbol-simbol lainnya berkurang. Umumnya di Bali, keempat marga itu dilaksanakan sekaligus dalam bentuk upacara agama dengan menggunakan sarana banten yang terdiri atas bahan pokok daun, bunga, buah, air dan api. Sarana-sarana mempunyai fungsi persembahan atau tanda terima kasih kepada Hyang Widhi. Sebagai alat konsentrasi memuja Hyang Widhi. Sebagai simbol Hyang Widhi atau manifestasi-Nya. Sebagai alat penyucian. 

Oleh karena demikian sakralnya makna banten maka dalam Yadnya Prakerti disebutkan bahwa mereka yang membuat banten hendaknya dapat berkonsentrasi kepada siapa banten itu akan dihaturkan atau dipersembahkan. Dalam buku Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu sebagai hasil Paruman Sulinggih yang disahkan PHDI disebutkan, seorang tukang banten hendaknya sudah menyucikan diri dengan upacara pawintenan (sekurang-kurangnya ayaban bebangkit). 

Lebih lanjut Ketua PHDI Bulelang ini mengatakan, tujuan penyucian agar tukang banten sudah mengetahui tata cara dan aturan-aturan dalam membuat banten. Misalnya dengan konsentrasi penuh melaksanakan amanat pemesan banten yang akan mempersembahkannya kepada Hyang Widhi. Di kala membuat banten, kesucian dan kedamaian hati tetap terjaga. Misalnya, tidak mengeluarkan kata-kata kasar. Tidak dalam keadaan kesal atau sedih. Tidak sedang cuntaka, tidak sedang berpakaian yang tidak pantas. Menggaruk-garuk anggota badan, atau membuat banten di sembarang tempat. 

Disimpulkan bahwa ketika membuat banten, dikondisikan situasi yang suci, sakral, konsentrasi penuh, rasa bakti dan kasih sayang kepada Hyang Widhi. Lihatlah ketika banten disiapkan untuk upacara besar di Besakih. Tempat membuat banten disebut Pensucian yang tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang atau orang yang tidak berkepentingan. Bahkan, dewasa atau hari baik untuk memulai membuat banten ditetapkan dengan teliti oleh para sulinggih. Dalam puja-stuti pereresik banten juga diucapkan doa agar banten tidak dilangkahi anjing, ayam atau dipegang oleh anak kecil, atau orang yang sedang cuntaka. 

Dikatakan, beberapa jenis banten utama bahkan hanya boleh dibuat oleh sang Dwijati, misalnya Catur, dan Pangenteg gumi. Untuk menegaskan penting dan sakralnya banten, Mpu Jiwaya -- salah seorang tokoh pemimpin agama pada abad ke-10 -- mengajarkan membuat reringgitan dengan bahan daun kelapa, anau atau lontar. Reringgitan itu kadang demikian sulit sehingga konsentrasi kita harus penuh. ''Jika tidak, bisa reringgitan-nya rusak atau tangannya yang teriris pisau,'' katanya. Ditambahkan, makna membuat banten seperti yang dikemukakan di atas tiada lain agar kita dapat mewujudkan rasa bakti dan kasih sayang kepada Hyang Widhi. 

Sesuaikan dengan Kondisi Zaman 

Bagaimana dengan di zaman Kali ini? Menurut Ida Pedanda Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi, zaman beredar dan kini kita hidup di era milenium. Kemampuan kita menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi zaman ini diuji dengan berbagai masalah. Misalnya, kelangkaan bahan-bahan baku banten. Waktu yang terbatas untuk membuat banten. Tidak semua umat Hindu di Bali bisa membuat banten sendiri. 

Tentang kelangkaan bahan-bahan baku banten, katanya, sudah dimaklumi, karena busung, pisang, kelapa, telur, bebek dan ayam, tidak sedikit yang sudah didatangkan dari luar Bali (Sulawesi, Lombok dan Jawa). Waktu yang terbatas bagi umat Hindu di Bali dalam menyiapkan sarana-sarana upakara menyebabkan sebagian besar umat Hindu membeli banten dari tukang-tukang banten, istilahnya nunas puput. 

Dikatakan, generasi muda mulai bertanya-tanya, mengapa kok melaksanakan ajaran agama Hindu (di Bali) dalam bentuk ritual atau upacara menjadi sangat sulit dan mahal. ''Model'' umat Hindu-Bali di perkotaan melaksanakan upacara yadnya kini terlihat sudah lumrah seperti sewa tenda, sewa korsi, pesan katering, dan nunas ayaban di geria lengkap dengan sulinggih yang muput. Serba praktis dan ekonomis walaupun segi-segi adat-dresta kegotong-royongan hilang, dan segi sakral membuat banten hilang. 

Jika dikaitkan dengan ajaran Maha Rsi Markandeya dan Mpu Jiwaya, agaknya hal yang paling patut dipikirkan adalah segi sakralnya suatu banten. Apalah artinya banten jika sang yajamana tidak mengerti makna banten yang dipersembahkan kepada Hyang Widhi. Ibaratnya kita memberikan sesuatu kepada orangtua kita, tetapi ketika ditanya orang lain, apa yang kamu berikan kepada orangtuamu? Jawabannya, ya... enggak tahu tuh. Aneh kan? 

Fenomena seperti itu, katanya, akan terus berkembang. Lebih-lebih bilamana dalam suatu rumah tangga sang ayah dan sang ibu masing-masing sibuk dengan profesinya mencari nafkah karena tuntutan kebutuhan hidup yang makin banyak. Konsep-konsep Manawa Dharmasastra yang mengatur pembagian tugas pekerjaan rumah tangga antara suami dan istri banyak tidak berlaku lagi. 

Suami mestinya menghidupi keluarga, dan istri mestinya mengurus rumah, terutama masalah panca yadnya dan dengan sendirinya membuat banten. Adakah jalan keluar menghadapi fenomena seperti itu? Untuk ini ada beberapa hal yang perlu dikemukakan. Dalam banyak kitab suci antara lain Manawa Dharmasastra, Parasara Dharmasastra disebutkan bahwa cara kita beragam, di setiap zaman tidaklah sama. 

* Suentra 
sumber : www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net