Jumat, 25 September 2015

Justru dengan Agama Melestarikan Penyu

Osadhyah pasawo wrikasaastir.
Yancah paksinanstathaa,
Yadnyaartham nidhanam praaptaah.
Praapnu wantyusritiiih punah.
(Manawa Dharmasastra V.40). 

Maksudnya:
Tumbuh-tumbuhan seperti pohon-pohonan. Hewan ternak seperti burung-burung yang telah dipakai sarana upacara yadnya, akan lahir dalam tingkatan yang lebih tinggi pada kelahirannya yang akan datang. 


PENGGUNAAN flora dan fauna atau tumbuh-tumbuhan dan hewan sebagai sarana upakara bertujuan untuk melestarikan eksistensinya di alam semesta ini. Sebab, umat manusia tidak mungkin juga dapat hidup tanpa keberadaan flora dan fauna tersebut. 

Kalau kita perhatikan makna yang terkandung dalam Sloka Manawa Dharmasastra yang dikutip di atas ini sangat jelas tujuan penggunaan flora dan fauna tersebut untuk melestarikannya secara turun-temurun. Fauna yang sering dijadikan sarana pesta dalam rangka upacara keagamaan itu pun termasuk hewan yang wajib dilestarikan, apalagi hewan polos itu populasinya sangat langka dan sulit dibudidayakan. 

Janganlah dibalik, demi agama makhluk itu justru dibiarkan punah begitu saja. Justru amanat agamalah yang dijadikan dasar acuan untuk melestarikan makhluk langka, termasuk penyu tersebut. 

Kitab Sarascamucaya Sloka 135 juga mengamanatkan agar alam itu dilestarikan sebagai sarana untuk menjamin tegaknya tujuan hidup manusia mewujudkan Dharma, Artha, Kama dan Moksha. Sloka Sarascamuscaya itu menyatakan sbb: Matangnyan prihen tikang Bhutahita, haywa tan maasih ring sarwa parani. Apan ikang praana ngarania, ya ika nimitaning kapagehan ikang catur warga, nang Dharma, Artha, kama Moksha. 

Artinya, usahakanlah kesejahteraan semua makhluk itu. Jangan tidak menaruh belas kasihan kepada semua makhluk itu. Karena kehidupan mereka itu menyebabkan tetap terjamin tegaknya Catur Warga yaitu Dharma, Artha, Kama dan Moksha. Menyimak makna Sloka Sarascamucaya tersebut tentunya diartikan kalau makhluk itu populasinya berlebihan tentunya dapat dimanfaatkan. 

Kalau pemanfaatannya sudah berlebihan sehingga makhluk itu menjadi langka maka usaha umat adalah melestarikannya kembali. Jangan makhluk tersebut sampai punah eksistensinya di alam ini. 

Apalagi penyu, tidak ada satu sastra agama pun yang mewajibkan penggunaan hewan penyu itu sebagai sarana upacara. Kalau ada upacara yadnya dalam tingkatan utama sampai menggunakan banten Catur Niri umumnya menggunakan hewan penyu sebagai puweran. Upacara dalam tingkatan utama seperti itu sangat jarang dilakukan dalam tradisi Hindu di Bali. 

Kalaupun upacara besar itu dilangsungkan dengan menggunakan hewan penyu (yang langka) menurut ketentuan Dharmasastra dapat diganti dengan sarana Calcalan yaitu sarana banten yang menggunakan tepung. Sarana Calcalan dari tepung itu dibentuk persis menyerupai penyu. Lewat sarana itulah roh penyu itu didoakan mohon kepada Tuhan semoga ia tetap lestari adanya di alam ini bersama-sama makhluk lainnya. Doa itu adalah niat awal untuk diwujudkan secara nyata untuk melestarikannya dengan tidak membunuh. 

Penggunaan hewan dalam upacara yadnya umumnya digunakan dalam upacara Bhuta Yadnya. Upacara Bhuta Yadnya ini juga bermakna pelestarian bukan pembantaian. Mari kita perhatikan teks Agastia Parwa sbb: Bhuta Yadnya ngarania taur muang kapujan ring tuwuh. 

Artinya, Bhuta Yadnya namanya adalah mengembalikan dan menjaga kelestaian tumbuh-tumbuhan. Ini artinya, apa saja yang kita manfaatkan untuk melangsungkan hidup dan kehidupan di dunia ini hendaknya dikembalikan kelestariannya. Terutama tumbuh-tumbuhan. Karena tumbuh-tumbuhan itulah sebagai sumber hidup dan kehidupan hewan dan terutama manusia. 

Dalam kitab Bhagawan Gita III.14 menyatakan bahwa tumbuh-tumbuhanlah yang menjadi sumber pokok makanan hewan dan manusia. Hakikatnya Bhuta Yadnya itu adalah amanat pelestarian alam, terutama sarwa prani menurut ajaran Hindu. Penggunaan hewan penyu untuk konsumsi dalam acara pesta adat juga kurang tepat dilakukan, karena penyu itu hewan langka. Dalam Manawa Dharmasastra V.45 dinyatakan bahwa ia yang melukai apalagi membunuh makhluk yang tidak membahayakan untuk kepuasan indrianya sendiri, orang itu tidak akan pernah merasakan hidup bahagia, selalu berada dalam keadaan tidak hidup dan juga tidak mati. 

Untuk itu, janganlah menyembelih hewan hanya untuk kesenangan yang bernuansa rekreatif semata. Ini berarti penggunaan hewan penyu yang langka ini tidak dapat dibenarkan kalau ia digunakan untuk tujuan bersenang-senang yang sifatnya hanya rekreatif. Marilah jaga citra agama Hindu dengan tidak lagi menyembelih penyu dengan alasan adat, apalagi agama. 

* I Ketut Gobyah 

sumber : www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net