Rabu, 16 September 2015

Menggairahkan Minat Belajar Siswa

Brahmacari ngarania sang sedeng mangabyasa Sang Hyang Sastra muang Sang Wruh ring tingkahing Sang Hyang Aksara. Samangkana kramania Sang Brahmacari ngaran. 

(Dipetik dari Agastia Parwa) 

Maksudnya:
Brahmacari namanya orang yang sedang membiasakan mendalami ilmu pengetahuan suci dan orang yang paham akan hakikat penggunaan huruf atau aksara. Demikianlah seharusnya perilaku orang yang disebut Brahmacari. 


SAAT berlangsungnya ujian akhir tahun 2003 ini kegiatan siswa belajar umumnya kurang begitu serius. Hal ini dijelaskan oleh berbagai pihak saat saya menghadiri sebagai undangan ceramah di berbagai tempat di Bali. Ada klian canjar dan beberapa bendesa adat mengeluhkan hal ini. Demikian juga para orangtua murid. Menurunnya gairah belajar siswa dalam menuntut ilmu ini tentunya tidak begitu mudah mengungkapnya. Meskipun demikian kita tidak boleh membiarkannya begitu saja. Setidak-tidaknya semua pihak harus lebih serius memperhatikannya agar gairah belajar siswa tersebut tetap tinggi. 

Ada klian banjar yang menanyakan kepada siswa mengapa dia tidak belajar lebih serius menghadapi ujian. Siswa yang berada di lingkungan banjar bapak klian itu menjawab, ''Buat apa belajar toh juga pasti akan lulus.'' Kalau ini alasannya mungkin tradisi lulus seratus persen itu sebagai salah satu penyebab lemahnya minat belajar siswa. 

Dengan sistem pelulusan yang berlaku sekarang ini akan dapat mengembalikan gairah siswa untuk belajar. Artinya, siswa akan jadi waswas. Apakah mereka akan lulus atau tidak. Berbeda dengan dulu. Sistem lulus seratus persen itu sudah tiak diberlakukan lagi saat ini. 

Sesungguhnya secara formal meluluskan siswa seratus persen itu tdiak pernah ada. Tetapi guru-guru sepertinya mengalami tekanan psikologis secara halus untuk meluluskan siswanya seratus persen setiap tahun. Karena guru sering didekati oleh sementara orangtua murid agar anaknya dapat dibantu untuk lulus. Karena itu, sering siswa itu nilainya dikatrol oleh guru bukan didapatkan oleh murid sendiri melalui ulangan umum atau ujian akhir. 

Lebih-lebih seperti nilai agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia. Meskipun siswa itu mendapatkan nilai miring, guru harus memberinya nilai di atas enam. Padahal aturannya, kalau mata pelajaran itu nilainya di bawah enam meskipun yang lainnya mendapat nilai baik, maka siswa itu tidak lulus. 

Dalam praktik nilai mata pelajaran dasar itu secara terpaksa sering diberikan nilai di atas enam. Apa pun alasannya hendaknya semua pihak mendukung sekolah dengan para guru untuk menerapkan peraturan secara baik dan tegas. Orangtua sebaiknya tidak membuat guru mengalami tekanan psikologis secara halus. Ingat hakikat pendidikan itu bukan untuk membuat siswa menjadi pandai. Tetapi membangun siswa itu agar dapat mengelola hidup dan kehidupannya dengan sebaik-baiknya kelak. 

Mari kembali renungkan kutipan Agastia Parwa di atas. Swadharma siswa adalah: mengabyasa Sang Hyang Sastra dan wruh ring kalingganing Sang Hyang Aksara. Artinya seorang siswa wajib membangun suatu kebiasaan hidup untuk belajar mendalami ilmu pengetahuan. Kalau siswa mampu membangun belajar sebagai tradisi, barulah sebenarnya ia berhak disebut Brahmacari. 

Tradisi mendalami Sastra artinya belajar mencari ilmu untuk hidup itu sudah sebagai suatu kebutuhan hidup sehari-hari bagi seorang siswa. Kalau ia tidak sempat belajar dalam sehari saja misalnya, ia rasakan ada sesuatu yang kurang. Karena belajar itu sudah menjadi tradisi baginya. 

Selanjutnya Brahmacari itu adalah memiliki pemahaman yang baik tentang hakikat adanya huruf atau Aksara. Kata Aksara dalam Bahasa Sansekerta artinya yang kekal abadi. Ini artinya Tuhan menurunkan Aksara ke bumi ini untuk menyebarkan ajaran suci dari Tuhan Yang Mahakekal itu. 

Kalau Aksara itu digunakan untuk menuliskan hal-hal yang bertentangan dengan sabda Tuhan itu artinya penggunaan Aksara sudah menyimpang dari hakikatnya. Kata Aksara itu sudah mengandung makna bahwa seorang Brahmacari hendaknya rajin menulis untuk menyebarkan ilmu pengetahuan suci (Sang Hyang Sastra) yang didapatnya dari tradisi belajar. 

Mengabyasa ini artinya membiasakan atau mentradisikan. Maksudnya agar belajar itu tidak menjadi beban karena sudah mentradisi dalam hidup seorang Brahmacari. Karena itu, semua pihak harus menciptakan kondisi agar siswa menjadi terarah untuk membangun kebiasaan hidup untuk belajar dan berlatih mendalami ilmu pengetahuan baik Guna Widya maupun Tattwa Adyatmika. 

Guna Widya adalah ilmu untuk mendapatkan keterampilan bahkan keahlian sampai menjadi profesional. Dari Guna Widya itulah mereka mendapatkan nafkah untuk hidup. Sedangkan Tattwa Adyatmika adalah untuk memperoleh kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual inilah yang dapat didayagunakan untuk membangun keluhuran moral dan daya tahan mental menghadapi berbagai tantangan hidup. Dengan bekal Guna Widya dan Tattwa Adyatmika yang memadai, seimbang dan sinergis seorang Brahmacari sudah siap menjadi Grhastha. 

* I Ketut Gobyah 

  
sumber : www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net