Sabtu, 19 September 2015

Pengelompokan Wangsa untuk Memuja Leluhur

Daivaadyantam tadiiheta.
Pitraadyantamna tad bhavet.
Pitradyantam twiihamaanah.
Ksipram nasyati sanwayah.
(Manawa Dharmasastra, III.205) 

Maksudnya:
Hendaknya seseorang itu memuja leluhur dengan upacara Sradha terlebih dahulu dan berakhir dengan pemujaan Tuhan sebagai yang tertinggi. Hendaknya jangan memulai dan berakhir dengan pemujaan leluhur saja. Karena ia yang melakukan hal itu akan hancur bersama keturunannya. 

SLOKA Manawa Dharmasastra ini menyatakan bahwa pemujaan leluhur bukanlah berdiri sendiri. Karena kalau hanya memuja leluhur akan sampai pada leluhur. Memuja Bhuta akan sampai pada Bhuta. Pemujaan leluhur itu adalah dalam rangka memuja Tuhan. Tentu sah saja bagi mereka yang sudah mencapai tingkatan Maha Resi hanya memuja Tuhan secara langsung tanpa melalui pemujaan pada Bhuta dan leluhur. 

Memuja Bhuta artinya manusia hendaknya mencurahkan kasih sayangnya dalam melestarikan unsur-unsur Bhuta dalam wujud sarwa prani. Demikian juga memuja leluhur (Dewa Pitara) berarti menghormati dan menyatukan diri dengan leluhur untuk memperkuat pemujaan kepada Tuhan. 

Keharmonisan dan persatuan dalam alam dan leluhur itulah sebagai suatu wujud kehidupan yang akan mendapat anugerah Tuhan. Puja artinya sembah. Kata sembah memiliki lima arti yaitu menyayangi, menghormati, memohon, menyerahkan diri dan menyatukan diri. 

Dalam Manawa Dharmasastra III.203 menyatakan, pemujaan sebelumnya akan memperkuat pemujaan belakangan. Jadinya semua pemujaan sebelumnya untuk memperkuat pemujaan kepada Tuhan. Kalau hanya memuja leluhur saja tidak dalam rangka memuja Tuhan maka orang itu akan hancur bersama keturunannya sebagaimana dinyatakan dalam Sloka Manawa Dharmasastra tersebut di atas. 

Pemujaan kepada leluhur memiliki dua dimensi yaitu berdimensi sosial untuk merukunkan dan menyatukan keturunan atau wangsa. Sedangkan dimensi spiritualnya untuk memuja Tuhan sebagai tujuan yang utama dan tertinggi. Dari sistem pemujaan leluhur ini terbentuknya wangsa atau soroh. Sistem soroh itu tujuannya sangatlah mulia karena memiliki tujuan yang horizontal dan vertikal. 

Tujuan horizontal adalah untuk merukunkan dan menyatukan keluarga dalam satu keturunan atau wangsa. Hidup rukun merupakan kebutuhan sosiologis setiap manusia normal. Karena Tuhan pun tidak mungkin dapat diraih dengan bermusuhan, apa lagi sesama saudara dalam satu keturunan. Jadi sistem pemujaan Tuhan melalui pemujaan leluhur itu bertujuan untuk merukunkan dalam proses menyatukan keluarga dalam satu keturunan. 

Adanya sistem wangsa atau soroh dalam masyarakat Hindu berasal dari konsep pemujaan leluhur sebagai persiapan untuk lebih maju memuja Tuhan. Sayangnya umat Hindu di Bali salah menerapkan sistem wangsa atau soroh ini. Sistem wangsa atau soroh ini dijadikan dasar menentukan sistem Catur Varna. Inilah kesalahan yang sangat fatal yang menyebabkan citra Hindu menjadi sungguh tercoreng dalam masyarakat luas. 

Sistem wangsa dan sistem Catur Varna tidak memiliki hubungan konsepsional. Sistem Catur Varna dasarnya adalah Guna dan Karma. Dalam berbagai Sastra Hindu menyatakan bahwa hendaknya orang mendapatkan penghidupan dan kehidupan sesuai dengan Varna-nya. 

Hidup yang bahagia itu adalah hidup berdasarkan varna-nya. Ini artinya hidup dan bekerja sesuai dengan minat dan bakat itulah syarat hidup untuk mencapai kebahagiaan. Negara (raja) harus mampu menjamin kehidupan yang seperti itu. Negara tidak akan nyaman kalau hanya segelintir ksatria (pemimpin) dan waisya (pengusaha) yang hidupnya sampai berlebihan. 

Sumber konflik yang paling laten dalam masyarakat Hindu akan hilang apabila sistem wangsa dikembalikan sebagai sistem sosial religius untuk membangun kerukunan keluarga dalam rangka memuja leluhur (Dewa Pitara) dan memuja Tuhan. Karena tinggi-rendahnya harkat dan martabat seseorang tergantung pada kualitas perilakunya. 

Tinggi-rendahnya harkat dan martabat seseorang tidak ada hubungannya dengan wangsanya. Bahkan, dalam Bhagawad Gita XVI.15 menyatakan bahwa orang yang meninggi-ninggikan wangsanya (abhijanavaan) terhadap wangsa orang lain dinyatakan sebagai sifat keraksasaan (Asuri sampad). Jadi, dasar itu menentukan sistem Catur Varna bukanlah sistem wangsa, tetapi ditentukan oleh guna dan karma. 

Orang yang mencari soroh atau asal-usul wangsanya akan sangat mulia kalau dimaksudkan untuk meningkatkan kerukunan dan bakti kepada Dewa Pitara dan Tuhan. Kalau untuk mencari posisi tinggi-rendah keberadaan wangsanya itulah adalah sangat identik dengan perilaku Asura. 

Kerukunan menurut sistem Hindu dibangun melalui kerukunan keluarga, kerukunan teritorial, kerukunan profesional dan kerukunan universal. Empat tahap kerukunan itu dibangun melalui sistem pemujaan leluhur dan Tuhan. 

* I Ketut Gobyah 
sumber : www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net