Senin, 07 September 2015

Tegaknya Panca Yadnya, Ciri Ajegnya Bali

Tesaam kramena sarvaasaam
Niskrtyastham maharsibhih
Panca krpta mahaayadnyah
Pratyaham grhmedhinan.
(Manawa Dharmasastra. III 69) 

Maksudnya:
Untuk menebus dosa yang ditimbulkan oleh pemakaian kelima alat tersebut, para Maharesi telah menggariskan kepada para kepala keluarga agar setiap harinya melakukan Panca Yadnya. 


DALAM Sloka yang dikutip ini, ada pernyataan dalam Adyaya III, 68 yang menyatakan, melakukan penyembelihan di lima tempat seperti tempat masak, batu pengasah, sapu, lesung, dan alunya, serta tempayan tempat air adalah perbuatan dosa. Untuk menghapus dosa itu, dalam Sloka di atas diwajibkan setiap kepala keluarga Hindu melakukan Panca Yadnya setiap hari. 

Melakukan Panca Yadnya itu tidak saja karena alasan untuk menghapus dosa-dosa sebagai akibat melakukan penyembelihan di lima tempat tersebut, juga dasar yang lain yang mewajibkan umat Hindu melakukan yadnya. Misalnya dalam Manawa Dharmasastra VI.35 menyatakan, kalau pikiran ditujukan untuk mencapai kebebasan terakhir sebelum menyelesaikan Tri Rena yaitu utang kepada Tuhan (Ida Hyang Widhi Wasa), para resi dan pitara-nya, maka ia akan jatuh tenggelam ke bawah. 

Menyelesaikan tiga utang yang disebut Tri Rena itu dengan melakukan Panca Yadnya, Dewa Rena dibayar dengan Bhuta Yadnya dan Desa Yadnya. Karena bhuta itu adalah bhuwana itu sendiri yang merupakan badan nyata dari Tuhan. Resi Rena dibayar dengan Resi Yadnya. Pitra Rena dibayar dengan Pitra Yadnya dan Manusia Yadnya. 

Mengapa Manusia Yadnya? Karena keturunan itu pada hakikatnya leluhur kita yang menjelma kepada anak cucu kita. Secara tattwa beryadnya kepada keturunan juga berarti melakukan yadnya pada leluhur. Sloka berikutnya menegaskan lebih lanjut setelah ia mempelajari pustaka suci Weda sesuai dengan aturannya dan mendapatkan putra sesuai dengan kemampuannya. Dengan demikian, ia dibolehkan menyerahkan pikiran untuk mencapai kebebasan terakhir. 

Dalam Bhagawad Gita III.16 menyatakan barang siapa yang tidak ikut memutar cakra yadnya yang sifatnya timbal balik ini adalah jahat dalam alamnya. Puas dengan indria sendiri sesungguhnya hidup yang sia-sia. Ini artinya hidup di dunia ini tidak bisa hanya ditujukan untuk mencapai kelepasan rohani. Sebelum melakukan Cakra Yadnya (mencapai kelepasan) sebelum melakukan yadnya yang timbal balik itu justru akan membawa manusia ke jurang yang rendah. 

Melakukan Panca Yadnya bukan berarti hanya melakukan upacara agama yang mewah-mewah dan mahal-bahal. Upacara agama itu baru langkah ritual untuk membangun kekuatan spiritual. Hal itu haruslah dilanjutkan dengan mewujudkan nilai-nilai spiritual yang dikandung dalam ritual sakral dengan langkah yang aktual dan kontekstual dalam kehidupan sehari-hari. 

Dalam kaitan dengan ajeg Bali, umat Hindu di Bali harus menegakkan ajaran Panca Yadnya itu dalam arti yang sebenarnya. Tidak berhenti di tingkat ritual yang sering dibelokkan layaknya festival. Antara ritual sakral mewujudkan kekuatan spiritual dengan membenahi kehidupan alam lingkungan, kehidupan sosial dan individual. 

Pada bulan Cetra ini umat Hindu melangsungkan upacara melasti. Tawur Kasanga dan Nyepi dan Tahun Baru Saka 1925. Sampai saat ini kegiatan yang sangat sakral itu umumnya juga berhenti sampai di tingkat ritual saja. Padahal petunjuk dalam Lontar Sunarigama dan Sang Hyang Aji Swamandala sangat jelas petunjuk operasionalnya. Misalnya, Melasti Lontar petunjuknya diajarkan untuk meningkatkan sradha dan bhakti kepada Tuhan (ngiring prawatek Dewata). 

Untuk melenyapkan penderitaan masyarakat (anganyutaken laraning jagat). Menghilangkan kepapaan individual (anganyutaken papa klesa) dan membangun alam yang lestari (anganyutaken letuhing bhuwana). Setelah melasti dilanjutkan dengan Nyejer, Tawur dan Nyepi. Nyejer itu adalah untuk menegakkan keyakinan kita pada Tuhan lebih kuat. 

Tawur dalam konsep Agastia Parwa dinyatakan sebagai berikut: Bhuta Yadnya ngarania taur muang kapujan ring tuwuh. Artinya: bhuta yadnya namanya adalah mengembalikan dan melestarikan tumbuh-tumbuhan. Ini artinya sumber alam yang pernah kita ambil harus dikembalikan kelestariannya terutama tumbuh-tumbuhan sumber makanan ternak dan manusia dan juga sebagai penyubur tanah. 

Sementara Nyepi tidak lain adalah untuk menyepikan gejolak indria. Kalau indria itu yang berkuasa dalam diri ia akan menjadi sumber penderitaan diri dan orang lain. Upacara Panca Yadnya itu diingatkan dalam wujud hari raya agar kita senantiasa sadar untuk melakukan Panca Yadnya. Wujud ini bisa dilakukan vertikal dan horizontal secara benar baik dalam wujud sekala maupun niskala. 

Bali akan ajeg kalau Panca Yadnya itu dilakukan dengan benar sesuai dengan konsepnya dalam Sastra Drstha. Kalau hanya berpegang pada Kuta, Desa dan Loka Drstha tanpa berpegang pada Sastra Drstha, justru Bali ini makin bergeser dari Pulau Dewata secara bertahap menjadi pulau Asura. Perwujudan Panca Yadnya ini harusnya mampu membangun kesetaraan dan kebersamaan yang sinergis. Menjaga kelestarian lingkungan rohani, sosial dari alam. Itulah ciri ajegnya Bali. 

* I Ketut Gobyah 
sumber : www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net