Sabtu, 24 Oktober 2015

Jangan Tergantung pada Pemimpin

Sa raja purusa danda sa neta sasita ca sah,
Caturnamasramanam ca dharmasya pratibhuh smrtah.
(Manawa Dharmasastra. VII.17)

Maksudnya:
Hukum (Dharma) adalah penguasa yang mengatur dan membatasi dari kewenangan pemerintah (Raja). Hukum itulah yang mengatur batas-batas kewenangan dari pejabat pemerintah. Dharma juga yang mengatur kepastian keempat tingkatan hidup yang wajib patuh pada normanya.

Berdasarkan paradigma agama Hindu dalam kehidupan demokrasi, rakyat seharusnya tidak tergantung pada pemimpin. Justru pemimpinlah yang harus tergantung pada rakyat. Rakyatlah yang menentukan berbagai kebijakan tersebut. Dasar kebijaksanaan yang diambil adalah dari ajaran agama Hindu yang dianutnya.

Kebijakan rakyatlah yang wajib dilaksanakan oleh pemimpin. Pada hakikatnya, karena aspirasi rakyatlah sumber datangnya pemimpin tersebut. Karena itu, kehendak rakyatlah yang wajib dilaksanakan oleh pemimpin. Janganlah pemimpin itu dijadikan bosnya rakyat. Rakyatlah bosnya pemimpin dalam pemerintahan negara.

Dengan hukum Dharma itulah Tuhan mengatur segalanya kehidupan di bumi ini. Barang siapa yang berjalan pada garis Dharma ia akan mendapatkan pahala mulia. Sebaliknya siapa pun yang dalam hidupnya ini melanggar Dharma ia akan mendapatkan pahala penderitaan.

Ada pandangan bahwa hubungan rakyat Indonesia dengan pemimpinnya bagaikan cinta monyet. Pandangan ini dikemukakan pada TV swasta di Jakarta sehari setelah Pilpres 5 Juli yang lalu berlangsung. Pandangan tersebut disampaikan oleh seorang pengamat dari Ohio State University, AS, Prof. Dr. William Liddle, Guru Besar Ilmu Politik yang ahli tentang Indonesia.

Yang dimaksud dengan cinta monyet adalah munculnya kecintaan rakyat Indonesia kepada Megawati Soekarnoputri saat beliau mendapatkan tekanan politik dari penguasa saat itu. Partainya Megawati pun menang dalam Pemilu 1999. Kemenangan itu mengantarkan Megawati menjadi wapres saat Gus Dur jadi presiden dan terus menjadi presiden pada proses politik selanjutnya.

Rakyat pun terlalu berharap banyak pada kepemimpinan Megawati. Hanya beberapa tahun Megawati jadi presiden cinta sebagian rakyat pun melorot. Partai pimpinan Magawati pun tidak lagi mendapat suara terbanyak. Bahkan, dalam Pilpres 5 Juli 2004 ini pun nampaknya cinta itu akan putus juga. Sepertinya cinta itu tertuju pada Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut Pro.f Dr. Liddle, cinta itu pun akan seperti cinta monyet lagi.

Itu adalah suatu pandangan seorang pengamat, bisa benar dan juga bisa tidak. Meski demikian, sebagai warga negara Indonesia dan orang Bali khususnya, pandangan seorang ahli itu patut kita renungkan dalam-dalam. Nampaknya kita terlalu menggantungkan nasib kita pada seorang pemimpin dengan stafnya.

Rakyatlah seharusnya bangkit mengumandangkan kemandirian dalam berbagai aspek kehidupan. Dudukanlah pemimpin itu sebagai pelayan rakyat, kalau ada pemimpin yang tidak mau memposisikan dirinya sebagai pelayan rakyat, hendaknya rakyat jugalah yang bergerak menurunkan pemimpin seperti itu.

Di samping itu, hendaknya tumbuhkan sikap hidup untuk tidak tergantung pada satu orang sekalipun berkedudukan sebagai seorang presiden. Hidup bersama ini tidak bisa hanya tergantung pada kepemimpinan yang baik saja. Kepengikutan yang baik dari rakyatlah yang sesungguhnya lebih utama. Kepengikutan yang baik dari rakyat jangan diartikan sebagai sikap rakyat yang yes man.

Kepengikutan yang baik adalah kepengikutan yang rasional. Artinya, kalau memang sesuatu itu baik, tepat, wajar dan benar, harusnya diikuti dan tidak melihat siapanya. Kalau sesuatu itu tidak baik, tidak tepat, tidak wajar dan tidak benar, meskipun ia golongan sendiri harus kita berani mengoreksinya secara konstruktif.

Demikian juga dalam mengajegkan Bali. Rakyatlah yang harus diberdayakan, sehingga tidak mudah diperdaya oleh pemimpinnya. Janganlah semata-mata kita sebagai rakyat hanya bisa menyalahkan pemimpin. Sebagai rakyat haruslah produktif dan kritis memunculkan gagasan-gagasan yang benar-benar terkaji dan teruji kesahihannya dengan jati diri Bali yang ingin diwujudkan untuk mengajegkan Bali.

Oleh karena ajeg Bali adalah suatu proses yang dinamis untuk dipikirkan, diwacanakan, dan dikerjakan secara nyata untuk membangun Bali yang Jagathita. Artinya, Bali yang maju sejahtera lahir batin berdasarkan nilai-nilai kepribadian. Kepribadian itu adalah Jati Diri Kebudayaan Bali yang selalu menguatkan nilai local genius Hinduistis sebagai tumpuan untuk maju bereksistensi di dunia global setara dengan bangsa-bangsa yang maju. * I Ketut Gobyah 

sumber : www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net