Senin, 12 Oktober 2015

Meredam Arogansi

Sasi brata umarsa kang rat kabeh.
Ulah ta merdu komala yan kanton
Guyunta mamanis ya tulya amerta.
Asing matuha pandita ta swagata.
(Kekawin Ramayana, 21.14).

Artinya, bratanya Sang Hyang Chandra membuat bahagianya masyarakat. Perlihatkanlah perilakumu yang manis dan lemah lembut. Senyummu manis bagaikan air penghidupan (tulya amrta). Setiap orang apalagi orangtua dan pandita hendaknya selalu dihormati.


SASI Brata adalah salah satu dari delapan butir nasihat Sri Rama kepada adiknya Barata ketika ditugaskan mewakili dirinya sebagai pemimpin (raja) di Ayodya Pura.

Nasihat Sri Rama itu terkenal dengan ajaran Asta Brata. Delapan ajaran kepemimpinan ini sebelumnya diajarkan oleh Bhagawan Manu dalam Manawa Dharmasastra VII.4,7 dan IX.303 - 311. Cuma Dewa yang disebutkan sedikit berbeda. Tetapi, yang jelas seorang pemimpin negara beserta semua pembantunya harus mengembangkan sifat-sifat yang baik seperti dewa. Salah satu dari delapan sifat dewa yang wajib diwujudkan dalam diri seorang pemimpin adalah Candra Brata. Candra Brata ini sebelumnya juga sudah dijelaskan dalam Manawa Dharmasastra IX.309.

Pemimpin termasuk birokrat hendaknya tampil sejuk bagaikan bulan di tengah-tengah masyarakat. Kalau pemimpin tampil arogan, tentu tidak mungkin dirasakan sejuk oleh rakyat. Ajaran Asta Brata ini sebaiknya sering dibaca dan direnungkan berulang-ulang oleh para pemimpin termasuk bawahannya.

Hal itu untuk membangun sikap hidup yang benar dan tepat dalam mewujudkan aspirasi rakyat. Pemimpin seperti raja, apalagi birokratnya bukanlah penguasa, tetapi pelayan masyarakat dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat.

Dalam Manawa Dharmasastra VII.17 dinyatakan bahwa hukum itu swami bagi raja. Hukum itulah sesungguhnya penguasa bukan raja. Apalagi, istilah raja dalam sastra Weda berasal dari kata rajintah yang artinya membahagiakan rakyat.

Menurut konsep Weda, seseorang dapat diangkat sebagai raja setelah ia terbukti pernah berhasil berbuat membahagiakan rakyat. Demikian juga seorang birokrat kalau mendapatkan jabatan dalam suatu instansi hal itu adalah sebagai media beryadnya.

Dalam konteks otonomi daerah pada negara kesatuan RI (NKRI), berbagai kewenangan pemerintah pusat diserahkan kepada daerah propinsi dan daerah kabupaten/kota.

Penyerahan berbagai urusan pemerintah pusat kepada daerah itu dituangkan dalam UU No.22 Tahun 1999 yang terkenal dengan UU Otonomi Daerah.

Hal ini banyak menimbulkan pro-kontra bahkan ada yang menyatakan bahwa pimpinan pemkab/kota bisa bagaikan raja kecil yang arogan karena tidak ada hubungan hirarki dengan pemerintah propinsi, tetapi koordinasi.

Dalam konteks Bali, banyak yang meminta agar daerah ini diberikan otonomi khusus. Wacana seperti itu di era demokrasi tentu wajar saja terjadi. Terlebih undang-undang itu buatan manusia. Tidak mungkin akan sempurna. Pasti ada saja kekurangan-kekurangannya. Apalagi, sudah ada gejala UU Otda ini akan disempurnakan.

Meskipun demikian, ada baiknya berbagai kekurangan atau kelemahan UU itu disikapi secara positif. Spirit dari otonomi daerah adalah memberikan kesempatan kepada daerah untuk kreatif dan berinisiatif mengembangkan potensi daerah. Kreativitas itu dalam rangka memperlancar proses pembangunan daerah dan mempercepat pelayanan kepada rakyat dengan cara yang tepat, bermanfaat dengan biaya yang tidak menyengat rakyat. Otonomi daerah pada hakikatnya sebagai media untuk menjadikan daerah itu sosok yang semakin dewasa dan mandiri. Dewasa dan mandiri dalam menyelenggarakan pembangunan daerah dan pelayanan pemerintah kepada rakyat dalam kerangka NKRI. Spirit otonomi daerah akan terwujud apabila para politisi dan birokrat yang melaksanakannya bukan orang-orang yang arogan. Mereka juga tidak menyalahgunakan berbagai kelemahan perangkat hukum.

Menegakan idealisme ajeg Bali harus terus diupayakan agar otonomi daerah ini justru sebagai momentum positif, jangan sebaliknya. Karena itu, para politisi dan birokrasi yang punya akses melaksanakan otonomi daerah itu mampu meredam sikap arogansi. Ingat filosofi kekuasaan adalah mengabdi pada yang dikuasai. Arogansi dalam Hindu dikenal dengan istilah asmita. Asmita ini salah satu dari klesa. Klesa artinya kotor yang dapat menghambat manusia melakukan aiswarya yaitu meningkatkan diri menuju perilaku yang semakin mulia dan suci. Kalau sikap arogan ini dapat diredam maka segala sesuatunya akan terkoordinasi dengan baik antar-pemda kabupaten/kota maupun dengan propinsi. Koordinasi itu dilakukan dengan pendekatan informal dan formal secara seimbang dan kontinu. Dengan demikian pembangunan di kabupaten dan kota adalah pembangunan Bali yang diwujudkan di masing-masing kabupaten/kota. Hal itu akan terjadi apabila politisi dan birokrasi yang melaksanakan otonomi daerah itu dapat meredam sikap-sikap arogan karena merasa punya wewenang. Istilah hirarki diganti dengan koordinasi sebagai istilah yang tepat.

Dalam era demokrasi posisi pemerintahan setara, cuma beda wilayah. Istilah koordinasi sangat tepat karena hal itu berarti ibarat orangtua memperlakukan anak lebih dewasa agar semakin mandiri. Ciri kedewasaan adalah mandiri tetapi tidak ingkar pada orangtua. Dengan sikap yang dewasa itu kelemahan UU otonomi itu dapat diperkecil. * I Ketut Gobyah 

sumber : www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net