Kamis, 01 Oktober 2015

Penodaan Omkara sebagai Simbol Tuhan

Ekaaksaram param brahman
Praanaayaamah param tapah.
Saavitryastu param nasti
Maunaat satyam visisyate.
(Manawa Dharmasastra II.83) 

Maksudnya:
Aksara suci Omkara simbol tersuci mencapai Brahman, pranayama cara tapa yang utama, Savitri adalah Mantra tertinggi dan mona (diam rohani) yang utama. 


SIMBOL Tuhan itu memang bukan Tuhan. Simbol tersebut adalah sarana. Dengan sarana yang berupa simbol Omkara itulah Tuhan dirasakan lebih mudah dipuja terutama bagi umat Hindu yang awam pada umumnya. Tetapi dengan sarana simbol Tuhan tersebut manusia merasa lebih dekat dengan Tuhan. Sarana tersebut adalah alat. 

Ibarat sendok makan. Sendok itu adalah sarana untuk memasukkan makanan ke dalam mulut. Yang dimakan tetap adalah makanan bukan sendoknya. Demikian juga simbol sarana memuja Tuhan. Sarana itu adalah alat. Yang dipuja tetap adalah Tuhan bukan sarananya. Meskipun Omkara itu simbol tetap sarana tersebut berstatus sakral. Penggunaannya tidak boleh sembarangan. Aksara Omkara baik dalam aksara Devanagari maupun aksara Bali adalah simbol Tuhan. 

Bahkan, Swami Dayananda Saraswati menyatakan bahwa aksara Omkara itu adalah sarana tertua dari sebutan untuk Tuhan dalam tradisi Veda. Dalam Bhagawad Gita VII.8 dinyatakan: pranava sarvavedasu. Artinya Tuhan itu (disimbolkan) dengan aksara suci Omkara di dalam semua Veda. 

Bahkan, dalam Manawa Dharmasastra II.74 dinyatakan bahwa hendaknya mengucapkan Omkara Mantra setiap permulaan pengucapan dalam mempelajari Mantra Veda. Karena kalau tidak didahului dengan Omkara pelajaran Veda akan tergelincir menyasar. Demikian juga kalau tidak ditutup dengan pengucapan Omkara kesucian Veda akan menghilang. Bahkan, pengucapan Omkara sebagai sebutan Tuhan harus didahului dengan penyucian Pranayama dan Tirtha Pawitra. Ini mengajarkan kita umat Hindu untuk tidak sembarangan menggunakan simbol Omkara tersebut. Dalam sloka berikutnya dinyatakan bahwa Omkara tersebut diperah oleh Tuhan (Prajapati) dari tiga Veda suara A, U dan M serta dari Wyaahrti Bhur, Bhur Swah. Jadi keberadaan aksara Omkara atau juga disebut Bija Mantra atau Pranawa Mantra sangat disucikan menurut ketentuan kitab suci agama Hindu. 

Oleh karena itu, penggunaan aksara suci Omkara itu tidak boleh sembarangan. Aksara suci Omkara itu bukanlah sekadar hiasan yang menarik dan hanya bernilai seni. Omkara itu simbol sakral keagamaan Hindu. Penyalahgunaan simbol sakral itu tentunya sebagai perbuatan yang menodai kesucian keagamaan Hindu itu sendiri. Pemuatan foto seorang artis yang bertato Omkara di sekitar pusarnya di suatu majalah jelas sebagai perbuatan yang tergolong menodai kesakralan simbol keagamaan Hindu. 

Menurut berbagai ketentuan hukum positif di Indonesia, perbuatan tersebut dapat dikenai sanksi hukum. Ketentuan hukum tersebut ada dalam beberapa pasal KUHP dan juga Penpres No. 1 tahun 1965. Perbuatan penodaan kesucian keagamaan seperti itu ancaman hukuma cukup berat karena perbuatan penodaan agama itu tergolong tindak pidana. Dalam kasus penodaan aksara suci Omkara sebagai simbol sakral itu kembali umat Hindu mendapat cobaan. Untuk itu, seluruh umat Hindu hendaknya meningkatkan pengetahuan dan pemahamannya pada seluruh aspek keagamaan Hindu sendiri. Tingkatkanlah melek agama sendiri di samping harus pula melek agama orang lain. 

Melek agama sendiri bertujuan agar jangan sampai terjadi kasus penondaan agama sendiri karena kesalahan kita sendiri. Misalnya, penggunaan simbol sakral aksara Omkara ini. Mungkin ada orang lain seperti wisatawan yang tertarik pada simbol sakral tersebut. Dari umat Hindu sendirilah yang pertama menjelaskan secara benar bahwa simbol sakral tersebut tidak boleh digunakan di luar kontak keagamaan Hindu sesuai dengan normanya. 

Sangat berbeda halnya simbol yang profan. Kalau umat Hindu sendiri sudah demikian meleknya pada agamanya sendiri peristiwa penodaan simbol sakral Hindu tidak akan terjadi. Jangan karena kurang melek pada agama sendiri justru oknum umat Hindu sendiri menjadi sumber terjadi penodaan pada simbol sakral Hindu tersebut. 

Melek pada agama orang lain atau religius letters di era global sangat penting. Melek pada agama orang lain yang tidak dianut itu agar jangan karena kurang meleknya pada agama yang tidak dianut justru melakukan penodaan pada agama orang lain. 

Masyarakat dunia makin fluralistis dalam bidang agama. Tanpa pemahaman yang baik pada agama sendiri yang dianut dan juga agama orang lain yang tidak dianut pada era global ini sungguh kurang tepat. Hidup di zaman global ini sungguh sangat gersang. Kekuatan spiritualitas agama sangat dibutuhkan untuk menyiram kegersangan hidup tersebut. Dengan spiritualitas agama seseorang akan mendapatkan semangat hidup yang bergairah menuju harmoni total. 

* I Ketut Gobyah 

sumber : www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net