Rabu, 07 Oktober 2015

Yadnya bukan hanya Upacara Agama

Sreyaan dravyamayaad yadnyaaj.
Jnyanayadnyaah paramtapa.
Sarvam karmaa'khilam paartha.
Jnyaane parsamaapyate
(Bhagavad Gita IV.33) 

Maksudnya:
Lebih utama persembahan dengan Jnyana Yadnya daripada persembahan materi dalam wujud apa pun. Sebab, segala pekerjaan apa pun seharusnya berdasarkan ilmu pengetahuan suci (Jnyana). 


ISTILAH Yadnya berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya sangat luas. Umumnya yadnya diartikan sebagai sikap hidup yang ikhlas berkorban untuk kebenaran dan kesucian atau Satyam dan Siwam. Kebenaran dan kesucian itulah yang mewujudkan keharmonisan atau Sundharam. Dengan yadnya manusia meningkatkan kehidupannya yang semakin suci berdasarkan kebenaran. 

Salah satu wujud dari yadnya itu adalah melakukan upacara dan upakara. Kata upacara dalam bahasa Sansekerta artinya mendekat. Kata upakara artinya melayani dengan ramah tamah. Melakukan pendekatan dan pelayanan pada alam, masyarakat dan Tuhan tujuan dari upacara yadnya. Permasalahan masyarakat agraris tidak sekompleks masyarakat modern. 

Veda disabdakan oleh Tuhan ke dunia ini untuk menuntun umat manusia mengatasi permasalahan hidupnya. Karena itu, melakukan yadnya dalam wujud upacara dan upakara dalam masyarakat modern semestinya sudah berbeda wujudnya. Namun, esensi tattwa atau kebenarannya yang diekspresikan tetap sama yaitu Satya dan Dharma inti sari Veda. Untuk memecahkan berbagai persoalan rumit yang dihadapi oleh umat manusia modern sangat dibutuhkan yadnya para Jnyanin atau ilmuwan yang berhati suci. Karena itu, wujud Jnyana Yadnya lebih dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan kehidupan yang semakin rumit ini. Wujud yadnya dalam wujud fisik material dalam bentuk banten seharusnya dapat kita ambil dalam wujud yang kecil. 

Hal itu sangat dibenarkan oleh sastra agama. Karena dalam setiap upacara agama menurut petunjuk sastranya selalu diberikan alternatif untuk memilih dalam wujud Nista, Madya dan Utama. Nista berasal dari kata ''sta'' artinya inti sari. Marilah kita buat banten dari bahan flora dan fauna yang inti-intinya saja. 

Selebihnya kita lanjutkan dengan tindakan nyata untuk melestarikan flora dan fauna tersebut. Sebab, Manawa Dhamarsastra V.40 menyatakan bahwa penggunakan flora dan fauna dalam upacara agama adalah untuk melestarikan flora dan fauna tersebut. Karena dalam wujud yang benar dan serba kolosal akan banyak menyita sumber daya alam seperti flora dan fauna yang keberadaannya sudah semakin merana. 

Berdasarkan hiruk-pikuk kehidupan di bumi, termasuk juga di Bali ini sudah makin mendesak kita lebih mengutamakan Jnyana Yadnya daripada yadnya dalam wujud upacara yang serba kolosal. Jnyana sesungguhnya berarti kesadaran rohani yang timbul setelah mendalami ilmu pengetahuan suci. Yadnya dewasa ini seyogianya dalam wujudkan meningkatkan kesadaran rohani. 

Dari kesadaran rohani itu kita berbuat nyata untuk mengatasi kesenjangan sumber daya alam. Kurangi mengumbar asap yang mengandung CO2 ke udara. Hal itu akan dapat memperkecil efek rumah kaca yang menimbulkan pemanasan global agar iklim kembali teratur. 

Kembalikan luas dan fungsi hutan dari perusakan oleh manusia dan pengusaha yang rakus. Jangan merusak sungai dengan tidak membuang sampai sembarangan. Tegakan hak-hak rakyat dari manipulasi birokrasi dan politisi yang menyimpang. Kembangkan pendidikan dan latihan untuk membangun SDM yang bermoral, profesional dan sehat agar dapat berdedikasi secara optimal. 

Memegang jabatan di berbagai bidang juga suatu Jnyana Yadnya pada masyarakat. Hal-hal yang semacam inilah yang seharusnya kita lakukan sebagai wujud yadnya pada zaman Kali ini. Kegiatan beragama janganlah menjadi beban alam dan sosial. Kegiatan beragama yang banyak menyita waktu, tenaga dan dhana masyarakat di Bali justru tidak akan menjadikan Bali itu ajeg. 

Alam Bali menjadi merana. Apalagi di Bali lahan tidur masih luas karena tidak mendapat perhatian pemiliknya. SDM Bali kurang memiliki kesempatan merebut lapangan kerja yang ada. Mereka semakin terdesak oleh pendatang baru. Beragama hendaknya dapat diarahkan membina SDM yang memiliki militansi yang tinggi dalam artian fisik, moral dan kreativitas mengembangkan profesi. 

Hidup di zaman Kali ini penuh persaingan. Kegiatan beragama hendaknya untuk membina SDM Bali siap bersaing secara sehat. Siap hidup dalam masyarakat yang fluraris dengan mengembangkan paradigma manajemen konflik yang benar. Artinya, setiap perbedaan yang berpotensi untuk menimbulkan konflik harus dikelola secara bijak. 

Manajemen konflik yang bijak adalah tidak mematikan perbedaan yang merupakan kenyataan sosial. Tetapi, tidak membiarkan perbedaan itu sampai menimbulkan konflik sosial. Inilah wujud Jnyana Yadnya yang seharusnya kita lakukan demi ajegnya Bali. 

* I Ketut Gobyah 

sumber : www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net