Jumat, 20 November 2015

Bersaing Itu bukan Bermusuhan

Sahrdayam sammanasyam
Avidvesam krnomi vah
Anyo amyam abhi haryata.
Vatsam jatam ivaghnya. (Atharvaveda III.30.1) 

Maksudnya: Wahai umat manusia, Aku memberimu ketulusikhlasan, mentalitas yang sama dan perasaan bersahabat tanpa kebencian dan permusuhan. Seperti halnya induk sapi mencintai anaknya yang baru lahir, begitulah Anda seharusnya mencintai teman-temanmu. 


HIDUP ini adalah suatu persaingan. Persaingan itu bukan permusuhan dan bukan pula untuk saling membunuh. Persaingan adalah suatu upaya untuk meningkatkan kualitas untuk memenangkan hati rakyat. Dengan persaingan itu kita bisa memenangkan aspirasi rakyat banyak.

Pertengahan tahun 2005 ini di Kota Denpasar dan berbagai kabupaten di Bali akan dilangsungkan pemilihan kepala daerah (pilkada) -- wali kota dan bupati. Untuk pertama kalinya di Bali ini kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini tentunya membawa tanggung jawab dan risiko yang cukup berat. Rakyat tentunya akan dirayu oleh tim sukses masing-masing calon agar memilih calon yang dijagokan.

Dalam pemilihan kepala daerah memang sudah ada berbagai ketentuan hukum positif yang mengaturnya. Meskipun demikian, sangat dibutuhkan juga komitmen moral dari semua pihak untuk mematuhi ketentuan hukum positif tersebut. Di samping itu, sangat diperlukan sikap untuk tidak menganggap lawan atau pesaing sebagai musuh.

Menjaga sikap untuk tidak saling bermusuhan ini perlu dibangun baik oleh para kandidat yang bersaing maupun rakyat pemilih. Hal ini perlu kita ingatkan bersama-sama demi menjaga keadaan Bali tetap ajeg. Justru melalui pilkada itu kita kuatkan cinta kasih sesama rakyat Bali untuk dapat dengan jiwa yang tenang memilih calon yang tepat dan terbaik memimpin di Bali. Demikian juga para kandidat hendaknya meningkatkan kualitas diri baik moral, mental maupun daya nalar memahami aspirasi rakyat. Di samping itu, para calon hendaknya mampu menawarkan program-program yang realistis dalam mewujudkan harapan rakyat mendapatkan kehidupan yang jagathita. Para calon hendaknya tetap sportif dalam pilkada ini. Dengan sikap sportivitas itu para calon tidak menghalalkan segala cara dalam meraih suara rakyat.

Ikhlaslah menerima kekalahan. Mereka yang menang hendaknya tidak sombong. Yang kalah hendaknya menunjukkan sikap bersahabat dengan yang menang -- dengan menyatakan mendukung yang menang itulah kehendak rakyat. Setelah pemilihan, semua calon kembali bersatu mendukung yang menang untuk menyukseskan kehendak rakyat.

Sikap sportivitas yang demikian itulah yang seyogianya ditunjukkan oleh para calon maupun para pendukungnya dalam pemilihan kepala daerah.

Pilkada adalah upaya rakyat secara bersama-sama untuk mendapatkan pemimpin terbaik dalam menata kehidupannya yang semakin baik. Tetapi, berbagai kekurangan akan ditemui dalam hajatan demokarsi ini.

Janganlah kekurangan itu dijadikan media untuk mengembangkan permusuhan dengan membesar-besarkan berbagai kekurangan tersebut. Kalau kekurangan itu benar-benar merupakan pelanggaran hukum yang berat, salurkan hal itu sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Semua pihak harus mendukung dan ikhlas menerima proses hukum tersebut, baik manisnya maupun pahitnya. Kalau tidak terlalu berat ada baiknya setiap persoalan diselesaikan dengan dialog. Kita bisa saja keliru dan salah. Manusia juga memiliki kemampuan spiritual untuk memanfaatkan berbagai kekurangan tersebut sebagai wujud cinta kasih.

Dalam pilkada ini yang sangat patut kita renungkan demi ajeg Bali adalah pemakaian simbol-simbol agama dan adat Bali. Simbol-simbol agama Hindu dan adat Bali wajib dijaga dan dilindungi. Jangan sampai dalam pilkada ada kandidat yang membiaskan simbol-simbol agama Hindu dan adat Bali demi meraih suara. Kita tidak ingin ada pandita Hindu yang keliling dari rumah ke rumah untuk memenangkan seseorang calon. Dalam tradisi Hindu di Bali posisi pandita itu sakral dan netral dalam politik praktis.

Demikian juga dalam menggunakan istilah pecalang. Penggunaan pecalang sudah sangat membias ke wilayah di luar agama dan adat Bali. Saya sangat khawatir karisma pecalang akan semakin hilang karena pembiasan fungsi yang berlebihan. Hindarilah penggunaan simbol-simbol agama Hindu dan adat Bali dalam pilkada. Jangan terlalu dibiaskan ke wilayah lain. Pilkada adalah peristiwa politik. Dalam kehidupan politik praktis sudah ada berbagai tradisi berpolitik yang etis. Marilah etika politik tersebut dikreasi agar kehidupan berpolitik dapat lebih berkualitas demi rakyat.


* Ketut Gobyah
sumber : www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net