Senin, 09 November 2015

Jangan Biarkan Adat Mengubur Nilai Agama

Ya vedavahyah smrtayo
Yasca kasca kudrstayah
Sarvasta nisphala pretya
Tamo nistha hitah smrtah.
(Manawa Dharmasastra.XI.95).

Maksudnya:
Semua tafsir dan semua sistem tattwa yang rendah (kudrsta) yang tidak berdasarkan kitab suci Veda tidak akan membawa pahala mulia karena didasarkan pada kegelapan (guna tamah).


Dalam sloka Manawa Dharmasastra ini ada dinyatakan istilah kudrsta, artinya tradisi yang bertentangan dengan pandangan kitab suci Veda. Jadinya ada adat yang berdasarkan pandangan kitab suci yang disebut Sastra Drsta dan ada adat yang bertentangan dengan pandangan kitab suci yang disebut Kudrsta.

Syair-syaiur Veda Sruti disebut Mantra. Mantra Veda Sruti itu bersifat Prabhu Samhita, artinya kumpulan syair suci yang penuh wibawa. Karena penuh wibawa masyarakat awam tidak mudah menjangkaunya. Karena itu, para Resi menyusun Itihasa dan Purana sebagai tangga untuk mendaki kesucian Veda. Syair-syair Itihasa dan Purana lebih mudah memahaminya sehingga disebut Suhrita Samhita.

Nilai-nilai Veda yang dimuat dalam Itihasa dan Purana itulah yang harus ditradisikan. Jadinya kebenaran Veda itulah yang harus diadatkan. Hal ini dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra dengan istilah Sadacara.

Proses membangun tradisi Veda dalam Sarasamuscaya disebut dengan istilah Vedabsyasa dan Dharma Abyasa. Artinya membiasakan ajaran Veda dan Dharma dalam perilaku sehari-hari. Sadacara berasal dari kata Sat atau Satya artinya kebenaran Veda. Kata acara artinya tradisi atau perilaku mulia yang langgeng dalam mengamalkan ajaran suci.

Wrehaspati Tattwa 25 menyatakan: Sila ngarania mangaraksa acara rahayu. Sila artinya memelihara adat yang benar dan baik. Dalam Sarasamuscaya 177 ada dinyatakan, Acara ngaraning prawrtti kawarah ring aji. Artinya, acara adalah pengamalan ajaran kitab suci.

Jadinya adat itu seharusnya menjadi alat atau media untuk mengamalkan ajaran kitab suci, sehingga menjadi kebiasaan hidup sampai menjadi adat. Karena kurang paham dalam memelihara adat-istiadat itu akhirnya adat itulah yang dilanggengkan. Agar adat itu langgeng menjadi media mentradisikan ajaran suci agama maka adat itu harus berubah-ubah secara dinamis.

Ajaran suci Veda itu Sanatana Dharma, artinya kebenaran abadi. Sedangkan penerapannya harus Nutana Dharma artinya terus mengalami peremajaan. Untuk meremajakan adat-istiadat harus terus-menerus diadakan dinamika menurut ajaran Tri Kona. Ajaran Tri Kona itu harus ada proses Utpati yaitu penciptaan adat yang baru sesuai dengan kebutuhan zaman. Sthiti artinya melindungi dan memelihara adat-istiadat yang berdasarkan kitab suci dan masih sesuai dengan kebutuhan zaman.

Pralina artinya meninggalkan adat-istiadat yang sudah usang tidak sesuai dengan kebutuhan zaman dan bertentangan dengan ajaran suci. Kenyataan sekarang sangat sulit menghilangkan adat-istiadat yang bertentangan dengan agama dan sudah jauh ketinggalan zaman. Misalnya menyelenggarakan upacara yadnya yang bersifat asmita atau suka pamer dan arogan. Padahal kitab suci mengajarkan upacara yang Satvika atau yang berkualitas adalah salah satu syaratnya yang na asmita, artinya tidak arogan.

Kata upacara dalam bahasa Sansekerta artinya mendekatkan. Tidak mungkin akan membawa umat saling mendekatkan dirinya kalau upacara itu ada unsur yang sangat diskriminatif dan ditampilkan sangat arogan. Demikian juga dalam hal mengatur adat agama ada sementara aparat adat yang sewenang-wenang dan menggunakan adat suryak siu. Dengan demikian banyak adat yang diterapkan itu mematikan demokrasi.

Menghukum anggota krama yang salah menggunakan hukum matsya niyaya yaitu hukum ikan siapa yang kuat dia yang menang. Padahal, manusia itu bukan ikan. Manusia harus memenangkan yang benar dan menghukum yang salah secara adil dan mendidik agar yang salah itu sadar dan kembali pada jalan yang benar. Menghukum krama yang salah dengan cara yang salah akan menimbulkan dendam berkepanjangan. Bahkan, ada pakar yang berani menyatakan di media elektronik di Bali adat sudah mirip dengan penjajah. Dalam adat kalau ada orang sudah dikatakan salah dengan cara-cara suryak siu mereka kehilangan kemerdekaannya untuk membela dirinya dan mendapatkan perlakuan yang adil.

Dalam Manawa Dharmasastra VII.19 dan 24 menyatakan vonis yang dijatuhkan kepada tersangka tanpa pertimbangan yang adil akan menghancurkan segala-galanya. Semua golongan akan kacau, semua larangan akan dilanggar dan semua manusia akan bermusuhan satu dengan yang lainnya. Hal itu terjadi sebagai akibat dari kesalahan menjatuhkan hukuman (vonis) kepada tersangka.

Bali tidak akan ajeg kalau adat-istiadat yang digerakkan dengan kecenderungan asura (asuri sampad). Swami Satya Narayana menyatakan adat-istiadat yang berdasarkan kitab suci itu adalah salah satu ibu kita yang disebut dengan Desa Mata. Desa artinya suatu norma suci yang berlaku di suatu tempat dan mata artinya ibu atau mother dalam bahasa Inggrisnya. Karena itu, marilah kita terus mengkreasi tradisi itu agar jangan basi.

Upaya mengkreasi tradisi itu untuk menajamkan penerapan visi kitab suci. Visi kitab suci yang ditradisikan dengan semangat kreasi yang tinggi akan membawa hidup ini penuh imajinasi dengan berbagai variasi yang penuh isi bergisi suci.

* I Ketut Gobyah 
sumber : www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net