Rabu, 04 November 2015

Memilih Pemimpin yang Ideal

Suddha bhuumi gatam toyam
Suddha naarii pativrataa
Sucih ksemakaro Raja.
Santusto braahmanah sucih.
(Canakya Nitisastra. VIII.17)

Maksudnya:
Air yang meresap dalam tanah menjadi bersih, istri yang setia pada suami menjadi suci. Raja yang menyelamatkan dan memberi kesejahteraan kepada rakyat menjadi suci dan seorang Brahmana yang mencari kepuasan rohani menjadi suci.


DALAM susastra suci Hindu pemimpin itu disebut Raja atau Indra. Menurut Chandra Prakash Bamri dalam bukunya ''Substand Of Hindu Politic'' menyatakan kata ''raja'' berasal dari kata ''rajintah''. Dalam bahasa Sansekerta kata ''rajintah'' berarti membahagiakan. Seseorang dapat diangkat menjadi pemimpin (raja) kalau ia sudah pernah terbukti membahagiakan atau rajintah pada orang banyak (rakyat).

Jadinya seseorang yang baru berjanji akan membahagiakan rakyat kuranglah tepat diangkat menjadi pemimpin. Karena baru berjanji. Menjadi pemimpin itu bukanlah suatu proses belajar dan berlatih. Ia harus sudah tamat dalam kancah memperjuangkan nasib rakyat. Terutama mereka yang sudah terbukti pernah mampu menciptakan rasa aman dan selalu mengupayakan kesejahteraan rakyat yang adil dan bermoral.

Pemimpin menurut susastra Hindu juga disebut Indra atau Narendra. Dalam ajaran Asta Brata ada dinyatakan Indra Brata dalam Kekawin Ramayana. Ajaran Asta Brata itu sesungguhnya sumbernya yang lebih tua adalah Manawa Dharmasastra VII.4 dan 7 serta IX.303.

Semua Sloka Manawa Dharmasastra tersebut mencantumkan sifat-sifat Dewa Indra agar dijadikan sebagai pedoman oleh para pemimpin. Demikian juga Kekawin Ramayana Sargah 21.10 menyatakan delapan sifat para Dewa agar dijadikan pedoman oleh para pemimpin. Di dalamnya juga termasuk Indra Brata.

Dewa Indra itu adalah dewanya hujan. Hujan itu berasal dari bawah seperti air laut, misalnya. Karena kena panasnya sinar matahari, air yang dibawa menguap ke atas terus menjadi mendung. Kalau mendung itu turun menjadi hujan menyejukkan iklim dan membuat kemakmuran. Kalau mendung itu tidak turun menjadi hujan cuaca menjadi panas. Orang di bumi ini pun menjadi panas kegerahan.

Jadi, menurut konsep Indra Brata ini orang layak dipilih menjadi pemimpin kalau ia sudah pernah mengalami pahit getirnya pengabdian memperjuangkan nasib rakyat. Setelah ia menjadi pemimpin kembali ia turun memberikan kesejukan pada rakyat. Kesejukan rakyat itu adalah mendapatkan rasa aman dan adanya peluang untuk mendapatkan kesejahteraan yang adil dan bermoral. Sesungguhnya sederhana seperti itulah harapan rakyat pada para pemimpinnya.

Dalam euforia pemilihan kepala daerah (pilkada) oleh rakyat secara langsung Juli 2005 nanti, proses pilkada ini patut dicermati oleh kita semua. Khusus pemilihan kepala di daerah Bali ini patut kita berikan catatan tersendiri. Pilkada di samping sudah diatur secara umum yang bersumber dari undang-undang dan peraturan organiknya hendaknya memperhatikan juga nilai-nilai lokal budaya Bali sebagai kristal nilai-nilai Hindu itu sendiri.

Salah satu nilai lokal itu, pemimpin itu adalah orang yang dikehendaki menjadi pemimpin oleh rakyat banyak. Dalam ilmu Nitisastra orang banyak itu disebut Mahajana Samanta. Karena dikehendaki oleh orang banyak maka pemimpin itu disebut Mahasamanta. Pemimpin itu bukan mereka yang ambisius ingin menjadi pemimpin. Karena mabuk ingin menjadi pemimpin lalu membentuk tim sukses.

Tim ini kadang-kadang melibatkan oknum-oknum yang bergaya preman bagaikan calo-calo untuk memprovokasi rakyat agar memilih sang pemimpin jagonya. Berbagai sarana dimanfaatkan untuk ngorbit menjadi calon pemimpin. Tim sukses inilah yang dijadikan kuda tunggangan untuk mengorbitkan dirinya untuk menjadi pemimpin.

Inilah yang sangat bertentangan dengan budaya Bali. Tidak ada budaya Bali yang mengajarkan agar kita dengan pongah untuk menonjol-nonjolkan untuk menjadi pemimpin seperti ingin menjadi gubernur, bupati ataupun wali kota. Orang yang sampai mencalonkan diri lewat tim sukses yang ibarat calo untuk jual barang. Mereka yang ambisius seperti itu bukan tanggung jawab menjadi pemimpin. Yang dipikirkan adalah fasilitas yang akan didapat dari jabatan tersebut. Di samping itu, mereka ingin menjalankan kehendak pribadinya sebagai kebijakan pemerintah.

Padahal, pemimpin itu seharusnya sebagai pelaksana kehendak rakyat. Mereka yang tidak sejalan, apalagi berani kritis akan disingkirkan. Mereka yang memujinya akan diguyur dengan berbagai bantuan atau fasilitas dalam berbagai bentuk. Pemimpin yang sampai berani menyuap agar naik menjadi pemimpin itu bukanlah pemimpin yang akan membuat ajeg Bali.

Ada yang sampai hati mengkhianati kelompok yang pernah mengusungnya menjadi pemimpin Bali tidak mungkin akan ajeg kalau pemimpin yang sejenis itu memimpin di Bali. Biarlah rakyat Bali dengan murni menyalurkan pilihannya tanpa diobok-obok oleh tim sukses dengan gaya calo dan premannya. Rakyat hendaknya diberikan kebebasan benar-benar secara merdeka menentukan pilihan hati nuraninya. Membangun ajeg Bali tidak mesti lewat jalur menjadi kepala daerah. Membangun ajeg Bali bisa dari berbagai jalur sesuai dengan swadharma masing-masing.

* I Ketut Gobyah 
sumber : www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net