Selasa, 03 November 2015

Tanda Klan bukan Menunjukkan Varna

Caaturvarnyam mayaa srshtam
Gunakarma vibhaagasah
Tasya kartaaram api maam
Viddhi akaartaaram avyayam
(Bhagawad Gita.IV.13)

Maksudnya:
Catur varna Aku ciptakan berdasarkan guna dan
karma. Meskipun aku sebagai penciptanya.
Aku mengatasi gerak dan perubahan.


Masyarakat suku Bali memiliki ciri khas dalam menandakan kelompok keturunannya dengan meletakkan tanda klan di depan namanya. Kelompok keturunannya itu disebut soroh atau wangsa. Ada yang menggunakan tanda klan Ida Bagus, Ida Ayu bagi mereka yang mengakui sebagai keturunan Mpu Dang Hyang Dwijendra atau Mpu Dang Hyang Astapaka. Ada yang menggunakan tanda klan Cokorda seperti keturunan Sri Dalem Ketut Kresna Kepakisan. Ada juga beberapa klan menggunakan istilah Cokorda kalau diangkat sebagai raja atau penglingsir puri. Anggota keluarga yang tidak diangkat sebagai raja atau penglingsir puri tidak menggunakan tanda klan cokorda itu. Keturunan para Arya dari Jawa pada zaman lampau ada yang menggunakan I Gusti Agung, ada juga hanya dengan I Gusti saja dan tanda-tanda klan lainnya.

Sekarang banyak di antara mereka itu menggunakan Anak Agung (AA) sebagai tanda klannya. Berbagai soroh ada juga yang menamakan tanda klannya I Dewa, Ngakan, Sang, Bagus, Wayan, Putu, Gede, Made, Nyoman dan Ketut. Penggunaan tanda klan ini pada hakikatnya untuk mengingatkan pada pemujaan leluhurnya. Penggunaan tanda klan ini kalau dirunut liku-liku sejarah leluhurnya juga ada yang bermacam-macam. Ada yang dahulunya menggunakan tanda klan I Gusti Agung sekarang keturunannya ada yang menggunakan Anak Agung.

Ada juga sudah menjadi Wayan, Made, Nyoman dan Ketut. Sekarang pun dinamika perubahan penggunaan tanda klan itu sudah banyak sekali liku-likunya. Ada orangtuanya tanda klannya menggunakan I Dewa. Anaknya yang perempuan menggunakan Anak Agung. Sementara anaknya yang laki menggunakan tanda klan Cokorda. Ada ayahnya bernama Ngakan, atau juga ada menggunakan Sang, anak-anaknya menggunakan I Dewa, Dewa Ayu atau Desak.

Liku-liku penggunaan tanda klan itu bertujuan untuk mengingatkan orang Bali agar berbakti pada leluhurnya. Karena agama Hindu mengajarkan pemujaan pada Tuhan melalui pemujaan pada leluhur yang telah suci yang disebut Dewa Pitara atau Dewa Hyang. Sesungguhnya secara konsepsional penggunaan tanda klan itu tidak ada hubungannya dengan ajaran Catur Varna yang terpleset menjadi kasta. Penggunaan tanda klan itu hendaknya difungsikan sebagai konsep untuk mengingatkan umat Hindu pada pemujaan leluhurnya dan membangun kerukunan famili.

Dalam Sarasamuscaya dinyatakan bahwa berbakti pada leluhur sangatlah mulia. Barang siapa berbakti pada leluhurnya sebagai tangga awal untuk memuja Tuhan ia akan mendapatkan empat pahala yaitu Kirti (kesejahatraan), Bala (kekuatan), Yusa (umur panjang) dan Yasa (perbuatan jasa). Inilah tujuan utama penggunaan tanda klan tersebut. Untuk menjaga ciri khas etnik Bali penggunaan tanda klan itu sebaiknya tetap dilestarikan sebagaimana adanya. Hal itu tidak akan menjadi masalah sepanjang difungsikan untuk menguatkan pemujaan leluhur dan kerukunan famili.

Dinamika penggunaannya hendaknya dibiarkan menjadi urusan masing-masing klan (Soroh atau Wangsa) dan tidak perlu dicampuri oleh pihak lain. Yang penting tanda klan itu digunakan untuk menguatkan baktinya pada leluhurnya yang telah suci dan membangun kerukunan dalam sistem klannya masing-masing. Sayang penggunaan tanda klan itu dalam kurun waktu yang cukup lama dikaitkan dengan varna yang lebih populer dengan kasta.

Padahal, konsepsi Catur Varna seperti dinyatakan dalam Bhagawad Gita IV.13 di atas bukan tanda klan itu menentukan varna atau kasta seseorang. Catur Varna seperti Brahmana, Ksatria, Vaisya dan Sudra ditentukan oleh Guna dan Karma. Dalam Bhagawad Gita XVIII.41 disebut dengan Guna dan Swabhawa artinya bakat dan sifat yang dibawa lahir. Pada kenyataan orangtua dan anak-anaknya tidak selalu sama Guna dan Swabhawa-nya.

Sumber konflik yang laten dalam sistem sosial di Bali akan dapat diminimalkan apabila tanda klan yang menandakan asal-usul soroh atau wangsa itu ditegakkan kembali sebagai sistem pemujaan leluhur bukan seperti sekarang dianggap menentukan varna atau kasta seseorang. Hal itu jelas bertentangan dengan sumber sastra suci Hindu yang menentukan varna atau kasta seseorang ditentukan oleh Guna dan Karma.

Perubahan-perubahan ke arah itu sudah semakin menggejala. Istilah kawin nyerod sudah semakin ditinggalkan. Wayan, Made, Nyoman dan Ketut sudah semakin dipahami bukan ciri orang Sudra. Mereka pun semakin menolak disebut Sudra karena tidak sesuai dengan landasan sastra sucinya. Perubahan menuju ke arah kembali pada ajaran Catur Varna itu sudah semakin menggejala.

Meskipun perubahan itu masih sangat sporadis. Lebih-lebih sudah ada Bhisama Catur Varna. Hendaknya umat tidak perlu ragu kembali pada ajaran Catur Varna karena ajaran itu merupakan ciptaan Tuhan seperti dinyatakan dalam Mantra Yajurveda XXX.5 dan sastra suci lainya dan tidak berdasarkan Wangsa atau Soroh.

* I Ketut Gobyah 
sumber : www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net