Sumber: Himawijaya's Blog
(http://www.himawijaya.org/?p=19)
Book Review:
Judul:
Mistisisme Hindu Muslim
Pengarang : R. C. Zaehner
Penerjemah: Suhadi
Penerbit : LKIS
Tahun Cetak : cetakan I, Mei 2004
Tebal : xi + 299 halaman
Mistisisme dalam suatu agama adalah aspek esoteris (bathin), sisi dalam atau inti yang menjadi fundamen atas semua laku ibadat atau ritual lahiriah. Seorang metafisikawan abad 20, Fritjof Schuon, yang cukup intens menggeluti sisi dalam agama-agama, dan merangkum hasil pergulatannya dalam karya The Trancendental Unity of Religions. Ia menyatakan bahwa dalam inti agama-agama terdapat satu kesatuan yang bersifat moral, teologis, metafisik dalam arti yang sebenar-benarnya. Dan guna melihat titik temu tersebut, tidak cukup hanya melihat agama dari sisi luar, pada dimensi eksotorisnya saja, melainkan perlu menghayati sampai kepada sisi terdalamnya.
Mencermati dan menangkap esensi sebuah agama, yang mempunyai sejarah yang tua dan panjang–seperti agama Hindu–adalah hal yang sangat sulit. Apalagi mencoba menarik keterhubungannya dengan agama lain, dalam hal ini Islam, sebagai agama yang paling belakangan hadir. Kesulitan di sini bukanlah pada hasil akhir penyelidikannya, yang sudah pasti memiliki kesimpulan final akan keterhubungan kedua agama ini, dari segi esensinya. Kesulitannya justeru terletak pada bagaimana memahami dan menangkap pesan dari pembahasaan dan terminologi yang dipakai oleh masing-masing tradisi, dalam mengartikulasikan sistem dan perspektif metafisikanya.
Agama Hindu adalah agama yang paling tua yang tercatat, dan relatif utuh keberadaannya hingga kini. Untuk menarik ketegasan sistem metafisika yang baku dan tunggal dalam agama ini adalah hal yang mustahil. Mengingat agama ini berkembang sedemikian rupa, semenjak pertama kali hadir dalam bentuk mitos kosmogoni dan ritual pengorbanan, seperti yang tercatat dalam Rigveda, sampai kepada sistem metafisika khas tadisi Skolastik, yang digagas oleh Sankhara dan Ramanuja di abad ke-11 M. Sedangkan agama Islam sebagai agama terakhir dalam tradisi Semit, seringkali dihakimi mendapat pengaruh langsung dari agama lain, khususnya Yudaisme.
Pertama kali menjumpai buku ini, Mistisisme Hindu Muslim, terbersit perasaan girang, mengingat tak ada terjemahan dalam bahasa Indonesia–sejauh yang penulis ketahui–, yang membahas hubungan kedua agama ini, Hindu dan Islam, semenjak buku Manunggaling Kawula Gusti karya Zoetmoelder. Tapi perasaan girang ini, berubah menjadi sedikit kecewa manakala kita telusuri bahasan dari tiap lembar dan bab demi bab pada buku ini.
Tapi kita setidaknya bisa maklum atas kesalahan yang wajar dan biasa yang menimpa para cendekia yang dibesarkan dalam tradisi barat–seperti R.C. Zaehner, penulis buku ini–dalam melihat peta konstelasi tradisi spiritual. Post hoc ergo propter hoc, yang artinya sesudah itu karena itu disebabkan, adalah istilah yang tepat dari ungkapan seorang profesor filsafat, Oliver Leaman, atas kesesatan cara berpikir dalam melihat suatu hal yang berurutan secara temporal. Karena X datang sesudah Y, maka X menjadi akibat dan Y menjadi sebab, sesuai dengan urutan kedatangannya.
Mistisisme Hindu yang menjadi objek kajian R.C. Zaehner merujuk kepada skema yang dikemukakan oleh Surendranath Dasgupta yakni : upanisad, Yogi (Samkhya dan Yoga Sutra dari Patanjali), Buddha, dan Bhakti (secara khusus dalam Bhagavad Gita). Sedangkan untuk agama Islam, mistisisme yang ditinjau, adalah tradisi tashawauf yang direpresentasikan oleh ketiga tokoh, yakni Abu Yazid al-Bisthami, Junaid al-Baghdadi, dan Al-Ghazali.
Dari masing-masing representasi mistik kedua agama tadi, secara khsusus Zaehner menggarisbawahi dan menerangkan cukup panjang lebar, mistisisme dari tradisi Vedanta yang termuat dalam kitab-kitab Upanisad, dan mistisisme yang diajarkan Abu Yazid sebagai wakil Islam. Lantas kemudian, ia mengambil kesimpulan bahwa tradisi mistis Islam–tashawwuf–, secara utuh dan langsung mendapat perembesan dari tradisi Vedanta di India.
Argumentasi yang disodorkan Zaehner dalam memberikan bukti keterpengaruhan ini, didasarkan kepada fakta tematis dan fakta historis. Dari segi tema, ajaran-ajaran yang dibawakan oleh Abu Yazid menyangkut tentang isu-isu ketuhanan, sangatlah bertolak belakang dengan tradisi ortodoks islam, yang diwakili oleh para ulama fiqh. Ajaran Abu Yazid, yang termuat dalam karya Fariduddin al-Attar, Tadzkiratul Auliya, dan karya As-Sahlaji, yakni Kitab Manaqib Sayyidina Abi Yazid al-Bisthami, secara jelas bernuansa monistik. Yaitu sebuah faham yang menganggap jiwa sejati seorang manusia bisa menyatu dengan Tuhan, bahkan lebih ekstrem lagi, bisa menjadi Tuhan. Ini bisa dilihat dalam ucapan-ucapan ekstasik yang terlontar dari lisan Abu Yazid, seperti Subhani atau Maha Suci Aku, Ana Huwwa, aku adalah Dia.
Guna memahami ajaran Abu Yazid, Zaehner menyatakan bahwa sangat sulit meletakkannya dalam kerangka agama Islam. Tradisi tashawwuf, yang direpresentasikan oleh Abu Yazid, baru bisa dipahami manakala kita meninjaunya dalam landasan metafisika tradisi Vedanta, terutama yang disegarkan kembali oleh Sankhara, melalui faham Advaita Vedanta (faham non-dualisme) atau kemanunggalan wujud. Misalnya kalimat ana huwa, bisa dirujuk kepada doktrin Vedanta, ayam brahman asmi, yang bermakna sama, “aku adalah Brahman (Dia). Juga cerita dan ungkapan mistik Abu Yazid, tentang burung-burung, dan juga gambaran pohon mengenai pertumbuhannya, akar, batang dan tunasnya, dapat ditemukan dalam Kitab Bhagavad Gita, Upanisad Mundaka, dan Upanisad Prasna.
Dari segi fakta historis, Zaehner memberikan argumentasi keterpengaruhan mistisisme Hindu terhadap Islam, lewat kisah perjalanan hidup dari Abu Yazid sendiri. Abu Yazid lahir di Bistham (sebelah selatan Persia), dan hidup dari tahun 775 sampai tahun 883 M. Ia mempunyai seorang guru bernama Abu Ali As-Sind, seorang yang diduga berasal dari agama Hindu dan menjadi muslim, yang sedikit banyak mempengaruhi tema-tema pokok pengajaran kepada Abu Yazid. Andai kita merujuk kepada perkembangan agama Hindu di era tersebut, akan ditemui bahwa masa-masa itu adalah masa-masa perkembangan dan puncak ajaran advaita vedanta dari Sankhara. Tokoh pembaharu agama Hindu ini mempunyai masa hidup antara tahun 788-820 M. Maka jelaslah, dalam pandangan Zaehner, bahwa Abu Yazid dipengaruhi filsafat Vedanta yang dikembangkan Sankhara.
Pengkajian dan telaah yang dikerjakan oleh R.C. Zaehner melalui karya ini, Hindu and Muslim Mysticism, yang dipublikasikan pertama kali di tahun 1960, patut kita hargai. Hanya ada yang terluput dari penelaahan Zaehner menyangkut mistisisme Islam. Ia tidak membahas ajaran mistik Islam yang dibawakan oleh Ibnu Arabi dan pengikutnya Abdul Karim al-Jilli, yang sering diistilahkan dengan Tanajulat Sitta, atau martabat tujuh. Skema martabat tujuh yang membahas martabat ketuhanan dan juga tingkatan alam, diperkenalkan oleh Ibnu Arabi dan disistematisasikan oleh al-Jilli lewat karyanya Insan Kamil, sebenarnya sudah cukup merangkum semua fenomena dalam khazanah mistik islam, atau tashawwuf. Dan apa yang dituangkan dalam ajaran martabat tujuh ini tidak sedikitpun mengambil sumber-sumber lain selain Alquran dan Hadits Nabi.
Singkat kata, bahwa semua kecenderungan mistisisme Islam, bahkan sampai yang paling ekstrem pun, semisal ajaran dan ungkapan Abu Yazid dan Al-Hallaj, sejatinya dapat diletakkan dalam skema dan sistem metafisika yang telah dirintis oleh Ibnu Arabi, dan tetap berjangkar kepada dua sumber hukum Islam, Alquran dan Sunnah Rasul.
Buku Mistisisme Hindu Muslim, merupakan buku kedua karya R.C. Zaehner yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, setelah buku Hinduism yang diterbitkan oleh Gramedia dengan judul Kebijaksanaan dari Timur. Terlepas dari isi keseluruhan buku ini, terjemahan yang dilakukan oleh Saudara Suhadi sudah cukup teliti. Tapi ada beberapa istilah yang cukup sulit diterjemahkan dan dicari padanan katanya, dan ia menyiasatinya dengan mencantumkan kata dari bahasa Inggris atau bahasa Arabnya. Misalnya untuk kalimat (approval God) di halaman 115, Saudara Suhadi menerjemahkannya dengan mendapatkan pengetahuan Tuhan. Padahal, sesuai dengan konteks-nya, yang membahas maqam-maqam dalam tashawwuf, tingkatan atau jalan ini mestinya diterjemahkan dengan “mendapat keridhoan Tuhan (maqam ridho). Juga untuk istilah alam amr, ia menerjemahkannya dengan Dunia Sabda. Tapi jika kita merujuk kepada ajaran tashawwuf, baik yang dipakai oleh Ibnu Arabi maupun Al Ghazali, alam amr ini bermakna alam urusan, alam ruh, atau jika secara literal ia bermakna alam perintah. Tapi mungkin lebih baik, dibiarkan apa adanya dalam bahasa Arab aslinya, hanya diberi keterangan atau catatan mengenai istilah tersebut.
Harapan penulis, setelah penerjemahan dan penerbitan buku ini, semoga bisa merangsang para pengkaji mistisisme guna meneliti lebih jauh hubungan agama Islam dan Hindu, terutama dalam konteks ke-Indonesiaan. Seperti kita ketahui, corak Hindu yang ada di Indonesia sedikit berbeda dengan corak Hindu yang ada di India. Juga agama Islam, yang masuk lebih dalam ke Indonesia melalui jasa para sufi pengembara, setelah dirintis sebelumnya oleh para pedagang muslim, lebih kental dengan aspek mistiknya. Maka tak aneh, ajaran martabat tujuh sebagai tema pokok khazanah kesufian demikian memasyarakat di kalangan umat Islam Indonesia di abad-abad ke-16 dan 17 M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar