Bagaikan bulan menerangi malam dengan cahayanya yang terang
dan sejuk,
demikianlah seorang anak yang suputra yang memiliki pengetahuan rohani,
insyaf akan dirinya dan bijaksana. Anak suputra yang demikian itu memberi
kebahagiaan kepada keluarga dan masyarakat.
Canakya Nitisastra III.16.
Setiap anak Indonesia akan bangga
bila turut serta mengikuti puncak perayaan Hari Anak Nasional (HAN) Tahun 1995
yang dikaitkan dengan 50 tahun kemerdekaan Indonesia, tanggal 23 Juli 1995 yang
lalu bertempat di Taman Mini Indonesia Indah,Jakarta. Hampir semua anak
menyatakan mereka bangga bertemu dengan Bapak Presiden Suharto, seorang anak
petani yang berhasil memimpin negara ini. Kebanggan seorang anak bertemu dengan
presidennya adalah juga kebanggaan setiap orang tua dan masyarakat di
lingkungannya. Kebanggaan ini tentu didambakan oleh setiap keluarga. Setiap
keluarga mendambakan kelahiran putra-putri yang ideal yang dalam Hindu disebut
Putra Suputra, yakni anak yang berbudi pekerti luhur, cerdas dan bijaksana yang
akan mengangkat harkat dan martabat orang tua, keluarga dan masyarakat.
=== I Made Titib ===
Kata "putra" berasal dari
bahasa Sanskerta yang pada mulanya berarti kecil atau yang disayang. Kemudian
kata ini dipakai menjelaskan mengapa pentingnya seorang anak lahir dalam
keluarga : "Oleh karena seorang anak yang akan menyeberangkan orang tuanya
dari neraka yang disebut Put (neraka lantaran tidak memiliki keturunan), oleh
karena itu ia disebut Putra" (Manavadharmaúàstra IX.138). Penjelasan yang
sama juga dapat kita jumpai dalam Àdiparva Mahàbhàrata 74,27, juga dalam
Vàlmìki Ràmàyaóa II,107-112. Kelahiran Putra Suputra ini merupakan tujuan ideal
dari setiap perkawinan. Kata yang lain untuk putra adalah: sùnu, àtmaja,
àtmasaýbhava, nandana, kumàra dan saýtàna. Kata yang terakhir ini di Bali
menjadi kata sentana yang berarti keturunan. Seseorang dapat menundukkan dunia
dengan lahirnya anak, ia memperoleh kesenangan yang abadi, memperoleh cucu-cucu
dan kakek-kakek akan memperoleh kebahagiaan yang abadi dengan kelahiran
cucu-cucunya (Àdiparva,74,38). Pandangan susastra Hindu ini mendukung betapa
pentingnya setiap keluarga memiliki anak.
Àdiparva, Mahàbhàrata memandang dari
sudut yang berbeda tentang kelahiran anak ini: "Disebutkan bahwa seorang
anak merupakan pengikat talikasih yang sangat kuat di dalam keluarga,ia
merupakan pusat menyatunya cinta kasih orang tua. Apakah
----------------------------------
*Materi Dharma Wacana pada persembahyangan bersama, hari Purnama, 13 Juni 1995
bertempat di Pura Padmasana, APGAH Negeri Denpasar
yang melebihi cinta kasih orang tua terhadap anak-anaknya, mengejar mereka,
memangkunya, merangkul tubuhnya yang berdebu dan kotor (karena bermain-main).
Demikian pula bau yang lembut dari bubuk cendana, atau sentuhan lembut tangan
wanita atau sejuknya air, tidaklah demikian menyenangkan seperti halnya
sentuhan bayi sendiri, memeluk dia erat-erat. Sungguh tidak ada di dunia ini
yang demikian membahagiakan kecuali seorang
anak"(74,52,55,57)."Seseorang yang memperoleh anak, yang merupakan
anaknya sendiri, tetapi tidak memelihara anaknya dengan baik, tidak mencapai
tingkatan hidup yang lebih tinggi. Para leluhur menyatakan seorang anak
melanjutkan keturunan dan mendukung persahabatan, oleh karena itu melahirkan
anak adalah yang terbaik dari segala jenis perbuatan mulia(74,61-63). Lebih
jauh maharsi Manu menyatakan pandangannya bahwa dengan lahirnya seorang anak,
seseorang akan memperoleh kebahagiaan abadi, bersatu dengan Tuhan Yang Mahaesa
(II.28).
Tentang anak yang Suputra, Maharsi
Càóakya dalam bukunya Nìtiúàstra menyatakan: "Seluruh hutan menjadi harum
baunya, karena terdapat sebuah pohon yang berbunga indah dan harum semerbak.
Demikian pula halnya bila dalam keluarga terdapat putra yang Suputra"
(II.16). "Asuhlah anak dengan memanjakannya sampai berumur lima tahun,
berikanlah hukuman (pendidikan disiplin) selama sepuluh tahun berikutnya. Kalau
ia sudah dewasa (16 tahun) didiklah dia sebagai teman"(II.18). Sebaliknya
tidak semua orang beruntung punya anak yang Suputra. "Di dalam menghadapi
penderitaan duniawi, tiga hal yang menyebabkan seseorang memperoleh kedamaian,
yaitu : anak, istri dan pergaulan dengan orang-orang suci"(IV.10).
Kenyataannya kita menjumpai beberapa
anak yang durhaka kepada orang tua, jahat dan melakukan perbuatan dosa yang
menjerumuskan dirinya sendiri dan masayarakat sekitarnya ke dalam penderitaan.
Anak yang demikian disebut anak yang Kuputra (bertentangan dengan Suputra).
Tentang anak yang Kuputra ini, maharsi Càóakya menyatakan "Seluruh hutan
terbakar hangus karena satu pohon kering yang terbakar, begitu pula seorang anak
yang Kuputra, menghancurkan dan memberikan aib bagi seluruh keluarga"
(II.15). "Apa gunanya melahirkan anak begitu banyak, kalau mereka hanya
mengakibatkan kesengsaraan dan kedukaan. Walaupun ia seorang anak, tetapi ia
berkeperibadian yang luhur (Suputra) membantu keluarga. Satu anak yang
meringankan keluarga inilah yang paling baik"(II.17). Hal yang sama
seperti juga dikutipkan pada awal tulisan ini diulangi kembali dalam Nìtiúàstra
IV.6. yang antara lain menyatakan: "Kegelapan malam dibuat terang benderang
hanya oleh satu rembulan dan bukan oleh ribuan bintang, demikianlah seorang
anak yang Suputra mengangkat martabat orang tua, bukan ratusan anak yang tidak
mempunyai sifat-sifat yang baik". "Lebih baik mempunyai anak begitu
lahir langsung mati dibanding mempunyai anak berumur panjang tetapi bodoh.
Karena anak yang begitu lahir langsung mati memberikan kesedihan sebentar saja.
Sedangkan anak yang berumur panjang, bodoh dan durhaka, sepanjang hidupnya
memberikan penderitaan (IV.7).
Seperti telah disebutkan di atas,
mempunyai anak, lebih-lebih lahirnya putra yang Suputra adalah dambaan setiap
keluarga. Setiap orang dalam hubungan suami-istri mengharapkan kelahiran
seorang anak, namun tidak semuanya selalu beruntung untuk mendapatkan hal itu.
Keluarga yang tidak mempunyai anak (sonless) disebut: Aputraá, Niputrika dan
Nirsaýtàna. Kepada mereka yang tidak mempunyai anak ini tidaklah berarti jalan
untuk mencapai kebahagiaan yang sejati, bersatu dengan Tuhan Yang Mahaesa telah
tertutup. Keluarga-keluarga ini dapat mengangkat anak, melakukan adopsi yang di
dalam bahasa Sanskerta disebut: Parigraha atau Putrìkaåaóam dan anak yang
diangkat disebut: Kåtakaputra, Datrimasuta atau Putra Dattaka.
Tentang anak angkat yang di Bali
disebut anak Sentana ini, Manavadharmasastra menyatakan: "Jika orang
laki-laki yang mempunyai anak angkat laki-laki yang mempunyai sifat-sifat
mulia, anak angkat ini mempunyai hak yang sama, ia akan mewaris walaupun
berasal dari keluarga lain. Anak angkat tidak pernah memakai nama keluarga dan
harta warisan dari orang tua yang sebenarnya. Tarpana (upacara persembahan
kepada orang tua yang meninggal), ia harus mengikuti nama keluarga (yang
mengangkat) serta menerima warisan dari orang tua angkat (setelah Tarpana
kepadanya) (IX.141-142). Berdasarkan kutipan di atas, jelas seorang anak angkat
(adopsi) mempunyai hak yang sama seperti halnya anak yang dilahirkan oleh orang
tua melalui perkawinan yang sah.
Lebih jauh tentang anak angkat ini,
G. Pudja menyatakan : "Anak angkat menduduki tempat sebagai ahli waris
dari keluarga yang mengangkatnya dan bukan sebagai ahli waris dari ayah-ibu
asalnya. Untuk dapat melakukan pengangkatan anak diperlukan syarat-syarat
tertentu, yaitu :
a. Anak yang diangkat harus
laki-laki.
b. Anak yang diangkat harus masih kecil (umumnya belum berumur 6 tahun).
c. Keluarga yang mengangkat harus tidak mempunyai anak laki-laki.
d. Harus terang dan formal menurut agama.
Mengenai anak angkat ini
diisyaratkan secara terbatas, tetapi dianjurkan untuk mengangkat dari keluarga
terdekat dari pewaris. Hal ini tidaklah mutlak karena anak yang bukan keluarga
sendiripun dapat diangkat sebagai anak angkat, hanya saja lebih jauh hukum
Hindu membedakan dalam prakteknya dua sistem pengangkatan anak :
a. Pengangkatan anak sendiri sebagai
anak laki-laki, yaitu anak perempuan yang statusnya
sebagai anak laki-laki. Pengangkatan ini dalam hukum Adat sebagai Angkat
Sentana.
Dengan demikian maka dalam sistemAngkat Sentana,yang diangkat adalah anak
sendiri.
c. Pengangkatan anak orang
lain,bukan anak sendiri. Pengangkatan ini disebut Adopsi atau
Peras. Di dalam hukum waris, anak yang diangkat adalah anak orang lain, baik
dari
keluarga sendiri maupun dari anak orang lain, bukan keluarga sendiri.(Pudja,
1977:93).
Pernyataan G.Pudja di atas tentunya
masih dapat didiskusikan kembali, misalnya bagaimana kalau yang diangkat itu
anak perempuan ? Hal ini menurut hemat penulis dapat dibenarkan, bila nantinya
anak perempuan ini status hukumnya sebagai anak laki-laki yang disebut Angkat
Sentana di atas atau disebut pula Sentana Putrika. Kenyataannya, di dalam
masyarakat kita jumpai pula keluarga yang telah memiliki beberapa anak, baik
laki-laki maupun perempuan juga mengangkat anak, hal ini juga dibenarkan
sepanjang pengangkatan itu terang dan formal menurut hukum agama dan bila
mungkin dikuatkan sesuai peraturan yang berlaku. Hal ini dapat berperanan
sebagai salah satu solusi mengatasi anak-anak yang lahir, yang dibuang oleh
ibunya karena hamil pranikah. Kiranya sudah perlu dipikirkan sebuah badan atau
yayasan dalam Hindu untuk menangani anak-anak yang lahir pranikah yang bersedia
menjadi penghubung untuk mencarikan orang tua yang bersedia mengadopsinya.
Demikian Dharma Wacana ini marilah
kita akhiri dengan doa Santipatha:
Om Sarve Sukhino Bhavantu
Sarve Santu Niramayah
Sarve Bhadrani pasyantu
Ma kascid duhkha bhagbhavet
Om Hyang Widhi, semogalah semuanya
memperoleh kebahagiaan
Semoga semuanya memperoleh kedamaian
semoga semuanya berpandangan baik
semoga semuanya dijauhkan dari mara bencana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar