Judul Buku : Diary untuk Tuhan
Penulis : Ilung S. Enha
Penerbit : Pustaka Insan Madani, Jogjakarta
Cetakan : 1, 2008
Tebal : xxx + 114 Halaman
KabarIndonesia - Berharap menjumpai Tuhan secara fisikal hanyalah angan-angan orang yang tidak punya akal. Fariduddin Attar dalam Musyawarah Burung menyatakan, "Andaikan kau melihat Dia sekejap saja, kau akan kehilangan akal, dan apabila kau dapat melihat Dia sepenuhnya, kau akan kehilangan dirimu sendiri."
Pernyataan tersebut sejatinya berangkat dari keheranan sang sufi yang digelari Si Penebar Wangi itu dalam merespons segala bentuk keangkuhan manusia dalam mengimani keberadaan Tuhan, di mana mereka selalu berharap menjumpai Tuhan secara fisik untuk membuktikan bahwa Tuhan itu betul-betul ada. Padahal Tuhan adalah zat yang terbebas dari segala bentuk fisik. Itulah sebabnya kenapa kemudian Musa terpingsan-pingsan begitu melihat pancaran cahaya Tuhan, bukan zat-Nya, hanya beberapa detik saja.
Dengan demikian, Tuhan bukan berarti wilayah terlarang untuk kita dekati. Tuhan sama sekali tak bermaksud memosisikan diri sebagai "yang tak terjangkau". Ia sejatinya sangat dekat dengan hamba-hamba-Nya. Bahkan lebih dekat lagi dibanding dengan urat leher manusia.
Karena itu dalam ajaran tasawwuf, mendekat kepada Tuhan tidak bisa dipersepsikan secara fisikal. Ia tidak bisa diraba dengan tangan dan tidak pula bisa dilihat dengan mata fisik manusia. Ia Yang Maha Kuasa hanya bisa didekati dengan kebersihan hati (qalb). Pada hati yang bersih dan suci itulah Tuhan senantiasa bersemayam. Ketika hati manusia mampu berintegrasi secara utuh dengan Tuhan, maka menjadi "sulit" membedakan siapa sejatinya "hamba" dan siapa "Tuhannya". Sebab keduanya, antara Tuhan dan manusia, sudah menjadi kesatuan utuh yang tak terpisahkan. Kata al-Hallaj, "Aku menjadi Dia yang aku cinta, Dia yang mencintaiku menjadi Aku, Kami dua ruh yang melebur dalam satu jasad! Penglihatanku adalah penglihatan-Nya, penglihatan-Nya adalah penglihatan Kami." (Diwan al-Hallaj, 2001:125).
Pernyataan penuh kontroversi tersebut sejatinya berakar dari ajaran Hulul atau yang lebih dikenal sebagai inkarnasi. Dalam ajaran ini dijelaskan bahwa antara manusia dengan Tuhan mempunyai kesamaan sifat, yaitu al-lahut (sifat ketuhanan) dan an-nasut (sifat kemanusiaan). Jika manusia ingin melepaskan sifat an-nasut, maka ia harus membersihkan hati dari segala noda dan dosa. Sehingga ketika kondisi hati menjadi bersih, Tuhan akan masuk ke dalam jiwa hamba-Nya dan pada saat itulah terjadi apa yang disebut dengan Hulul.
Buku Diary untuk Tuhan karya Ilung S. Enha ini sejatinya adalah catatan pribadi yang secara jujur merekam segala bentuk "keresahan" dan "kerumitan" sejak masa kanak-kanak hingga dewasa dalam upaya mencari, memahami dan mendekat kepada Tuhan yang ditempuh melalui proses yang cukup panjang. Dikatakan resah karena ia tak pernah menemukan jawaban yang memuaskan dari orang-orang yang dianggap mengerti mengenai Tuhan. Bahkan tidak heran jika ia pernah dituduh sebagai remaja yang kurang waras. "Mereka bilang kepadaku," demikian tuturnya, "Bahwa seorang remaja sangat diharamkan bertanya tentang Tuhan." (hal.38).
Di tengah situasi seperti itulah pertanyaan-pertanyaan mengenai Tuhan semakin terasa rumitnya. Semakin hari pertanyaan-pertanyaan itu bertambah, semakin bertambah pula rasa kekesalan dalam jiwa. Tetapi ada satu hal yang perlu dibanggakan dalam perjalanan panjang ini, bahwa serumit dan sesukar apa pun optimisme selalu dikedepankan. Hal ini dibuktikan dengan pernyataannya sendiri, "Aku tak mengerti kenapa orang-orang selalu menyudutkanku, hingga kembali kususuri lorong-lorong sunyi sendiri. Aku pun terpaksa terus berjalan, meskipun tak pernah tahu arah jalan. Dalam sepi jiwaku kerap kali meradang." (hal.41).
Perjalanan panjang nan melelahkan sebagaimana ditempuh penulis buku ini bagaimana pun menunjukkan dahaga spiritual yang terus membuncah. Tak pernah putus asa. Inilah gambaran sederhana ihwal sikap hidup yang harus dijadikan pegangan oleh para pencari Tuhan, bahwa dalam mencari dan mendekat kepada Tuhan manusia harus selalu melandasinya dengan optimisme dan kesabaran hati. Berjumpa dengan-Nya memang tak semudah yang kita bayangkan. Apalagi kita hidup di tengah-tengah masyarakat yang keberagamaannya sangat formalistik. Model keberagamaan semacam ini sama sekali tak memberikan ruang kebebasan kepada setiap individu dalam menentukan peta perjalanannya sendiri menuju Tuhan. Jangankan berbeda jalan, berani bicara panjang-lebar pun ihwal eksistensi Tuhan sudah dituduh menjadi kafir. Padahal dalam hadits qudsi Ia Yang Maha Agung berfirman, "Jalan menuju Tuhan adalah sebanyak makhluk-Nya."
Masyarakat kita seakan sudah terkonstruk cara berpikirnya, bahwa Tuhan harus diimani tanpa harus dibicarakan. Bagaimana mungkin kita merasakan kehadiran-Nya jika proses pencarian sebagaimana yang dijalani Ibrahim dan para waliyullah yang lain tak pernah kita lakukan. Bagaimana mungkin kita akan mengalami proses Hulul sebagaimana al-Hallaj dan para sufi yang lain jika Tuhan yang kita kenal tak lebih hanya sebatas nama yang terdiri dari huruf-huruf. Kenyataan hidup seperti inilah yang dirasakan Ilung S. Enha sejak kecil sehingga ia resah dan, tentunya, sedikit agak kecewa dengan lingkungan masyarakat di mana ia tinggal.
Pikiran manusia memang sangat terbatas. Dan tidak akan pernah mampu menjangkau eksistensi Tuhan kecuali hanya sedikit. Tetapi bukan kemudian dengan potensi akal pikiran yang terbatas ini kita menjadi malas berpikir dan terus mencari. Tuhan menganugerahkan akal pikiran serta hati yang samudera kemahaluasannya melebihi semesta tidak lain dan tidak bukan agar difungsikan sebagai medium dalam mencari dan berhubungan dengan-Nya.
sumber: http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=19&dn=20090101145405
Tidak ada komentar:
Posting Komentar