Jumat, 23 Januari 2009

Resensi Buku : Niti Sastra, Kebijaksanaan Klasik Bagi Manusia Indonesia Baru

Judul:Niti Sastra, Kebijaksanaan Klasik Bagi Manusia Indonesia Baru
Penulis:Anand Krishna
Kata pengantar:Sri Sultan Hamengku Buwono X
Penerbit:PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan:I, April 2008
Tebal:xvii + 316 halaman
Harga:Rp. 50.000,-

Sekedar membaca kata pengantarnya saja sudah membuat bulu roma merinding. Kenapa? Karena ditulis oleh pewarih sekaligus pelaku dan pelestari (peng-nguri-uri) budaya Nusantara di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tercinta ini. Siapa lagi kalau bukan Sri Sultan Hamengku Buwono X. Secara apik Ngarso Dalem melukiskan budaya Jawa itu menyimpan aroma khas yang menggoda banyak orang. Tak akan habis-habisnya membicarakan budaya Jawa, terutama aspek-aspek falsafah hidup Jawa. Tak akan membosankan karena penuh makna dan banyak timbunan simbol filosofi yang merangsang keingintahuan kita. Percikan-percikan falsafah hidup Jawa menyelinap halus dalam karya susastra lama (hal x vi).

Nah Niti Sastra merupakan satu di antara begitu banyak harta-karun yang terpendam di Jawadwipa ini. Ironisnya kenapa kita justru melupakan warisan leluhur tersebut? Dengan lebih sering meng-copy paste budaya dari luar. "Niti" berarti "pedoman perilaku", sedangkan "Sastra" sinonim dengan senjata ampuh alias alat yang ampuh guna menjalani kehidupan secara bermutu. Kakawin ini ditulis pada masa kejayaan Majapahit sekitar lima abad silam.

Anand Krishna menggunakan aneka rujukan guna mengapresiasi susastra klasik tersebut. Misalnya, Bibliotheca Javanica 54 (R. Ng. Dr. Poerbatjaraka, 1933), terjemahan dalam bahasa Jawa oleh R.M. B Djajahendra (Balai Pustaka, 1960), terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh Padmodihardjo dan Resowidjojo (Depdikbud, 1978) dan last but not least karya monumental Sir Stamford Raffles - The History of Java - yang menyajikan Niti Sastra dengan versi bahasa Inggrisnya.

Ternyata leluhur kita begitu piawai mengolah rasa, pikiran, bahkan sampai pada urusan profan tata negara. Ambil contoh soal ukuran keberhasilan seorang pemimpin (hal 76). "Anak manusia tergantung pada induknya; ikan tergantung pada kedalaman airnya; burung di langit tergantung pada sayapnya; seorang pemimpin tergantung pada kepuasan mereka yang dipimpinnya" (bab II)) Kontekstualisasinya kini berarti kepuasan rakyatlah yang menjadi tolok ukur keberhasilan pemimpin. Baik itu dari tingkat RT sampai level Nasional sekalipun. Bila masyarakat justru menderita akibat salah urus (miss-management) para birokrat maka lebih baik lengser keprabon saja. Saatnya memberikan kesempatan pada generasi muda yang lebih bugar, berani dan pro rakyat untuk tampil ke atas panggung.

Secara lebih mendalam, buku ini juga mengulas perihal kesehatan mental. Tapi bukan secara parsial berdasarkan diagnosis medis ala Barat melainkan holistik berbasis budaya lokal (hal 226). "Berhati-hatilah selalu terhadap enam musuh: keinginan yang berlebihan; amarah; keserakahan; keterikatan; rasa iri dan keangkuhan. Janganlah sekali-kali meremehkan kekuatan mereka. Berhati-hatilah supaya pikiranmu tetap jernih, akal tetap sehat" (bab IV). Oleh sebab itu - menyitir petuah Raden Ngabehi Ronggowarsito - "Senantiasalah eling lan waspodo…" Berada di bawah maupun di atas "Aku" tetap seimbang. Sang Aku itulah "Purwaning Dumadi". Para ilmuwan pun telah memverifikasi bahwasanya 80 persen penyakit kronis dewasa ini lebih disebabkan oleh faktor pikiran (stress, trauma, dendam, depresi, dlsb). Sehingga rumusan matematis ialah: kejernihan budi berbanding lurus dengan kesehatan holistik seseorang.

Lantas apa nada-nada-nya (tanda-tanda) seseorang itu sehat lahir - batin? mantan pengusaha garmen yang banting setir menjadi aktivis spiritual lintas agama paska sembuh dari belitan Leukemia tersebut menandaskan, "Seorang bijak bukanlah ia yang menjelek - jelekkan orang lain hanya untuk memperoleh perhatian (hal 227)." Wilder yang mem-"fitna" spirit Islam ataupun "oknum" pemuka agama yang mengkafir-kafir atau mensesat-sesatkan sesama putra-putri Ibu Pertiwi yang berbeda agama, keyakinan dan cara mengabdi Sang Gusti Tan Kinaya Apa jelas masih perlu menjalani rawat inap.

Seperti 110 buku lebih lainnya, Anand Krishna memiliki gaya penulisan yang khas. Yakni mampu menyampaikan ajaran luhur secara lugas. Bahasanya mengalir santai, ceplas-ceplos tanpa menafikan kedalaman maknanya dan…disertai pula dengan humor segar. Tapi khusus dalam buku ini pria keturunan India kelahiran Surakarta tersebut banyak mencantumkan kutipan-kutipan pidato Bung Karno. Misalnya mengawali bab VIII (hal 167-177) termaktub, "Kita sekalian ialah mahkluk Allah. Dalam menginjak waktu yang akan datang, kita ini seolah-olah adalah buta. Ya benar kita merencanakan, kita bekerja, kita mengerahkan angan-angan kepada suatu hal di waktu yang akan datang. Tetapi pada akhirnya, Tuhan pulalah yang menentukan. Justru karena itulah, bagi kita adalah suatu kewajiban untuk senantiasa memohon pimpinan kepada Tuhan." Putra Sang Fajar – Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Manusia memang hanya alat-Nya, "Niti Sastra" di tangan DIA yang satu adanya. Buku ini merupakan sarana refleksif guna mencecap Kasih Maha Maya (Bunda Alam Semesta) sehingga niscaya kita tak akan mempersoalkan perbedaan kolam agama di KTP dengan tetangga sebelah.


sumber: http://www.akcjoglosemar.org/resensi-buku-guruji/memaknai-kembali-niti-sastra/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net