Jumat, 28 Januari 2011

Resensi Buku : Untuk Apa Kita Pergi ke Sekolah?

Menjadi Manusia PembelajarJudul Buku: Untuk Apa Kita Pergi ke Sekolah?

Penulis : Putu Winda Yuliantari Gunapriya Dharmapatni, dkk

Penerbit : Madyapadma, 2010

Tebal : i-iv+93 halaman


Jarang remaja menyampaikan unek-unek dengan menerbitkan buku. Yang ada saat ini unek-unek disampaikan dalam bentuk unjuk rasa, adu otot, dan kelompok yang lebih banyak adalah diam seribu bahasa padahal sesungguhnya mereka punya potensi. Bagi yang punya ambisi berlebihan, mereka memilih cara instant, bila perlu jalan pintas agar cepat ada hasil. Kalau belum berhasil, mereka frustrasi. Itulah fenomena para remaja masa kini. Cara-cara kurang cerdas seperti itu tidak diminati oleh remaja yang tergabung Madyapadma Journalistik Park. Mereka memilih cara yang sangat cerdas, kreatif, dan menggigit dalam bentuk buku. Untuk ukuran di Denpasar sepertinya sulit dipercaya kalau kelompok remaja yang masih ingusan mampu mewujudkan sebuah buku seperti yang diterbitkan sekarang ini. Keraguan seperti itu tentu beralasan sebab para guru yang mendidik mereka di sekolahnya umumnya belum mampu memberikan contoh nyata dalam melahirkan sebuah buku padahal para guru sangat dituntut untuk menghasilkan karya tulis; entah berupa buku atau jenis karya tulis yang lain. Madyapadma Journalistik Park sangat kreatif dan produktif daripada gurunya, Jadi, tidak ada kata lain yang bisa disampaikan kepada kelompok Madyapadma Journalistik Park selain acungan jempol dengan dua tangan.

Yang patut diapresiasi dalam buku ini pertama kali adalah sikap kritis dan keberanian Madyapadma Journalistik Park mengejewantahkan isi pikirannya tanpa ragu sedikit pun. Remaja yang masih berstatus pelajar biasanya kurang punya keberanian mengkritisi fenomena yang ada dalam dunia pendidikan dengan berbagai alasan, misalnya: takut jika guru tersinggung, nilai rapor nanti dikurangi. Kondisinya sudah layu sebelum berkembang. Pendidikan budi pekerti, misalnya, dikritisi oleh remaja yang tergabung dalam Madyapadma Journalistik Park dengan cerdas yakni mata pelajaran yang tidak lebih dari hapalan belaka. Kapan perilaku anak akan berubah jika model pembelajarannya seperti sekarang ini—hanya untuk menghiasi nilai rapor semata. Secara implisit, remaja itu ingin pendidikan budi pekerti diformat kembali sehingga lebih bermanfaat, bukan menjadi beban hapalan. Sain yang dipelajari, seperti kimia, juga tidak lebih dari persiapan untuk UN padahal jika dipelajari lewat laboratorium akan mengasikkan. Ilmu kimia bukan hanya dibayangkan, melainkan diwujudnyatakan, tegas mereka pada judul tulisan.

Khusus kepada kelompok Madyapadma Journalistic Park, keinginan menerbitkan buku tentu tidak cukup hanya bermodalkan ambisi dan semangat yang tinggi. Tentu lebih dari itu. Karena buku menjadi dokumen pikiran yang kreatif, maka perlu proses yang lebih baik, seperti: seleksi naskah, penyunting (editor) yang siap kerja keras, korektor pracetak. Mewujudkan sebuah buku bukanlah seperti pelari yang ingin cepat mencapai garis finis. Bagaimana pun juga sebuah buku akan dibaca oleh siapa saja yang mencintainya. Buku akan selalu membuka pikiran untuk mengais gagasan, informasi, dan menambah wawasan bagi seorang "kutu buku". Itulah ciri seorang pembelajar. Yang dimaksud pembelajar tentu saja bukan sebatas yang berstatus sebagai siswa. Siapa pun yang ingin meningkatkan kualitas kemanusiaaannya dapat dimasukkan seorang pembelajar. Kelompok Madyapadma Journalistic Park pastilah termasuk orang yang selalu meningkatkan kualitas dirinya sebagai manusia, “memanusiakan manusia” kata orang bijak. Jadi, jawaban atas pertanyaan "Untuk Apa Kita Pergi ke Sekolah?" adalah untuk menjadi manusia pembelajar, yang selalu ingin meningkatkan kualitas diri sebagai manusia yang utuh.

Benar kata orang bijak, buku adalah gudang ilmu. Untuk menemukan apa yang ada dalam buku ini cukup banyak hambatan. Kekurangrunutan pikiran masih terasa di sana-sini. Penggunaan bahasa yang baik dan benar kurang mendapat perhatian. Sejumlah informasi sesungguhnya tidak perlu dikemukakan panjang lebar kepada pembaca sebab pembaca sudah tahu sehingga terkesan menggurui. Dalam sepenggal kata di awal buku dikatakan bahwa ada kesengajaan tidak diedit isi tulisan, tentu akan terkesan malas. Jangankan penulis pemula, orang yang sudah banyak menghasilkan buku pun masih perlu korektor pracetak, peran editor sangat penting lebih-lebih buku bunga rampai—kumpulan karya beberapa penulis. Yang pasti buku ini diwujudkan dengan tergesa-gesa, mirip kejar tayang, sehingga kalimat-kalimat yang tidak perlu tesebar di banyak halaman (kalimat pertama awal paragraf ke-3 hal.18, awal paragraf ke-2 hal. 21, kalimat pertama awal paragraf ke-2 hal 25 tidak berfungsi, kalimat keempat pada paragraf ke-2 hal. 31).

Beberapa judul tulisan dalam buku sesungguhnya dapat dibuat lebih menarik. Tulisan yang berjudul "Nyepi: Mengurangi Polusi, Menghemat Energi" akan lebih menggugah keingintahuan pembaca jika diubah menjadi "Mengurangi Polusi Menghemat Energi", judul tulisan "Menghindari Zat Kimia Menjadi Teroris" akan lebih menarik diubah menjadi "Awas Teroris Masuk Rumah", pada judul "Kaum Muda, Generasi Penerus yang Terabaikan" lebih baik tanpa frase "kaum muda", Jangan (Lagi) Bodohi Kami! kata dalam kurang menggigit. Bagaimana pun juga judul tulisan akan menjadi daya tarik bagi calon pembaca.

Pengelompokan materi dalam buku ini tampak acak-acakan. Mungkin sengaja diacak-acak agar pembaca "kreatif". Mudah-mudahan demikian tujuannya. Sesungguhnya susunan materi dalam buku bisa menjadi lebih baik jika materinya dikelompokkan sesuai dengan tema-tema yang sama atau yang berdekatan. Sekadar contoh, materinya dapat dikelompokkan menjadi: wawasan, gagasan, keilmuan, perpolitikan, sosial budaya, lingkungan alam. Penulisan buku haruslah mengikuti kaidah penggunaan bahasa tulis. Penulis-penulis dalam buku boleh dikatakan belum memperhatikan EYD. Memang kesalahan EYD dalam penulisan judul, misalnya, tidak banyak mengganggu. Jika banyak terjadi kesalahan akan terkesan penulis malas membaca buku sebagai bekal seorang penulis. Bagaimana pun juga seorang penulis yang kreatif juga menjadi pembaca yang kreatif. Karena kesalahan ada pada judul tulisan, maka akan terkesan penulis kurang memperhatikan kaidah bahasa tulis. Tentu sangat lemah alasan bahwa demi keaslian sengaja tidak disunting padahal penulisan kata tugas pada judul tidak diawali huruf kapital. Jangan-jangan alasan itu untuk menutupi kemalasan dalam melakukan penyuntingan.

Lepas dari kekurangannya, buku "Untuk Apa Kita Pergi ke Sekolah?" menarik untuk dibaca. Selain mencubit para guru yang kurang becus mendidik, pemerintah pun diharapkan bertanggung jawab. Para guru sepertinya belum profesional memberi pembelajaran kepada peserta didik. Akibatnya, sekolah masih dirasakan sebagai penjara saja bagi peserta didik. Sedang bagi pemimpin pemerintahan, dalam kampanye selalu gembar-gembor pendidikan gratis namun setelah memegang kendali ternyata masih banyak anak tidak mampu sekolah karena tidak punya biaya. Selain itu, para remaja sangat peduli lingkungan.

Selayaknya buku ini dibaca oleh siapa saja, termasuk kalangan pendidik. Inilah buku yang menuangkan ide-ide yang sedang tumbuh. Pikiran-pikiran remaja kita sepantasnya ditanggapi secara positif. Bagi seorang pendidik, pikiran-pikiran kreatif anak yang sedang tumbuh perlu diberi "pupuk" jangan malah dibungkam. Bagi para siswa, buku ini pastilah akan memotivasi berkreasi untuk menumbuhkan pikiran-pikiran yang kreatif teman Anda.


I Gusti Ketut Tribana
sumber: BaliPost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net