Rabu, 09 Februari 2011

Resensi Buku : Ngajum Sekah dan Ngangget Don Bingin

Ngajum Sekah, Upacara yang Sarat Simbol

Judul Buku : Ngajum Sekah dan Ngangget Don Bingin
Penyusun : Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Sathya Jyoti
Tebal : viii + 68 halaman
Penerbit : Pustaka Bali Post


MASYARAKAT Hindu di Bali sangat kreatif dalam hal berupacara. Entah dari mana inpirasi diperoleh, atau entah dari mana saja sumbernya, upacara agama di Bali kemudian menjadi sebuah straksi budaya yang mengagumkan.

Dilihat dari segi budaya, seluruh dunia orang terkagum-kagum melihat di saat orang Hindu di Bali melaksanakan upacara Pitra Yadnya. Bayangkan, dalam upacara itu ada bade atau wadah yang tingginya belasan meter diusung ke kuburan. Bade yang berbentuk menara itu, dibuat berhari-hari, dihias indah dengan warna keemasan. Setelah di kuburan, bade yang memiliki harga jutaan rupiah itu "dipersembahkan" kepada si jago merah. Dalam waktu sekejap, bade itu berubah menjadi abu. Fotografer pun beramai-ramai mengarahkan kameranya ke tempat itu. Sejumlah pelukis pun tertarik mengabadikan peristiwa menarik ini diu atas kanvas. Terbukti, banyak lukisan bade yang dilalap si jago merah terpajang.

Buku ini menjelaskan bagian dari upacara Pitra Yadnya itu, khususnya tentang ngajum sekah dan ngangget don bingin. Sekah adalah sebuah benda yang dibuat sedemikian rupa yang berfungsi sebagai simbol linggih atau tempat Sang Pitara (roh orang yang diaben). Upacara Nyekah juga sering disebut upacara Mamukur. Ada juga menyebut Upara Ngeroras. Upacara ini dilakukan setelah upacara Ngaben dilaksanakan.

Di beberapa tempat, kata Nyekah juga sering disebut Nyekar. Mengapa? Karena nama sang Pitra sudah diganti dengan nama bunga, misal sandat, cempaka, jempiring, dan sebagainya (untuk sawa/jenazah wanita), sedangkan untuk sawa pria memakai nama kayu yaitu cendana, majagau, ketewel, damulir, dan sebagainya. Upacara ini juga dinamakan Ngeroras, karena berasal dari kata Ro (dua) dan Ras (pisah), yang secara harfiah berarti pisah dua kali.

Ngajum Sekah adalah membuat simbol Panca Tan Matra yang disebut Puspa Lingga. Kata Ngajum Sekah dalam konteks upacara Nyekah diberi arti "memuji Sang Pitara" dengan cara menghias serta mempercantik benda yang diperlambangkan sebagai sang Pitara itu.

Ngaskara Sekah adalah mendak dan mensucikan Puspa Lingga. Narpana Sekah adalah menghaturkan sesajen kepada atman yang sudah disucikan. Ngeseng Sekah dilaksanakan dengan membakar Puspa Lingga sebagai simbol menghilangkan Panca Tan Matra bertujuan agar atma dapat dengan damai menuju kahyangan, tidak lagi terikat dengan keduniawian.

Mamukur

Lalu mengapa pula disebut Mamukur? Dalam buku ini dijelaskan, Mamukur adalah sebuah kata kerja yang berasal dari kata dasar "bukur" yang berarti "pintu sorga". Dengan demikian, kata Memukur berarti memasuki pintu sorga, atau dengan kata lain sebuah upacara dengan tujuan agar roh atau atman orang yang telah meninggal dapat memasuki alam sorga atau alam kedewataan.

Tapi benarkah roh yang telah diupacarai tersebut memasuki alam sorga? Atau dengan kata lain, apakah semua roh manusia yang diupacarai Memukur memasuki alam sorga?

Oleh karena masalah tersebut berkaitan erat dengan kepercayaan dan masalah rasa, maka tentu saja tidak ada jawaban yang pasti untuk pertanyaan itu. Akan tetapi, menurut Hukum Karmaphla, orang yang berbuat baik sesuai dengan ajaran agama, akan menemui sorga. Sebaliknya orang yang berbuat jahat, rohnya akan menemui neraka, setelah meninggal. Begitulah ungkapan gampangnya secara umum. Tapi benarkah juga demikian, sulit juga dijawab.

Lalu bagaimana halnya ngangget don bingin? Dalam buku ini dijelaskan, kata ngangget artinya memetik dengan menggunakan galah dilengkapi dengan pisau. Kata don berarti daun. Sedangkan bingin adalah pohon beringin, yaitu sebuah pohon besar dan rindang.

Dalam agama Hindu, pohon beringin memiliki arti yang sangat penting dalam mitologi Hindu. Pohon beringin merupakan gambaran pohon sorga yang disebut Taru Wreksa, yang dapat memenuhi keinginan. Pohon beringin pula yang disebut kalpataru, nama pohon yang sudah populer sebagai simbol penghargaan bagi penyelamat lingkungan.

Buku ini memang menarik disimak. Selain penting bagi para pelaksana upacara atau yang berminat menjadi praktisi di bidang upacara Pitra Yadnya, juga cukup penting bagi ilmu pengetahuan. Soalnya, dalam upacara ini, berbagai lambang atau simbol akan ditemukan. Di balik simmbol-simbol tersebut, jika digali dengan tekun juga akan ditemukan sejumlah makna sosial.

Misalnya saja, tentang tindakan Ngajum Sekah tersebut. Menurut buku ini, yang melakanakan upacara ini adalah keluarga yang diupacarai. Tidak dibenarkan orang lain yang melakukan upacara ini, tanpa kehadiran keluarga. Sebab, upacara ini memiliki makna bahwa orang melangsungkan upacara Ngajum Sekah harus menunjukkan baktinya kepada roh orang yang diupacarai.

Itulah sebabnya, disebut Ngajum, karena dalam kata tersebut juga berarti memuji atau membuat senang roh yang diupacarai. Dari upacara Ngajum Sekah itulah terlontar kata-kata pemeo atau ungkapan Nyen anake orahin Ngajum sekahe yen sing iraga pedidi (Siapa yang disuruh memuji Sekah, kalau bukan kita sendiri sebagai pemilik).

Ungkapan tersebut sering terlontar ketika orang ingin mengomentari terhadap orang yang "memuji" atau memberi penghargaan pada dirinya sendiri. Itu pula sebabnya, penyanyi lagu pop Bali, seperti Anak Agung Raka Sidan mengarang lagu dengan judul "Ngajum Sekah". Raka Sidan dalam lagu itu menuturkan bahwa dirinya dulu pemabuk, sering ke kafe, dan bahkan sering ngintip istri orang lain. Namun setelah memiliki pacar yang baik, yang berhasil mengingatkan dirinya, iapun memuji dengan kata-kata "Tunangan tiang ne jani mule sanget ngetisin hati//Ampurang malih pisan sire malih ne ngajum sekah nyane pedidi" (Pacar saya sekarang yang sangat menyejukkan hati//Maafkan sekali lagi, siapa lagi yang memuji sekahnya sendiri). Kata "sekah" dalam lagu ini, adalah untuk menyebut pacarnya yang baik hati itu.

Meskipun suatu saat, akibat era globalisasi, ada perubahan besar pada pelaksanaan upacara agama di Bali, buku ini tetap memiliki arti tersendiri. Sebab, ia mencatat budaya agama yang sangat penting bagi peneliti sejarah perjalanan Hindu di Nusanatara, khususnya Bali.


*wayan supartha
sumber: BaliPost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net