Yan patemu ikang sattwa lawan rajah, prakaasaa gong irikang citta. Yeka nimitaning Atma para ring swarga. Apang ikang sattwa magawe hayu, ikang rajah manglakwaken sumiadhyaken saprayojana ning sattwa. Nahan yukti nikang rajah milwawaking swarga kendit dening sattwa....
(Dikutip dari Tattwa Jnyana, 10) Maksudnya: Bila sattwa bertemu dengan rajah, terang bercahayalah citta itu. Itulah yang menyebabkan Atman sampai di sorga. Karena sattwam itu mendorong orang ingin berbuat baik, maka rajah-lah yang melaksanakannya sampai berhasil semua kehendak sattwam itu. Demikianlah hakikat kebenaran rajah itu ikut serta berbadan sorga terbawa oleh sattwam. PENDIDIKAN pada hakikatnya menguatkan jati diri manusia yang lahir ke dunia ini. Manusia lahir ke dunia ini membawa Karma Wasana. Karma Wasana itu adalah bekas-bekas perbuatan yang dilakukan pada penjelmaan pada masa lampau. Swami Cinmayananda menyatakan bahwa ada dua hal yang dikandung oleh Karma Wasana itu, yaitu Guna dan Swabhawa. Guna itu adalah bibit-bibit bakat, sedangkan Swabhawa itu adalah bibit-bibit sifat. Hakikat pendidikan adalah mengembangkan dua bawaan lahir tersebut. Guna atau benih-benih dikembangkan melalui pendidikan dan latihan, sehingga manusia itu memiliki keterampilan bahkan keahlian untuk menunjang hidup mereka mencari nafkah di dunia ini. Nampaknya pendidikan keterampilan dan keahlian itu dapat lebih diberikan prioritas pada jalur pendidikan formal di sekolah dan nonformal pada kursus-kursus keterampilan. Sedangkan pendidikan moral dan mental sebagai inti pendidikan budi pekerti, tetap juga di perhatikan di sekolah, cuma ia tidak menjadi prioritas utama. Pendidikan budi pekerti diberikan prioritas utama pada jalur pendidikan informal seperti dalam keluarga, lewat lembaga-lembaga keagamaan atau kelompok-kelompok spiritual yang bernuansa Satsangga. Dalam tradisi Hindu, Satsangga itu adalah perkumpulan yang memprioritaskan pergaulan rohani seperti sekaa santi, perkumpulan tirtha yatra, kelompok diskusi atau dharma tula, perkumpulan yoga, meditasi dan sejenisnya. Hal-hal yang demikian itulah hendaknya didorong untuk tumbuh berkembang. Jangan gampang-gampangan menuduh mereka aliran sesat tanpa melalui pengkajian yang mendalam dan profesional. Tumbuhkan iklim yang kondusif untuk memajukan proses Satsangga itu dalam kehidupan kerohanian. Prinsip yang harus dipegang dalam mengembangkan pendidikan budi pekerti itu adalah, menciptakan kondisi sehingga umat terutama generasi mudanya terdorong untuk menguatkan Guna Sattwam dan Guna Rajah-nya. Karena sementara ini, kondisi yang berkembang justru lebih banyak mendorong umat untuk mengembangkan Guna Rajah dan Guna Tamah. Kalau Guna Rajah dikendalikan oleh Sattwam, maka benih-benih sifat baik akan muncul. Tetapi kalau Guna Rajah dikendalikan oleh Guna Tamah, maka sifat-sifat buruk yang didorong bereksistensi. Karena itu, kegiatan keluarga hendaknya diarahkan untuk lebih membawa keluarganya pada kelompok yang bercorak Satsangga. Pendidikan sekarang lebih banyak mendorong orang untuk mencari nafkah agar bisa hidup kaya. Hal itu tentunya bukanlah suatu kesalahan, sepanjang ia diimbangi dengan pendidikan untuk mampu mengelola hidup yang seimbang berdasarkan moral yang luhur. Membangun moral luhur tujuan pendidikan budi pekerti dengan menguatkan dominasi sifat Sattwam dalam diri. Kalau tidak, mereka akan mencari nafkah tanpa menghitung moral etika dan hukum. Sepanjang menghasilkan uang dan kedudukan atau jabatan empuk, masalah moral etika tidak perlu diperhatikan. Menyuap, menipu, korupsi, memeras, memalsu, nyantet, berbuat munafik dan sejenisnya, akan dilakukan. Mencari nafkah sebagai prioritas utama akan dilakukan agar kaya dan hidup berhura-hura mengumbar nafsu. Pendidikan budi pekerti itu hendaknya memprioritaskan untuk mendorong tumbuhnya sifat-sifat Sattwan yang digerakan oleh sifat Rajah. Sifat Sattwam tersebut banyak diuraikan dalam Sastra Hindu. Kalau sifat Sattwam itu menguasai Citta atau alam pikiran manusia, maka budi pekerti yang baiklah yang akan muncul oleh indria. Dalam Lontar Tattwa Jnyana 7 dinyatakan bahwa kalau sifat Sattwam mendominasi Citta maka seseorang akan menjadi bijaksana (Pradnya widagda), tahu mana yang patut dan tidak patut, baik caranya bertingkah laku. Meskipun ia bertenaga, ia tidak kasar, tidak berkata asal berkata, bersikap hormat, lurus hati, menaruh kasihan pada mereka yang menderita, menghibur orang yang hina dan bersedih, sungguh-sungguh melakukan ajaran kitab suci, mengalah, tenang menghadapi berbagai persoalan hidup. Itulah antara lain sifat-sifat Sattwam yang wajib dikuatkan dalam pendidikan budi pekerti dengan berbagai metode pendidikan yang ada. Menumbuhkan tiap sifat Sattwam tersebut disesuaikan dengan keberadaan orangnya. Karena itu, peranan berbagai pihak harus disinergikan dalam pendidikan budi perkerti ini, terutama dalam jalur pendidikan informal. * I Ketut Gobyah |
Source : Balipost |
Toko Buku Hindu dan Buku Spiritual Online...Kami menjual buku-buku Hindu dan Spiritual lainnya secara online terbitan penerbit Media Hindu, Paramitha, BaliPost, dan lain-lain. Kami bisa melakukan pengiriman ke seluruh Indonesia.
Kamis, 16 April 2015
Bangun Budi Pekerti dengan Sattwam dan Rajah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar