Minggu, 19 April 2015

Ngaben tak harus dengan Biaya Besar


Imam lokam maatrbhaktyaa.
Pitrbhaktyaa tu madhyamam.
Gurucicrusaya twetwam.
Brahmalokam samasnute.

(Manawa Dharmasastra.II.233)

Maksudnya:
Dengan berbakti kepada ibu akan mencapai kebahagiaan di bumi ini. Kebahagiaan di dunia tengah dicapai dengan berbakti kepada ayah. Tetapi dengan ketaatan pada guru suci akan mencapai Brahma Loka.

HAKIKAT upacara pitra yadnya adalah untuk mewujudkan bakti kepada leluhur seperti ayah dan ibu. Beryadnya kepada leluhur seperti kepada ayah dan ibu dapat dilakukan dengan banyak cara. Salah satu dari cara itu dengan melakukan upacara pitra yadnya setelah leluhur itu tidak laku hidup di dunia yang nyata ini.

Salah satu bentuk upacara pitra yadnya adalah dengan melakukan upacara ngaben bagi leluhur atau keluarga yang telah meninggal. Hakikat upacara pitra yadnya tersebut adalah sebagai wujud doa yang bersifat multivisual untuk memohon kepada Tuhan semoga leluhur yang diupacarai ngaben itu mencapai alam niskala yang makin meningkat. Lontar Wrehaspati Tattwa menyatakan bahwa saat orang meninggal hanya badan (stula sarira)-nya yang ditinggalkan oleh Atman atau rohnya. Sedangkan badan halusnya yaitu suksma sarira masih menyelubungi sang Atman.

Dalam Lontar Gayatri dinyatakan bahwa tujuan upacara ngaben untuk meningkatkan status sang Atma. Saat meninggal sang Atma disebut Petra. Setelah diupacarai ngaben, sang Petra meningkat statusnya dan disebut sang Pitra.

Jadinya dengan ngaben sang Atma disucikan dengan melepaskan ikatannya dengan stula sarira yang dibangun oleh Panca Maha Bhuta. Dengan lepasnya sang Atma dari ikatakan Panca Maha Bhuta, sang Atma disebut sang Pitra. Pitra itu adalah sang Atma yang masih berada dalam selubung suksma sarira. Dengan upacara Atma Wedana sang Pitra dilepaskan dari ikatan selubung suksma sarira dan selanjutnya sang Pitra disebut Dewa Pitara. Demikian dinyatakan dalam Lontar Gayatri.

Upacara Atma Wedana menurut Lontar Siwa Tattwa Purana ada lima jenisnya yaitu Ngangseng, Nyekah, Mamukur, Maligia dan Ngeluwer. Makna filosofinya kelima jenis Atma Wedana itu sama. Hanya bentuk fisik upacara itu bebeda-beda dari yang sederhana sampai yang mewah atau utama. Demikian juga upacara ngaben dalam Lontar Sunarigama Pengabenan atau Bayi Loka Tattwa juga adalah lima tingkatannya.

Ada yang disebut Sawa Wedana, Sawa Preteka, Prenawa, Swastha dan Mitra Yadnya yang mulih ke tengah. Bentuk yang terakhir ini paling sederhana dalam wujud fisik upakaranya, tetapi tujuan filosofinya paling tinggi. Upacara Mitra Yadnya ini sering dianjurkan kepada umat oleh Ida Pedanda Made Sidemen (alm) dari Geria Taman Sanur. Namun banyak pandita yang tidak mau atau tidak paham tentang adanya upacara ngaben sederhana ini.

Sesungguhnya upacara berdasarkan tingkatan Nista, Madya, Utama itu tetap harus dipertahankan untuk keseimbangan. Cuma pemahaman Nista, Madya, Utama perlu diluruskan dan juga dihubungkan dengan tingkatan upacara menurut Bhagawad Gita XII. 11-13. Dalam Bhagawad Gita tersebut ada upacara yadnya yang tergolong Satvika, Rajasika dan Tamasika Yadnya.

Bahkan, ada baiknya dikembalikan pada sistem upacara ngaben bersama. Tentunya hal ini harus berdasarkan kesukarelaan dengan pengertian yang mendalam. Saat ini sesungguhnya sudah makin tumbuh kesadaran umat untuk kembali ngaben bersama. Cuma perlu terus ditingkatkan lebih luas dan dalam pemahaman umat mengenai upacara tersebut. Dengan demikian, kualitas penyelenggaraan upacara ngaben bersama itu akan makin baik.

Ngaben tidak lagi menjadi beban yang dirasakan sebagai sesuatu yang memberatkan oleh umat. Kalau pemahaman umat pada upacara ngaben itu sudah benar dan baik, apalagi mengenai ngaben bersama rasa memberatkan itu tidak akan ada. Karena ngaben, upacara Atma Wedana dan Ngalinggihan Dewa Pitara itu bentuk bakti kepada leluhur dalam upacara yadnya saja.

Berbakti kepada leluhur sesungguhnya juga wajib dilakukan dalam bentuk mengupayakan pemeliharaan dan pendidikan kepada anak-anak. Karena anak-anak itu pada hakikatnya menurut keyakinan Hindu adalah leluhur kita yang turun menjelma. Kalau segala aset keluarga dihabiskan untuk ngaben, mamukur dan Nuntun Dewa Hyang misalnya, maka kalau beliau itu menjelma menjadi anak-anak kita misalnya tentunya juga menjadi tidak baik kalau kita tidak mampu memberikan pemeliharaan dan pendidikan yang benar dan baik.

Berbakti kepada leluhur juga dapat dilakukan dengan tekun berbuat baik penuh dedikasi sesuai dengan profesi dan swadharma kita masing-masing. Hal ini diajarkan dalam Manawa Dharma Sastra III.37 dan 38. Anak-anak yang lahir dari perkawinan yang baik dan benar kalau ia berbuat baik akan dapat menebus dosa-dosa leluhur dan keturunan kita kelak. Berbuat baik dan benar menurut profesi dan fungsi masing-masing inilah jangan dilupakan sebagai cara berbakti kepada leluhur menuju bakti kepada Tuhan.

Antara upacara Pitra Yadnya seperti ngaben ini dan berbuat baik secara nyata hendaknya jangan dipisahkan. Sebab, upacara ngaben sampai Nuntun Dewa Hyang di dalamnya sangat sarat dengan kandungan nilai-nilai positif yang universal. Nilai-nilai universal itulah yang kita aplikasikan dalam wujud nyata dalam perbuatan sehari-hari dalam hidup ini sebagai bakti kita kepada leluhur.

* I Ketut Gobyah
Source :   Balipost

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net