Jumat, 03 April 2015

Penghayatan Umat Hindu Terhadap Hyang Widhi

Sentuhan ilmu pengetahuan telah membangkitkan keinginan generasi muda Umat Hindu untuk tahu, meneliti dan mengoreksi apa yang telah diadatkan dan ditradisikan oleh nenek moyang mereka. Percaya membabi buta merupakan suatu yang tabu bagi cendekiawan. Mereka merindukan jawaban bukan saja mengenai adat tapi mengenai agama yang mereka yakini dan taati. Jawaban pun jawaban yang logis/ilmiah untuk memuaskan akal mereka, dan sekaligus juga untuk memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mereka.

Dampak ilmu pengetahuan juga menyebabkan pemuda-pemuda dan cendikiawan Hindu tidak puas dengan upacara-upacara yang tradisional, dan melaksanakan agama dengan kebersamaan. Dengan tidak melepaskan kebersamaan, mereka ingin menghayati Tuhan sendiri-sendiri, tidak cukup dengan sembahyang pada waktu-waktu “Piodalan” dan hari-hari Suci di Pura saja. Mereka memerlukan kebebasan berpikir merenungkan hakekat Tuhan. Untuk itu perlu keseimbangan agar jangan terjadi penolakan secara apreori terhadap semua yang berbau tradisi dan upacara-upacara.

Keesaan Hyang Widhi Wasa

Ada berjenis-jenis Pura dengan fungsi dan nama-nama yang berbeda di Indonesia ini. Lebih-lebih di Pulau Bali dengan simbul-simbul dan penghayatannya yang khas, di mana Tuhan dipersonifikasikan dengan sifat dan kekuasaan yang berbeda-beda.

Demikianlah di Pura Besakih dipuja Deva Siva dengan segala manifestainya tempat memohonkan keselamatan. Demikian juga dengan pura-pura yang lain. Di dalam Veda kita jumpai ratusan nama Deva-deva dengan kekuasaan dan fungsiNya yang berbeda-beda, karena Beliau dikenal dengan “Sahasra” nama yaitu seribu nama. Dalam pemujaan sehari-hari yang dilaksanakan oleh Umat Hindu setiap pagi, siang dan petang hari, yang dikenal dengan nama Trisandhya, dapat diketahui dengan jelas bagaimana mungkin nama Deva itu banyak seperti halnya disebutkan dalam kutipan bait II dan III, Trisandhya sebagai berikut:

0m Narayana evedam sarvam,
Yad bhutam yacca bhavyam
Niskalanko niranjano nirvikalpo
Nirakhyatah suddho deva eko
Narayano na dvitiyo ‘sti kascit


Ya Tuhan, Engkaulah Narayana yang meliputi kesemuanya ini, baik yang telah ada maupun yang akan ada; Engkau bebas dari noda, tak tercemari dan bebas dari perubahan. Engkau tak terlukiskan, suci, satu-satuNya, tiada ya kedua.

0m Tvam sivah tvam mahadevah
Isvarah paramesvarah
Brahma visnusca rudrasca
Purusah parikirtitah


Ya Tuhan, Engkau diberi gelar Siva, Mahadeva, Isvara, Paramesvara, Brahma, Visnu maupun Rudra; Engkaulah yang sering dipanggil sebagai Purusah. Kata na dvitiyo yang artinya hanya satu tidak ada duaNya yang disebut dalam bait ke II kalimat terakhir dari Trisandhya, jelas menunjukkan bahwa agama Hindu memuja satu Tuhan, meskipun Beliau dipuja dengan banyak nama seperti Siva, Mahadeva, Isvara, Paramesvara, Brahma, Visnu, Rudra, sebagaimana yang disebutkan dalam bait III Trisandhya.

Bagaimana nama yang banyak ini dapat dimengerti? Untuk hal ini baiklah kami berikan suatu perbandingan yang kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari.

Ada seorang bernama Sunu, jabatannya dalam Pemerintahan adalah seorang Direktur oleh karena itu semua pegawai bawahannya memanggil dengan sebutan Pak Direktur, tetapi Pak Sunu ini juga menjadi Rektor dari sebuah Perguruan Tinggi, sehingga semua mahasiswanya memanggilnya dengan nama Pak Rektor, disamping itu sebagai manusia yang wajar, Pak Sunu ini adalah juga sebagai seorang suami karena dia punya istri dan anak. Si istri memanggil dengan panggilan “Beli” yang artinya kakak, sedang anak-anaknya memanggilnya dengan sebutan “aji’ yang artinya bapak.

Dengan demikian Pak Sunu mempunyai banyak nama, setiap nama yang dipakainya itu benar dalam kaitan dengan fungsinya masing-masing. Dalam fungsinya sebagai pemimpin Universitas, nama Rektor itu benar, tetapi anaknya sendiri tidak pernah memanggilnya dengan nama Rektor. Apakah nama yang banyak ini berarti bahwa orangnya banyak? Ternyata orangnya itu hanya satu yaitu Pak Sunu sendiri. Jadi nama ini erat sekali hubungannya dengan fungsi atau tugas. Demikian pulalah Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi), Beliau disebut Brahma pada waktu menciptakan alam semesta dengan segala isinya ini, disebut Visnu pada waktu memelihara semua ciptaanNya dengan penuh cinta kasih dan begitu pula Siva pada waktu mengembalikan segala ciptaannya keasalnya.

Semua orang mengetahui hukum alam yang diciptakan oleh Tuhan, hukum yang mengatur perputaran alam ini, dimana planet-planet tidak bertabrakan, makhluk-makhluk lahir dan mati, dunia bergerak tidak henti-hentinya, yang ada di dunia fana ini adalah hukum perubahan yang abadi. Segala sesuatu yang diciptakan, setelah dinikmati dan dipelihara akan kembali berakhir kepada kemusnahan. Manusia yang lahir akan berakhir dengan kematian.

Setiap orang yang lahir harus siap menghadapi hidup dan akhirnya antre menuju tempat kematian. Lahir, hidup dan mati adalah hukum alam yang diciptakan oleh Tuhan, tidak ada seorangpun yang bisa menghindarinya.

Hukum itu adalah hukum Tuhan, dan kekuatan hukum itulah yang dimanifestasikan dan dipersonifikasikan sebagai Deva Brahma (pencipta), Deva Visnu (pemelihara) dan Deva Siva (pengembali). Bayangkan kalau di dunia ini banyak ada orang yang lahir saja dan tidak ada yang mati, maka dunia ini tentu akan penuh sesak sehingga untuk tempat berdiri pun tidak ada.

Ini adalah suatu kenyataan, janganlah mati itu dianggap suatu yang jelek; jangan pula kehancuran itu ditakuti, tidak semua kehancuran itu jelek. Untuk membangun yang baru harus menghancurkan yang lama. Deva-deva tidak lain dari sinar-sinar kekuatan atau kekuasaan Tuhan; kata Deva berasal dari urat kata Dev yang artinya sinar, yang mengambil contoh dari matahari. Kalau dunia kita ini diatur oleh matahari yang satu maka hidup makhluk-makhluk di dunia inipun dipengaruhi oleh sinar matahari yang satu ini pula. Air laut menguap menjadi embun dan jatuh menjadi hujan, sehingga sungai-sungai bermunculan di daratan adalah karena sinar panasnya matahari, kalau tidak ada panas matahari, maka air laut pun tidak menguap. Angin beredar karena perbedaan padatnya tekanan udara dari tempat yang satu dengan tempat yang lain. Perbedaan tekanan udara ditimbulkan oleh perbedaan panas, akibat perbedaan penyinaran matahari.

Andaikata angin tidak beredar maka dunia inipun akan kepanasan, tumbuh-tumbuhan hidup karena sinar matahari dan semua makhluk bisa hidup karena ada sinar matahari. Matahari itu sendiri tidak pernah menempel pada dunia kita ini, hanya sinarnya saja yang menyentuh bumi. Begitulah Tuhan diumpamakan seperti matahari, sinar-sinarnya seperti Deva, sinar itu tidak lain dari sinar kekuatan matahari, bila matahari tidak ada maka sinar itupun tidak ada. Deva-deva pun begitu juga, Deva hanya sinar kekuatan Tuhan, bila Tuhan tidak ada Deva-deva pun tidak ada. Sinar itu banyak warnanya dan berbeda-beda pula fungsi serta khasiatnya. Sinar merah, sinar ungu, sinar ultra violet dan sebagainya, adalah sinar-sinar matahari yang satu, tetapi mengapa para sarjana menyebutnya dengan sinar ultra violet, sinar inframerah dan sebagainya. Bukankah itu semua sinar matahari yang satu? Para sarjana pasti mengetahui bahwa tiap sinar matahari itu berbeda pengaruhnya terhadap bumi, sebab itulah diberi nama yang berbeda.

Demikian pula Deva-deva dalam Agama Hindu diberi nama yang berbeda, karena mempunyai kekuatan yang berbeda; Deva-deva dalam agama Hindu dianggap memiliki warna yang berbeda-beda pula (Dewata Nawa Sanga), seperti Deva Brahma warnanya merah, Deva Visnu warnanya hitam, Deva Isvara warnanya putih, dan sebagainya. Kalau demikian, mengapa tidak disebut Tuhan saja? Jangan diberi nama lain lagi dan jangan dipersonifikasikan lagi. Dalam hal ini hendaknya kita bisa memisahkan antara pengertian hakekat, pengertian penghayatan dan pengertian praktis; jangan dicampuradukkan.

Pada hakekatnya Agama Hindu itu memuja satu Tuhan, tetapi dalam penghayatannya, Umat Hindu memuja Tuhan melalui sinar kekuatannya yang disebut Deva-deva, dalam prakteknya Umat Hindu membuatkan bangunan-bangunan khusus, untuk masing-masing Deva itu, sesuai dengan kekhususan fungsinya, untuk memantapkan perasaan umat terutama umat yang awam tentang pengetahuan filsafat. Hal semacam inilah yang sering membingungkan orang yang tidak mengenal dan mendalami filsafat Hindu. Mereka akan cepat-cepat menuduh bahwa agama Hindu polytheistis. Tuhan itu dipersonifikasikan, fungsi Beliau diumpamakan sebagai sinar matahari.

Perwujudan Hyang Widhi
Apakah Tuhan Agama Hindu itu mempunyai wujud; Apakah Tuhan Agama Hindu itu sama seperti manusia sehingga kepadaNya dipersembahkan sajen-sajen yang terdiri dari bermacam-macam makanan? Kalau tidak, mengapa Umat Hindu membuat patung-patung, membuat sajen-sajen dan sebagainya? Untuk memahami ini marilah kita jangan melihat pada filsafatnya saja, tetapi juga hendaknya memahami bagaimana cara-cara penghayatan dari Umat Hindu yang awam. Dalam bait II mantram Trisandhya disebut :

0m Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) yang diberi gelar Narayana, segala makhluk yang ada berasal dari Hyang Widhi, Dikau bersifat gaib, tak berwujud, tak terbatas oleh waktu, menguasai segala kebingungan, tak termusnahkan. Dikau Maha Cemerlang, Maha Suci, Maha Esa, tidak ada DuaNya, disebut Narayana dan dipuja oleh semua makhluk.

Di sini jelas bahwa Tuhan (Hyang Widhi itu tidak berwujud dan tidak dapat diwujudkan, tetapi mengapa ada patung-patung Dewa Apakah Umat Hindu menyembah berhala? Marilah kita mengambil perbandingan pada apa yang dilakukan oleh orang intelek dan modern. Kita tahu bahwa semua bangsa di dunia mencintai dan menghormati bangsanya, tetapi tidak seorangpun tahu bagaimana rupa sebenarnya dari apa yang disebut bangsa itu. Bangsa Indonesia menggambarkan simbul bangsanya itu dengan bendera Merah Putih, Garuda Pancasila dan sebagainya. Apakah memang betul begitu rupa dari bangsa Indonesia itu? Bendera Merah Putih itu hanya secarik kain yang terdiri dari kain merah dan putih, apakah kita menghormati kain, bukankah kain itu ciptaan manusia? Semua itu hanya sekedar simbul yang sangat berguna untuk memantapkan rasa hati berbangsa. Pada waktu upacara bendera semua orang dengan tertib dan khidmat memberi hormat kepada Bendera, meskipun semua orang tahu bahwa bendera itu berasal dari kain ciptaan manusia.

Keanehan ini timbul, karena keinginan manusia (naluri) yang ingin memvisualisasikan bentuk-bentuk yang abstrak, untuk lebih mudah dimengerti atau dihayati oleh orang awam. Demikianlah Tuhan dalam agama Hindu sudah jelas disebutkan dalam Veda bahwa Tuhan tidak berwujud dan tidak dapat digambarkan, bahkan dipikirkan pun tidak, tetapi kalau orang sembahyang tidak menggambarkan bentuk yang disembah itu, maka konsentrasinya tidak akan bisa sempurna. Meskipun tidak berwujud patung, orang yang sembahyang tentu menggambarkan Tuhan itu di dalam hatinya, minimal dalam bentuk pikiran. Namapun adalah sebuah simbul.

Nama baru ada, kalau ada bentuk, walaupun bentuk yang bersifat abstrak. Istilah Tuhan (Ida Sanghyang Widhi, Allah) dan sebagainya adalah simbul untuk menamai bentuk pikiran yang tidak dapat dilukiskan karena abstraknya. Kecenderungan ingin melukiskan Tuhan dalam bentuk patung adalah suatu cetusan rasa cinta (bhakti). Sebagaimana halnya jika seorang pemuda jatuh cinta pada kekasihnya, sampai ke tingkat Madness (tergila-gila) maka bantal gulingpun dipeluknya erat-erat diumpamakan kekasihnya. Dia ingin menggambarkan kekasihnya itu dengan sajak-sajak yang penuh dengan perumpamaan seperti misalnya : matanya seperti bintang timur, mukanya seperti bulan purnama, dan sebagainya.

Kalau kita pikirkan dengan tenang, jika ada orang yang matanya seperti bintang timur dan mukanya bulat seperti bulan purnama, barangkali tidak bisa kita menyebutkan orang yang sedemikian itu cantik. Semua itu adalah sekedar simbul, ekspresi dari perasaan cinta. Demikian pula Umat Hindu yang tergila-gila ingin menggambarkan Tuhannya dengan membuat patung sebagai realisasi perasaan cintanya, dihias dan dipuja, dan tidak pernah terpikirkan dalam hatinya bahwa patung itu adalah sebuah kayu diukir. Seperti halnya anak murid kelas nol kecil, jika diajar ilmu berhitung ia tidak dapat membayangkan berapa tiga tambah tiga itu, karena pengertian tiga itu adalah sesuatu yang abstrak, maka untuk itu lbu Guru terpaksa menggambarkan bulatan yang berbentuk telur di papan sebanyak tiga tambah tiga, seraya menanyakan pada anak-anak: “Ini gambar apa anak-anak? tanya Bu Guru. “Telur” jawab anak-anak. “Berapa jumlahnya anak-anak? tanya Bu Guru? Maka anak-anak pun menghitung bulatan-bulatan di papan yang dianggapnya telur itu dan mereka dapat menjawabnya dengan tepat.

Bagi anak-anak yang belum bisa membayangkan sesuatu yang abstrak itu perlu visualisasi (peragaan), dan contoh itu tidak mesti tepat, demikian pula orang awam sulit membayangkan Tuhan itu tidak berbentuk, mereka tidak bisa membayangkan Tuhan itu ada karena matanya tidak pernah melihat, mereka juga tidak mengerti kalau Tuhan tidak berbentuk, untuk apa dibuatkan Vihara atau Pura. Tuhan tidak perlu rumah dan tidak perlu tempat! Persembahan

Istan bhogan hi vo deva
dasyante yadnabhavitah,
tair dattan apradayaibhyo
yo bhunkte stena eva sah.
Bhagavadgita. 111.12

Sesungguhnya keinginan untuk mendapatkan kesenangan telah diberikan kepadamu oleh Tuhan karena yajnamu, sedangkan ia yang telah memperoleh kesenangan tanpa memberi Yajna sesungguhnya adalah pencuri.

yajna-sistasinah santo
mucyante sarva-kilbisaih,
bhujate te tv agham papa
ye pacanty atma-karanat.
Bhagavadgita. III. 13

Ia yang memakan sisa yajna, akan terlepas dari dosa (tetapi) ia yang memasak makanan hanya bagi dirinya sendiri, sesungguhnya makan dosa. Pantanglah bagi umat Hindu menikmati makanan sebelum mempersembahkan sajen/banten lebih dahulu kehadapan Tuhan dengan manifestasi beliau. Banten ini yang bentuknya kecil-kecil yang berisi nasi dan lauk ini bernama banten saiban atau sering juga disebut banten jotan. Sajen ini terlebih dahulu dipersembahkan di gentong tempat air, pada api tempat memasak, pada nasi, pada gentong tempat beras, kemudian pada bangunan tempat persembahyangan (pada masing-masing pelinggih), pada bangunan rumah tempat tidur, lumbung natar perumahan, sampai lubang pembuangan air juga diberikan sajen.

Setelah selesai melakukan persembahan itu semua, maka barulah mengambil nasi untuk di makan. Mempersembahkan banten saiban ini dilaksanakan sekitar jam 9 atau 10 sesudah seusai memasak. Sajen itu tidak perlu besar yang penting adalah pernyataan terima kasih yang tulus dan ikhlas. Umat Hindu selalu ingat darimana datangnya keselamatan, kesejahteraan dan kemakmuran, sehingga kesemua tempat dan alat itu yang telah membantu nasi menjadi masak disampaikan terima kasih berupa sajen.

Pada hakekatnya semua makanan termasuk yang ada di dalam basi telah dipersembahkan lebih dahulu. Adapun yang dimakan adalah sisa-sisa persembahan, sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh Bhagavadgita. Cara berpikir umat Hindu begitu sederhana, mereka menyadari bahwa beras yang ada di gentong bukan milik mereka karena manusia tidak bisa membuat beras meskipun bisa menanam padi. Mereka tahu air yang ada di sumur maupun di gentong bukan mereka yang membuat, karena mereka mengambil begitu saja di sumur atau di pancuran. Kenyataan tanpa api, nasi tidak bisa menjadi masak, mereka menyadari tanpa tuntunan Deva-deva dan leluhur, mereka tidak bisa menjadi manusia yang beradab. Meskipun rumah sekedar benda mati, tetapi telah banyak jasanya memberi perlindungan dari kepanasan dan kehujanan. Tuhan telah menyampaikan kasihNya melalui bermacam-macam jalan, sampai tempat pembuangan airpun telah memberikan andil keselamatan dan kesehatan. Semua yang dimakan dan semua yang membantu terjadi makanan adalah milik Tuhan oleh karena itu kepada Tuhanlah persembahan itu ditujukan.

Oleh karena Tuhan ada dimana-mana dan kasih Tuhan melalui bermacam-macam benda, maka terima kasih pun disampaikan melalui benda yang menjadi perantara kasih itu. Sajen ini adalah pernyataan bahwa mereka bukan mencuri milik Tuhan, dan yang kedua darimana datangnya kasih melalui itu pulalah terimakasih itu disampaikan.©
Source :   www.tnial.mil.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net