TRADISI menghaturkan sesaji berupa makanan maupun benda lain dalam kehidupan beragama Hindu di Bali bukan sekadar tradisi yang merupakan kreasi umat. Tradisi tersebut memiliki landasan yang kuat dalam sastra agama Hindu. Dalam Bhagawad Gita XVII Sloka 11 s.d. 13 dinyatakan bahwa upacara yadnya ada tiga kualitasnya yaitu Satvika Yadnya, Rajasika Yadnya dan Tamsika Yadnya. Yadnya yang paling berkualitas disebut Satvika Yadnya. Salah satu syarat yadnya yang Satvika adalah adanya jamuan makanan kepada para tamu atau Athiti Yadnya. Makanan yang dijadikan jamuan adalah makanan yang telah dipersembahkan kepada Tuhan. Karena itu disebut prasadam yang artinya karunia. Kalau ada Yadnya tanpa jamuan makanan yang disebut Asrsta Annam maka yadnya tersebut tergolong yadnya yang berkualitas jelek atau Tamasika Yadnya.
Jadi kalau yadnya yang tergolong Satvika adalah harus ada Srsta Annam atau dalam tradisi Hindu di India disebut Anna Seva. Dalam kitab Manawa Dharmasastra juga ada dinyatakan bahwa betapa pun mewahnya suatu upacara yadnya kalau di sekitarnya ada orang kelaparan maka yadnya itu tidak memberikan makna apa-apa.
Dalam kitab Agastia Parwa juga dinyatakan, Maweh apangan ring kraman. Artinya, menjamu makanan kepada masyarakat. Hal itulah yang disebut Manusa Yadnya dalam kitab Agastia Parwa tersebut. Sedangkan dalam kitab Sarsamuscaya dan dalam Purana ada istilah Ista Purta. Ista artinya suatu pemberian yang menyebabkan orang makin dekat dengan Tuhan. Sedangkan Purta adalah pemberian yang membawa orang makin terdorong untuk hidup makmur. Karena itu dalam tradisi Hindu di Bali kalau ada upacara yadnya, ada umat yang membawa arak berem untuk nyomia Bhuta Kala dan ada yang membawa dupa untuk membantu mendekatkan orang yang sedang melangsungkan upacara yadnya pada Tuhan.
Di samping itu disertai juga membawa beras, ketan, gula, kopi, buah-buahan sebagai sarana doa atau dorongan moral semoga upacara yadnya dimaksud membawa kemakmuran kepada mereka yang sedang melangsungkan upacara tersebut. Jadi tradisi Ngejot atau sebaliknya masyarakat membawa sesuatu saat ada umat melangsungkan upacara yadnya memang diajarkan dalam sastra agama Hindu.
Bagaimana tata cara melakukan saling memberi dalam yadnya yang timbal balik itu terserah kesepakatan umat dalam tiap kelompoknya. Ada yang membawa kado dalam bentuk uang tunai, ada yang masih bertahan membawa benda-benda seperti pakaian, alat-alat rumah tangga terutama dalam upacara Manusia Yadnya. Hal itu tidak perlu terlalu dirisaukan. Namun banyak kasus mengenai kado dari tetamu yang datang dalam yadnya semacam itu. Misalnya ada keluarga yang sampai cekcok dalam membagi kado. Ada yang sangat susah menggunakannya. Misalnya barang-barang bawaan dari tamu sudah dibagi-bagikan kepada tetangga dan sanak saudaranya, namun masih saja banyak jumlahnya.
Kalau dibuang sayang, dijual malu rasanya. Dibiarkan begitu saja, banyak mengambil tempat. Dalam hal inilah banyak timbul kreasi dari sementara umat untuk mewujudkan kado dengan uang tunai. Nyatanya hal itu banyak yang merasakan lebih bermanfaat. Kalau memang demikian kenyataannya dirasakan oleh umat, biarkanlah. Tidak usah kita cela dan dianggap merusak tradisi. Umat dewasa ini sudah cukup dewasa dan cerdas menanggapi hal itu. Toh tidak semua jenis yadnya kadonya diwujudkan dengan uang.
Hakikat saling memberi dalam wujud makanan atau benda lainnya itu adalah untuk menanamkan adanya Cakra Yadnya atau hidup untuk saling memelihara dalam wujud lebih nyata dalam kehidupan bersama. Karena saling memberi itu sebagai media latihan rohani untuk membangun jiwa yang ikhlas berkorban demi kehidupan bersama. Ke depan, biarkanlah umat mengarahkan cara saling memberi itu sesuai dengan kebutuhan zaman. Karena kebutuhan zaman terus berkembang.
Pada zaman dulu mungkin kualitas makanan orang tidak sebaik sekarang. Karenanya makanan itulah yang lebih ditekankan dalam melakukan komunikasi sosial dalam upacara yadnya. Cara saling beryadnya itu tentunya terus berkembang dan akan ada kreasi-kreasi baru yang akan dibuat oleh masyarakat sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan tattwanya, biarkanlah ada kreasi dalam tradisi tersebut agar jangan tradisi itu sampai ada yang basi.
sumber : http://www.balipost.co.id/BALIPOSTCETAK/2002/10/8/op5.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar