Jumat, 18 September 2015

Dukunglah Pemimpin Itu dengan Kritik

Prajaanam raksanam daanam.
Ijyadhyaayana mewaca.
wisayeswaprasaktatisca
ksatriyasya samaasatah.
(Manawa Dharmasastra.1.89) 

Maksudnya:
Tuhan mewajibkan para pemimpin (Ksatria) untuk mengupayakan rasa aman (Raksanam) dan sejahtera (Daanam) pada rakyatnya. Setiap hari hendaknya ia melakukan pemujaan (Ijya), mempelajari Weda (Dhyayanam), menguatkan diri untuk mengekang hawa nafsu (wisayeswaprasaktati). 


KEHIDUPAN bersama hampir tidak dapat diselenggarakan dengan harmonis dan tertib tanpa adanya pemimpin. Pemimpin itu dalam kitab suci Hindu termasuk dalam Ksatria Varna. Artinya, mereka digolongkan kesatria karena Guna dan Karma-nya, bukan karena berdasarkan keturunannya. Menjadi pemimpin formal dalam jajaran birokrasi. Mendapat fasilitas dari publik. Tanggung jawabnya pada publik juga sangat berat sebenarnya. Perhatikan sloka Manawa Dharmasastra tersebut di atas. Swadharma seorang pemimpin sungguh tidak mudah. Menciptakan rasa aman, mengupayakan lapangan kerja untuk membangun kesejahteraan bagi masyarakat luas sesuai dengan Varna-nya. Hidup sebagai pemimpin itu banyak godaannya. Karena itu, dia harus selalu berupaya mendekatkan diri pada Tuhan, setiap hari harus berusaha mengekang nafsunya. Karena akan banyak godaan yang dapat merangsang nafsu seorang pemimpin. Misalnya merangsang untuk marah, serakah, egois, dendam bahkan nafsu seks dan nafsu lain-lainnya. 

Meskipun menjadi pemimpin itu berat, tetapi banyak juga orang berebut menjadi pemimpin. Apalagi pemimpin formal di birokrasi pemerintahan yang bermandikan fasilitas. Banyak pihak yang menempuh segala cara untuk mencapai kedudukan tersebut. Kalau tujuannya untuk mengembangkan idealismenya tentunya dia akan rela berkorban sebagai wujud pengabdiannya kepada masyarakat. Tetapi banyak juga yang berebut menjadi pejabat untuk menikmati fasilitasnya dan juga sebagai kesempatan untuk memperkaya diri dan kelompoknya. 

Untuk membangun kehidupan bersama yang sukses harus ada kepemimpinan yang baik dan juga disertai kepengikutan yang baik. Kalau kepemimpinan dan kepengikutan ini tidak sinergi maka tidak mungkin kehidupan bersama itu sukses sebagai wadah membangun kehidupan yang ideal. Kepengikutan yang baik tidak memuji dan mengiakan apa saja yang dilakukan oleh sang pemimpin. 

Kalau memang ada sesuatu yang patut dipuji dan diiyakan dari si pemimpin lakukanlah hal itu dengan jujur dan sewajarnya. Pujian itu memang dapat memberi semangat pada sang pemimpin untuk terus maju. Kesetiaan dari rakyat pada pemimpinnya tidak saja hanya memuji dan mengiakan, tetapi juga mengkritisi perilaku kepemimpinan dari sang pemimpin. 

Pemimpin pun harus bersikap tidak mendudukkan sikap kritis dari rakyat sebagai suatu yang memusuhi dirinya. Lebih-lebih dalam teori kepemimpinan menyatakan bahwa agar pemimpin itu sukses harus dikritisi segala kekurangannya, tetapi bukan untuk dijatuhkan. Namun, dicarikan penunjang untuk mengcover kekurangan sang pemimpin tersebut. Karena di dunia ini tidak ada manusia sempurna tanpa kekurangan atau manusia superman. 

Cuma dalam ilmu kepemimpinan yang rasional kekurangan itu tidak boleh dijadikan dasar untuk menjatuhkan sang pemimpin. Kalau pemimpin itu selalu dijatuhkan yang rugi bukan hanya sang pemipin, tetapi rakyat juga akan rugi. Toh kalau dicari penggantinya tidak mungkin juga mendapatkan manusia yang superman. Kalau tidak keterlaluan biarkanlah pemimpin itu turun sesuai dengan ketentuannya. 

Mengkritisi pemimpin hendaknya juga rasional. Jangan kekurangan pemimpin itu dikritisi dengan cara-cara yang emosional. Apalagi kritik itu tidak sama dengan fitnah, provokasi, kebohongan dan sejenisnya. Pada zaman reformasi yang kebablasan ini sering hal itu dicampuradukkan. Hal ini menyebabkan banyak kritik yang bagus diabaikan oleh sementara pemimpin. Apalagi memang ada pemimpin yang alergi pada kritik. Kritik itu harus dirumuskan dengan norma-norma ilmiah. Dengan demikian kritik itu tidak disampaikan dengan perasaan sentimen. Kritik itu disampaikan untuk menyukseskan swadharma sang pemimpin. 

Suksesnya pemimpin berarti suksesnya tujuan bersama. Pemimpin yang memang menyadari dirinya milik publik dia semestinya menjadikan kritik itu sebagai suatu kebutuhan untuk menyukseskan kepemimpinannya. Mereka bekerja untuk melayani kepentingan publik. Dalam paradigma demokrasi, pemimpin itu milik publik, bukan publik itu milik pemimpin. Masih banyak pemimpin berparadigma feodal yang menganggap publik itu milik pemimpin. Pemimpin yang demokratis selalu menganggap kritik itu kebutuhan hidupnya. 


* I Ketut Gobyah
  
sumber : www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net