Kamis, 03 September 2015

Kekerasan dari Nafsu tak Terkendali

Indriyaanaam jaye yoga.
Samaatistheddivanisam
Jitendriyoh hi saknoti
Vage staapayitum prajah.
(Manawa Dharmasastra VII.44) 

Maksudnya:
Para pemimpin hendaknya siang malam harus berusaha mengendalikan nafsu dirinya dan menundukkan indrianya sendiri. Karena pemimpin yang telah mampu menguasai nafsunya akan menguasai rakyatnya untuk patuh. 


KEKERASAN karena alasan agama dan adat pada zaman demikian majunya, sesuatu yang sangat ironis. Agama dan adat salah satu fungsinya mengendalikan nafsu penganutnya. Kekerasan pada hakikatnya berasal dari nafsu yang tidak terkendali. Hal itu sebagai salah satu indikasi bahwa agama dan adat tidak difungsikan oleh penganutnya untuk menata rohaninya secara struktural meredam hawa nafsu. 

Agama dan adat seharusnya dijadikan kekuatan untuk menata dinamika diri. Dengan demikian indria sebagai alatnya nafsu di bawah kendali pikiran yang sehat. Kekerasan publik horizontal tidak semata-mata sebagai kekerasan yang bersifat kultural. Artinya, kekerasan itu terjadi bukan karena memang kultur publik. Akan tetapi, kekerasan publik yang banyak terjadi karena kekerasan struktural elite pemerintah dan pasar. 

Banyak kebijakan pemerintah dan kebijakan pasar yang menimbulkan tekanan hidup publik menjadi makin menderita. Hal itu terjadi karena banyak kebijakan pemerintah dan pasar tidak berasal dari aspirasi masyarakat sipil. Mengapa demikian? Karena agama dan adat masih banyak dijadikan media pembenar oleh mereka yang berasal di jajaran birokrasi pemerintahan dan pasar. 

Padahal semua agama mengajarkan kehendak rakyatlah seharusnya menjadi kehendak pemerintah dan pasar. Niat itu umumnya pasti ada. Namun, niat itu sering dikalahkan oleh desakan kepentingan yang lebih sempit untuk mengutungkan diri sendiri dan segelintir orang. Apakah itu keluarga atau kelompok atau kolega-koleganya. Kebijakan yang merugikan publik itu sampai terjadi karena tidak mampunya elite birokrasi merumuskan aspirasi publik. Memang semua pihak sudah memahami, merumuskan aspirasi umat bukan pekerjaan gampang. Ketidakmampuan merumuskan aspirasi publik akibatnya banyak kebijakan yang mengenai publik justru merugikan publik sendiri. Ditambah lagi perjuangan publik untuk memperjuangkan aspirasinya mendapatkan perlawanan yang arogan dari elite birokrasi. Inilah yang memicu kekerasan. 

Jika para pemimpin maupun rakyat siang malam terus berusaha mengendalikan hawa nafsunya dengan ajaran agamanya maka akan muncul kejernihan berpikir. Dari kejernihan berpikir itulah muncul kemampuan yang lebih solid untuk merumuskan aspirasi publik. Jika aspirasi tersalurkan, kekerasan publik pun akan lebih teredam. 

Untuk mengatasi kekerasan yang muncul di masyarakat, maka semua pihak peduli terhadap orang-orang yang sakit hati atau kelompok-kelompok yang tertekan. Jika kelompok sakit hati ini bisa diredam, makin kecil peluang orang untuk menghasut memicu kekerasan. Kalau banyak terjadi kekerasan karena alasan agama dan adat akan berisiko memerosotkan nilai aktivis agama dan adat di mata masyarakat. Seharusnya para aktivis agama dan adat itulah yang menjadi contoh selalu bertindak rasional atas kendali kekuatan spiritual agama dan adat. 

Agama yang dijadikan acuan untuk melakukan kekerasan pasti akan kena dampaknya. Citra agama pun akan menjadi tercoreng karena kesalahan umat penganutnya. Agama akan terus menjadi sumber kekerasan apabila paradigma beragama tidak diubah. Umat beragama lebih menonjolkan eksistensi formalnya daripada menggunakan agama untuk menyucikan hati nurani ke dalam diri menghapus kabut egoisme. Kalau cara beragama itu dapat diarahkan membenahi hati nurani untuk memperbaiki kualitas perilaku hidup sehari-hari, lambat-laun bisa meredam sikap eksklusivisme agama. Jika sikap eksklusif bisa diubah jadi sikap integrativisme, maka kebencian melihat orang berbeda agama akan makin menghilang. Apalagi sudah terbukti satu agama saja belum tentu juga rukun. Sikap eksklusif akan menonjolkan kelebihan agama sendiri untuk menganggap agama orang lain lebih rendah. Padahal, untuk membuktikan bahwa agama kita lebih baik semestinya menampilkan perilaku mulia lahir batin yang lebih dari yang lain. Meskipun agama yang kita anut sangat suci dan sangat baik, belum tentu kita sudah berbuat seperti itu. 

* I Ketut Gobyah 
sumber : www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net