Rabu, 02 September 2015

Melindungi Wilayah Desa dan Negara

Swaamyamaatyou puram raastram
Kosadandau suhrittatha.
Saptaa prakrtayo hyetaah
Saptaanggam rajyamucyate.
(Manawa Dharmasatra, IX, 294) 

Maksudnya:
Ada tujuh unsur negara yang harus mendapat perlindungan yaitu Swamin, Amatya, Pura, Rastra, Kosa, dandha, dan suhritta. Semuanya itu merupakan Unsur Negara karena itu badan Negara disebut memiliki tujuh unsur. 


DALAM Sloka Manawa Dharmasastra di atas dinyatakan ada tujuh unsur negara. Artinya kalau ada tujuh unsur tersebut barulah hal itu disebut negara yang memenuhi syarat. Sapta Angga Rajya itu adalah Swamin artinya raja, Amatya para menteri pembantu raja. Pura artinya ibu kota kerajaan. Rastra artinya wilayah kerajaan, Kosa adalah aset negara, Dandha artinya angkatan bersenjata. Suhritta artinya negara sahabat yang mengakui kedaulatan negara bersangkutan. 

Tujuh unsur negara (Sapta Angga Rajya) itu harus mendapatkan perhatian yang seimbang sehingga berfungsi dengan baik untuk kemajuan negara secara utuh. Sloka 296 dalam kitab yang sama ditegaskan bahwa semuanya itu tidak boleh diabaikan satu dengan yang lainnya. Semua unsur negara tersebut sama-sama penting dalam menunjang fungsi negara sebagai wadah kehidupan bersama. 

Yang paling patut diperhatikan secara sungguh-sungguh adalah masalah wilayah atau disebut Rastra. Wilayah negara ada di kota dan di desa. Pertahanan dalam penggunaan wilayah secara baik harus diawali dari desa. Dalam Lontar Purana Bali ada disebut samudra, wana danu dan jagat kerti. Empat hal ini sebagian dari Sad Kerti yang wajib diperhatikan dan dilestarikan. 

Wana, Samudra dan Danu menyangkut keberadaan alam yang harus pertama-tama mendapat perlindungan dari negara. Dalam kitab Sarasamuscaya 135 dinyatakan sumber-sumber alam itu harus dijaga kelestariannya. Hanya dalam alam lestari tujuan hidup mencapai Dharma Artha, Kama dan Moksha dapat ditegakkan. 

Dalam Sarasamuscaya itu dinyatakan dengan istilah Bhuta Hita. Selanjutnya Jagat Kerti menata kehidupan masyarakat dalam suatu wilayah pemukiman. 

Dalam sebuah pemukiman masyarakat diperlukan wilayah atau tempat tinggal dan tempat kerja secara agraris. Kerajaan di Bali pada masa lampau dibagi menjadi desa pakraman-desa pakraman. Di tiap desa pakraman ada yang disebut karang desa atau dikenal dengan istilah ayahan desa (AYDS) dan pekarangan desa (PKD) sebagai wilayah pemukiman masyarakat. 

Sementara wilayah kerja untuk mencari kehidupan masyarakat mendapatkan karang ayahan desa. Di tiap desa pakraman secara umum memiliki Kahyangan Tiga sebagai tempat memuja Tuhan dalam aspeknya sebagai pencipta, sebagai pelindung dan sebagai pamralina ciptaan-Nya kembali ke asal mulanya. Karang desa tempat umat bekerja dalam sektor agraris untuk mencari nafkah memelihara hidupnya. 

Sementara tanah laba pura adalah tanah yang diolah untuk mendapatkan hasil untuk kepentingan pemeliharaan pura agar pura itu dapat berfungsi sebagai tempat pemujaan kepada Tuhan secara layak. Karang desa, karang ayahan desa dan laba pura ini semuanya tanah hak desa pakraman. Semua tanah tersebut tidak dapat dilepaskan dengan Pura Kahyangan Tiga sebagai hulunya desa pakraman. 

Sangatlah keliru kalau tanah tersebut disertifikatkan menjadi hak milik pribadi. Kendati pribadi tersebut sebagai anggota krama desa bersangkutan. Pemanfaatan ketiga jenis tanah tersebut haruslah sesuai dengan fungsi dan perannya sebagai satu-kesatuan. Pengembangan dalam rangka pemanfaatan ketiga jenis tanah tersebut haruslah berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh desa pakraman. Apalagi sudah diatur dalam ketentuan awig-awig desa pakraman. 

Tegaknya fungsi ketiga jenis tanah itulah sebagai salah satu menjaga keajegan Bali di tingkat desa. Tentunya hal ini harus mendapatkan contoh baik dari tingkat yang lebih tinggi dalam memanfaatkan tata ruang yang sudah ditetapkan menurut prosedur hukum yang berlaku. Kalau disiplin penegakan hukum dalam pemanfaatan tata ruang tidak dimulai dari atas, hal itu akan dapat merembet ke tingkat desa pakraman. Masyarakat akan memanfaatkan wilayah desa pakraman yang ada seenak perutnya saja. 

Laba pura, tanah pakarangan desa dan juga tanah ayahan desa akan ikut diobok-obok hanya untuk mengejar keuntungan material tanpa memperhatikan keseimbangan. Contoh yang tidak baik memang sedang terjadi dari atas. Seperti pengalihan fungsi hutan, jalur hijau menjadi ruko, daerah resapan menjadi hotel. Sungai menjadi tempat membuang sampah, dst. Hal inilah yang harus dihentikan untuk menjaga ajegnya Bali. 

* I Ketut Gobyah 
sumber : www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net