Sabtu, 23 Januari 2016

Mohon Kemakmuran di Pura Pulaki

Yadnyadanatapah karmana
Tyajyam karyam eva tat.
Yadnyodanam tapas vaiva
Pavanani maniinam. 

Maksudnya: Hendaknya melakukan dana, yadnya dan tapa tidak pernah dihentikan. Sebab, dana, yadnya dan tapa itulah yang akan menyucikan orang-orang yang bijaksana. 



DANA artinya memberikan baik berupa materi maupun nonmateri. Dengan dana itulah manusia hendaknya hidup saling beryadnya. Maksudnya, dana itulah yang dikembangkan agar bisa hidup saling memelihara berdasarkan yadnya dalam kehidupan bersama. Cuma dalam kehidupan bersama untuk saling berdana dan beryadnya itulah banyak godaan. Dalam proses dana dan yadnya itulah kita bertapa.

Tapa artinya kuat menghadapi godaan. Dinamika dana dan yadnya itu sangat tajam dalam kehidupan bisnis di pasar. Pedagang berinvestasi (dana) dalam wujud barang dan jasa agar dapat memberikan pelayanan pada pembeli. Atas pelayanan dagang itu pembeli mendapatkan kemudahan memperoleh barang maupun jasa di pasar. Oleh karena itu, pembeli wajib memberikan nilai tambah pada barang dan jasa yang ia dapatkan. Demikianlah pedagang dan pembeli saling beryadnya di pasar. Kalau tanpa tapa pedagang bisa mengambil keuntungan yang tidak layak. Karena itu semua pihak jangan tidak jujur dalam proses jual-beli di pasar. Agar pedagang dan pembeli bertapa menahan diri dan berbuat jujur maka di setiap pasar di kalangan umat Hindu di Bali ada Pura Melanting. Di Pura Melanting itulah Tuhan dipuja untuk membangun sikap religius sebagai landasan moral dan mental dalam melakukan transaksi yang adil dan jujur. Di pasar inilah dinamika dana, yadnya dan tapa dilakukan dengan terus-menerus. Dengan demikian semua yang ikut terlibat dengan kehidupan pasar akan terbebaskan dari berbagai dosa. Tidak menipu masyarakat seperti meracuni bahan makanan yang dijual dengan zat kimia berbahaya.

Pusat Pura Melanting di Bali adalah di Pura Pulaki. Lebih tepat disebut di kompleks Pura Pulaki. Karena Pura Pulaki sebagai pusatnya dengan enam Pura Pesanakannya yaitu Pura Melanting, Pura Pegaluhan, Pura Pabean, Pura Kerta Kawat, Pura Taman dan Pura Pemuteran. Semua pura tersebut berhubungan dengan Pura Pulaki dan berada di sekitar pura  tersebut.

Keberadaan Pura Pulaki diceritakan dalam beberapa lontar. Seperti Lontar Babad Bali Radjiya, Babad Bhatara Sakti Bahu Rawuh dan Sejarah Pura Gede Pulaki. Semua sumber tertulis itu menceritakan keberadaan Pura Pulaki tersebut berhubungan dengan kedatangan Mpu Dang Hyang Nirartha dari Majapahit ke Bali. Dalam Babad Bhatara Sakti Bahu Rawuh diceritakan Dang Hyang Nirartha datang dari Jawa Timur ke Bali. Sesampai di Bali beliau menjumpai seekor naga besar yang mulutnya menganga lebar. Beliau masuk ke dalam mulut naga tersebut. Di dalam tubuh naga itu Mpu Dang Hyang Nirartha menemui sebuah taman indah dengan bunga tunjung berwarna putih, hitam dan merah. Bunga padma hitam dan merah disumpangkan di kedua telinganya. Sedangkan yang putih dipegang dengan kedua tangannya di depan dada. Setelah itu Mpu Danghyang Nirartha keluar dari mulut naga raja itu. Setelah di luar semua putra-putri beliau tidak mengenalinya. Kemudian istri dan anak-anak beliau lari terpencar. Istri Danghyang Nirartha berusaha mengumpulkan putra-putranya itu. Tetapi hanya satu yang tidak bisa ditemukan bernama Ida Ayu Swabhawa. Tetapi menjadi Dewa Pasar yang disebut Dewa Melanting dan bebas dari tua dan pati.

Dalam sejarah Pura Gede Pulaki dinyatakan bahwa Danghyang Nirartha ke Bali untuk melantik Dalem Watu Renggong yang memerintah di Bali tahun 1460-1550 M. Perjalanan beliau ke Klungkung dilakukan dari Desa Gading Wani. Anak-anaknya ditinggalkan di Desa Gading Wani. Beliau berjanji tidak beberapa lama akan kembali setelah selesai acara di Klungkung. Tetapi nyatanya Danghyang Nirartha dalam waktu yang cukup lama tidak datang. Putri beliau Ida Ayu Swabhawa akhirnya sangat gusar. Desa-desa di sekitarnya dengan 8.000 penduduk dikutuk menjadi wong samar termasuk dirinya. Ida Ayu Swabhawa dengan pengiringnya tinggal di bawah pohon-pohon besar. Pohon-pohon itu memiliki sulur-sulur tempat bergelayut (ngelanting dalam bahasa Bali). Di areal pohon itulah Ida Ayu Swabhawa dibuatkan pelinggih disebut Pura Melanting. Beliau dengan wong samar itulah yang menjadi penguasa pasar. Barang siapa berdagang maupun berbelanja tidak sesuai dengan etika moral dharma akan diganggu hidupnya oleh Dewa Melanting dengan anak buahnya. Kalau di pasar mengikuti dharma maka Dewa Melanting itulah yang akan melidunginya. Di samping distanakan di Pura Melanting ada juga stana beliau yang disebut Pura Tedung Jagat. Pura inilah yang kemudian disebut Pura Pulaki dan juga distanakan roh suci Dang Hyang Nirartha. Karena itu, Pura Melanting dan Pura Pulaki sebagai predana-purusa sebagai tempat pemujaan untuk memohon kemakmuran ekonomi. Pura Pulaki disungsung oleh 14 subak di sekitar Pulaki. Di Pura Pabean tempat pemujaan para nelayan dan para pedagang antarpulau. Mungkin identik dengan Pura Ratu Subandar di Pura Batur dan Besakih. Pura Kertha Kawat juga tergolong kompleks Pura Pulaki sebagai stana Tuhan untuk memohon tegaknya moral etika dan hukum dalam berbisnis. Di pura ini disebut stana Batara Kertaning Jagat. Pura Gunung Gondol terletak 3 km dari pusat Pura Pulaki sebagai stana untuk memuja Dewa Mentang Yudha yaitu Tuhan dalam fungsinya sebagai pelindung dari segala bahaya seperti Dewa Ganesa. Upacara piodalan di Pura Pulaki setiap dua tahun sekali pada Purnamaning Kalima.

* I Ketut Gobyah

sumber : www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net