Jumat, 29 Januari 2016

Pura Pusering Jagat- Pusat Dunia, ''Sthana'' Dewa Siwa

Apabila ada yang bertanya di manakah pusat dunia? Boleh jadi kita akan mengernyitkan dahi sebagai reaksi ketidaktahuan. Namun, jika pertanyaan itu ditujukan kepada warga Gianyar -- khususnya mereka yang bermukim di kawasan Desa Pejeng, Kecamatan Tampaksiring -- bisa jadi mereka akan menjawab dengan kompak seraya menyebutkan kata Pejeng. Jika pertanyaan itu diteruskan, di Desa Pejeng bagian mana? Mereka pun menjawab dengan pasti, Pura Pusering Jagat. Sebuah jawaban yang cukup masuk akal. Setidaknya, jika memaknai penamaan pura itu secara harfiah. Sebab, puser itu berarti pusat. Sementara jagat berarti dunia. Keyakinan Pura Pusering Jagat sebagai pusat dunia itulah yang tertanam dari masa ke masa, dari generasi ke generasi.

Kenyakinan Pura Pusering Jagat sebagai pusat dunia juga dilontarkan Wakil Bendesa Pakraman Pejeng Tjokorda Gde Putra Pemayun, S.H. Kendati begitu, tokoh masyarakat Pejeng yang juga Kabag Pemerintahan Setda Kabupaten Gianyar ini tidak ingin hal itu diperdebatkan. Satu hal yang pasti, Pura Pusering Jagat itu merupakan salah satu pura penting di Bali. Pura yang oleh masyarakat setempat juga disebut Pura Kelod ini memiliki status sebagai pura kahyangan jagat dalam kedudukannya sebagai sad kahyangan atau kahyangan jagat yang diklasifikasikan sebagai Pura-pura Padma Bhuwana yang berposisi di tengah sebagai sthana Dewa Siwa. 

Pusat Kerajaan
Sejak awal peradaban, kata Putra Pemayun, Pejeng sudah jadi kawasan hunian dan terpilih sebagai pusat Kerajaan Bali Kuna. Diperkirakan, kata Pejeng berasal dari kata pajeng (payung) yang bisa dimaknai sebagai memayungi atau mengayomi. Penamaan itu terasa pas mengingat dari berbagai tinjauan dan kajian aspek-aspek kebenaran sejarah, teosofi dan teologi, Desa Pejeng merupakan pusat  Kerajaan Bali Kuno yang secara otomatis pusat kerajaan itu memayungi masyarakat dan daerahnya. Namun, katanya, ada juga yang menduga kata Pejeng berasal dari kata pajang (bahasa Jawa Kuna) yang berarti sinar. ''Jika hal itu dikaitkan dengan Pejeng sebagai pusat kekuasaan, itu sangat pas untuk menggambarkan kedudukan Pejeng yang menyinari masyarakat dan kawasannya. Lebih-lebih jika hal itu dikaitkan dengan keberadaan ''bulan'' Pejeng (nekara perunggu) di Pura Penataran Sasih yang juga berlokasi di Desa Pejeng,'' katanya seraya mengutip sejumlah referensi sejarah yang memuat tentang Pejeng.

Lantas, bagaimana kedudukan Pura Pusering Jagat pada masa Kerajaan Bali Kuna lampau? Menurut Putra Pemayun, pura yang berlokasi di ketinggian 800 meter di atas permukaan laut ini bukan mustahil merupakan satu palebahan pura milik raja-raja Bali Kuno. Dengan kata lain, di pura inilah pusat ritual kekuasaan digulirkan. ''Posisi pura ini memang sentris terhadap wilayah Bali sebagai sebuah pulau,'' katanya.

Seperti termuat dalam lontar-lontar, katanya, Pura Pusering Jagat juga dikenal sebagai Pura Pusering Tasik atau pusatnya lautan. Penamaan itu akan mengingatkan masyarakat Hindu kepada cerita Adi Parwa yang mengisahkan perjuangan para dewa dalam mencari tirtha amertha (air kehidupan-red) di tengah lautan susu Ksirarnawa. Secara fisik, di kompleks Pura Pusering Jagat ini memang ada kolam maya yang berlokasi di hadapan arca utama di jeroan (halaman dalam) pura yang mengingatkan kita pada pengadukan Ksirarnawa oleh para dewa dan raksasa. ''Besar kemungkinan, nama Pusering Tasik itu muncul dari sana,'' ujar Putra Pemayun.  

Bercirikan Siwa

Putra Pemayun menambahkan, masyarakat Bali menyakini Pura Pusering Jagat merupakan sthana-nya Dewa Siwa. Keyakinan yang tidak mengada-ada mengingat cukup banyak bukti yang menunjukkan bahwa pura ini merupakan tempat pemujaan Sang Hyang Siwa. Hal itu terlihat dari peninggalan arca-arca yang tersimpan di pura ini yang bercirikan Siwa seperti arca Ganesha (putra Siwa), Durga (sakti Siwa) maupun arca-arca bhairawa. Salah satu kekhususan yang dijumpai di pura ini adalah adanya palinggih Ratu Purus dengan arca kelamin laki-laki dan perempuan. ''Fakta-fakta itu sangat sesuai dengan apa yang tertera dalam lontar-lontar yang menyatakan pura ini merupakan pura Padma Bhuana yang berkedudukan di tengah sebagai sthana Dewa Siwa,'' tegasnya.

Ditambahkannya, keberadaan Pura Pusering Jagat sebagai salah satu pura yang memiliki nilai sejarah yang sangat penting dalam perjalanan sejarah Bali di masa lampau tidak bisa diragukan lagi. Di kompleks pura ini ditemukan berbagai bukti-bukti kepurbakalaan yang terdiri atas sejumlah peninggalan seni arca dan unsur-unsur kebudayaan prasejarah. Adapun unsur-unsur kebudayaan prasejarah itu tercermin dari peninggalan susunan batu alam, batu titi ugal-agil, batu monolit, sejumlah arca dalam sikap jongkok dan fragmen lumpang batu.

Sementara seni arca yang dijumpai di pura ini dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok. Yakni, kelompok arca dewa yang merupakan perlambang dewa tertentu dengan atributnya masing-masing dan arca pratisha (perwujudan) yang merupakan perwujudan leluhur dengan pakaian dan perhiasan seperti arca dewa. Tetapi tidak mempunyai atribut yang dapat dihubungkan dengan arca dewa tertentu. Adapun ciri dari arca leluhur yang biasa digunakan adalah bunga kuncup atau mekar yang dipegang dan terkadang diganti dengan buah atau benda yang bulat lonjong.

Sejumlah arca penting yang pantas dikedepankan, katanya, adalah arca pancuran utama yang terbuat dari batu padas yang berlokasi di bagian timur laut kompleks pura. Arca berwujud tokoh manusia yang berdiri di atas lapik berbentuk bulat ini juga disebut angga tirtha. Kedua tangan arca memegang jaladwara (saluran air) yang keluar dari pusar. Barangkali, nama Pusering Jagat ini tidak terlepas dari keberadaan arca setinggi 180 cm itu. Di kompleks pura ini juga dijumpai sangku sudamala yang berupa bejana terbuat dari batu padas, arca Durga Mahissasuramardhini, empat arca Ganesha yang ditempatkan di sejumlah palinggih, dua buah arca Caturkaya (memiliki empat muka dan empat badan), dua buah arca perwujudan, empat buah arca jongkok dan masing-masing satu arca raksasa, arca penjaga dan arca singa. Tak kalah menariknya, di pura ini juga ditemukan sepasang arca kelamin yang ditempatkan di jajaran palinggih utama di jeroan tengah pura. Arca phalus-vulva (kelamin laki-laki dan perempuan-red) ini dijaga oleh dua arca jongkok dengan kaki disilangkan. ''Pembuatan arca phalus-vulva ini menyiratkan makna simbolis yang sangat dalam. Pembuatannya dimaksudkan untuk memenuhi fungsi-fungsi sebagai media pemujaan, simbol kesuburan dan penciptaan dunia juga simbol untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan, kesuburan tanaman dan juga penolak bala,'' papar Putra Pemayun panjang lebar.

Ditambahkan, pangempon Pura Pusering Jagat terdiri atas dua kelompok yakni pangempon dan penanga. Pengempon terdiri atas empat banjar -- Banjar Intaran, Banjar Pande, Banjar Puseh dan Banjar Guliang. Sedangkan penanga sebanyak 137 KK yang berasal dari Desa Adat Jero Kuta dan sekitar 100 KK berasal dari luar Jero Kuta seperti Pejeng Kangin dan Pejeng Kelod. Namun, katanya, pada saat piodalan besar sebanyak 14 desa adat lainnya di Pejeng juga ikut ngempon pura ini. Keempat belas desa adat meliputi Desa Adat Panglan, Belusung, Tarukan, Umahanyar, Melayang, Sawagunung, Kelusu, Patemon, Tri Eka Cita, Umakuta, Umadawa, Cagaan, Tegalsaat dan Tatiapi. Adapun upacara yang diselenggarakan di pura ini berupa aci panyabran, aci piodalan/padudusan alit dan aci piodalan/padudusan agung. Dikatakan, padudusan alit diselenggarakan setiap 210 hari bertepatan dengan Anggara Kasih Wara Medangsia dan padudusan agung digelar setiap satu tahun sekali bertepatan dengan Purnamaning Karo yang bisanya jatuh sekitar Agustus.

* w. sumatika

sumber : www.balipost.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net