Selasa, 09 Februari 2016

MAHABHARATA 27. Pengembaraan di Rimba Raya (lanjutan...)

Pandawa terus mengembara di dalam hutan, mengunjungi tempat-tempat suci, pertapaan dan bekas pertapaan. Pada suatu hari, mereka sampai di pertapaan Resi Uddalaka. Menurut Resi Lomasa, Resi Uddalaka adalah seorang mahaguru ahli kitab-kitab Weda dan mendalami falsafah Wedanta. Pengikut dan muridnya banyak sekali. Salah satu di antara mereka bernama Kagola. Kagola adalah orang yang suci dan teguh imannya, tetapi kurang cerdas. Ia sering ditertawakan dan dipermainkan teman-temannya. Walaupun agak bodoh, mahagurunya tidak pernah putus asa dalam mendidiknya. Resi Uddalaka tertarik pada keluhuran budi dan tabiat Kogala yang baik dan jujur. Ia berharap bisa menikahkan Sujata, putrinya, dengan Kagola jika putrinya itu sudah dewasa.

Resi Lomasa melanjutkan, “Sujata dan Kagola dianugerahi seorang anak laki-laki yang cerdas seperti kakeknya, Resi Uddalaka. Sejak kecil anak itu telah menunjukkan tanda-tanda kecerdasan yang luar biasa. Sayangnya, anak itu bongkok dan badannya benjol-benjol. Ada delapan benjolan di tubuhnya.

“Konon, benjolan itu muncul karena Kagola salah mengucapkan mantra ketika anaknya masih dalam kandungan. Mendengar mantra yang salah, anak itu meronta-ronta. Kesalahan itu diulang sampai delapan kali. Akibatnya, bayi itu terlahir bongkok. Bayi itu kemudian dinamai Astawakra, artinya ‘delapan benjolan’.

“Pada suatu hari, Kagola mengikuti lomba penafsiran Wedanta. Dalam perlombaaan itu ia berhadapan dengan Wandi, seorang ahli tafsir dari Negeri Mithila. Dalam acara perdebatan, ternyata Kagola tidak dapat menandingi Wandi. Karena malu, ia bunuh diri dengan menceburkan diri ke laut. Kelak, kekalahan Kagola akan ditebus oleh anaknya.
“Astawakra tumbuh makin besar. Tubuhnya cacat, tetapi pikirannya cerdas luar biasa. Dia diasuh oleh Resi Uddalaka, kakeknya. Waktu umurnya dua belas tahun, ia sudah tamat mempelajari kitab-kitab suci Weda dan tafsir Wedanta. “Pada suatu hari ia mendengar berita bahwa Janaka,

raja Negeri Mithila, akan mengadakan upacara besar. Dalam rangkaian upacara itu akan diadakan acara mabebasan, yaitu lomba membaca dan menafsirkan kitab- kitab Sastra. Para mahaguru, ahli-ahli pikir, dan ahli-ahli tafsir terkenal akan datang dari mana-mana. Astawakra ingin sekali ikut berlomba. Maka pergilah ia ke Negeri Mithila diantarkan pamannya, Swetaketu, yang sedikit lebih tua darinya. “Dalam perjalanan menuju Negeri Mithila, mereka berpapasan dengan rombongan Raja. Pengawal-pengawal raja memerintahkan agar orang-orang minggir, tetapi Astawakra malah berkata dengan berani, ‘Wahai pengawal kerajaan yang budiman, seorang raja yang adil dan bijaksana akan memberi jalan kepada orang buta, orang cacat, para wanita, pembawa beban berat dan para brahmana, seperti diajarkan dalam kitab-kitab suci Weda.’

“Ketika mendengar kata-kata luhur itu, Raja menasihati para pengawalnya, ‘Apa kata brahmana itu benar. Api adalah api; kecil atau besar tetap punya kekuatan untuk membakar.’

“Tatkala Astawakra dan Swetaketu hendak memasuki ruangan upacara, mereka ditahan oleh penjaga pintu, karena anak-anak yang belum cukup umur dilarang masuk. Hanya mereka yang benar-benar ahli kitab-kitab suci Weda diperbolehkan masuk.

“Astawakra berkata, ‘Kami bukan anak-anak lagi. Kami telah bersumpah menjadi brahmana dan telah mempelajari kitab-kitab suci Weda. Mereka yang telah mendalami tafsir Wedanta tidak akan menilai seseorang dari umur dan wajahnya.’

“Penjaga pintu itu membentak karena menganggap Astawakra masih bocah dan omong besar. Tetapi si bongkok Astawakra melawan, ‘Maksudmu, badanku ini bogel seperti labu tua yang tak ada isinya? Tinggi badan bukan ukuran untuk menilai dalamnya pengetahuan seseorang, begitu pula usia. Biarkan aku masuk!’

“Tetapi penjaga pintu itu tetap melarang Astawakra untuk masuk. Mereka berbantah sengit.

“Rambut beruban bukan cerminan kematangan jiwa seseorang. Orang yang betul-betul matang jiwanya adalah orang yang telah mempelajari dan memahami Weda dan tafsir Wedanta, menguasai seluruh isinya dan meresapi inti ajarannya. Aku datang untuk menantang Wandi, sang ahli tafsir,” kata Astawakra.

“Kebetulan, saat itu Raja Janaka lewat dan mendengar perdebatan itu. Raja mengenali si bongkok dan bertanya,

‘Tahukah engkau bahwa Wandi, sang ahli pikir dan ahli tafsir, telah mengalahkan banyak ahli dan mahaguru di masa lampau. Di akhir perdebatan, mereka yang kalah menanggung malu. Ada yang menerjunkan diri ke laut karena tak tahan menanggung malu. Apakah itu tidak mengecutkan hatimu? Masih beranikah engkau mengikuti lomba ini?’

“Astawakra menjawab, ‘Wandi, si ahli tafsir, belum pernah menghadapi orang seperti aku. Ia menjadi sombong karena dapat dengan mudah mengalahkan orang-orang lain. Aku datang ke sini untuk membayar kekalahan ayahku. Riwayatnya kudengar dari ibuku. Aku yakin, Wandi pasti dapat kukalahkan. Ijinkan kami masuk dan menemuinya.’
“Kemudian Astawakra menghadapi Wandi yang menjadi kebanggaan Negeri Mithila. Perlombaan dimulai. Mereka berdebat tentang hal yang paling muskil yang sudah ditentukan sebelumnya. Perdebatan berlangsung seru, masing- masing mempertahankan pandangannya.

“Di akhir lomba, para ahli tafsir memutuskan bahwa kemenangan ada di tangan Astawakra. Wandi menderita kekalahan. Wandi menyembah Astawakra, kemudian pergi ke laut untuk menyerahkan diri kepada Baruna, sang Dewa Laut, yang menguasai seluruh perairan di dunia.”

Resi Lomasa berkata kepada Yudhistira, “Seorang anak tidak perlu sama dengan ayahnya. Seorang ayah yang lemah raganya bisa saja mempunyai anak yang kuat dan perkasa. Seorang ayah yang dungu bisa saja mempunyai anak yang sangat cerdas. Sungguh keliru menilai kebesaran seseorang dari tinggi badan dan lanjut umurnya. Kenyataan luar dapat menipu, seperti halnya Kagola dan Astawakra.”

Bersambung....
sumber : https://www.facebook.com/agung.joni.31/posts/216997738637752

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net