Rabu, 13 April 2016

Pengabenan Bhuta Cuil Upaya Mendamaikan Alam Astral


Menurut kepercayaan umat Hindu di Bali, apabila ada orang yang meninggal kemudian tidak ada yang mengupacarakannya secara layak menurut ketentuan, maka roh orang bersangkutan akan gentayangan dan menjadibhuta cuil. Demikian pula, bilamana terdapat orang meninggal kemudian mayatnya ditanam tanpa dibarengi upacara yang patut, maka sampai batas waktu tertentu (12 sasih) atau selama setahun belum ada yang mengupacarainya untuk mendoakan rohnya, maka roh yang bersangkutan pun akan merana di alam astral dan menjadi roh gentayangan yang keberadaannya kemudian sering mengganggu manusia di alam nyata. Hal itu disebabkan karena roh-roh tersebut belum dapat melepaskan keterikatannya dengan alam manusia, masih terikat dengan berbagai memori dan kebiasaan-kebiasaannya selama menjadi manusia, sementara itu mereka sudah tidak memiliki badan kasar lagi.
Keadaan itu menyebabkan mereka selalu berada dekat-dekat dengan lingkungan manusia, tetapi tidak dapat berinteraksi secara langsung. Mereka ingin melibatkan diri dalam aktivitas sebagaimana layaknya manusia, tetapi hal itu tidaklah mungkin karena alam sudah berbeda. Toh demikian, keberadaan mereka yang masih dekat dengan keberadaan alam manusia membuat kondisi menjadi kurang harmonis bagi manusia itu sendiri, mereka seperti para pengungsi atau gelandangan yang mencari rumah-rumah penduduk untuk memohon belas kasih dan perlindungan.
Memang bhuta cuil ini tidak nampak oleh mata fisik manusia, tetapi mereka ini dapat bersentuhan dengan badan astral manusia (suksma sarira) dan juga badan pikiran (manomaya kosa). Persentuhan inilah kemudian menimbulkan konflik harmoni yang kemudian di Bali disebut dengan istilah kepanesan. Hal ini dapat menimbulkan berbagai gejala kurang baik bagi manusia, seperti mimpi buruk, kegelisahan tanpa sebab, gangguan emosi, dan tidak jarang berkembang menjadi penyakit fisik atau keributan dalam keluarga akibat terganggunya fungsi emosi dan pikiran.
Untuk mengembalikan tatanan harmoni manusia maupun untuk mendamaikan keberadaan roh-roh gentayangan yang menjadi bhuta cuil, hantu kelayapan, roh penasaran, dan sejenisnya, maka perlu diupayakan solusi melalui jalan spiritual. Menurut Jro Mangku Aseman, pengabenan bhuta cuil merupakan salah satu cara untuk mendoakan roh-roh gentayangan tersebut agar dapat menyadari tempat hidupnya yang baru, yaitu di dimensi alam yang lebih halus sehingga tidak lagi terikat dengan kebiasaan-kebiasaan duniawi, serta tidak lagi ingin turut campur dalam kehidupan manusia di bumi. Pemangku di Pura Luhur Duasem, Subamia, Tabanan ini menambahkan, bagaimanapun para bhuta cuil ini dahulunya adalah manusia sehingga keberadaannya berbeda dengan kelompok bhutakaladurgha, dengen, yang memang sejak diciptakan berwujud sebagai makhluk halus, sehingga digolongkan bhuta-bhuti.
Sementara itu, bhuta cuil adalah roh yang dahulunya sebagai manusia, sehingga perlu diupacarai agar dapat terbebas dari badan kasar maupun badan halusnya dan kemudian dapat berevolusi di alam-alam yang lebih luhur. "Untukbhuta cuil perlu dilakukan upacara pengabenan, agar tidak gentayangan lagi di bumi, sedangkan untuk bhuta-bhutiagar tidak menimbulkan disharmonisasi pada manusia maka diadakan upacara nyomya yang maknanya meng-upgrade-nya menjadi lebih halus melalui upacara mecaru," imbuh Mangku Aseman.
Untuk bhuta cuil diupacarakan dalam telompok upacara Pitra Yadnya, sedangkan untuk nyomya bhuta-bhutiupacaranya adalah Bhuta Yadnya. Jadi sudah jelas perbedaannya. Mangku Aseman melihat, munculnya bhuta cuil itu akibat adanya orang-orang yang meninggal kemudian tidak ada yang melakukan upacara kematiannya secara layak. Misalnya terdapat orang meninggal di laut, meninggal karena kecelakaan, atau orang yang meninggal tidak punya keluarga. Apabila jazad orang-orang seperti itu hanya dikubur begitu saja tanpa disertai upacara pengabenan dan memukur, maka rohnya akan gentayangan, sebab meskipun badan fisiknya sudah busuk dalam tanah tetapi badan halusnya (astral) masih utuh yang menjadikan sang roh terikat dengan badan tersebut dan ingin menjadikannya sarana untuk mencapai keinginan-keinginannya di muka bumi.
Memang dalam sastra agama Hindu dikatakan bahwa nasib roh orang yang meninggal tergantung karmanya semasa hidup. Hal tersebut memang benar, tetapi sebagai manusia yang memiliki berbagai kekurangan dan dosa selama hidup, maka para keluarga, kerabat, atau masyarakat perlu turut mendoakannya agar sang jiwa dapat menuju alam halus yang cemerlang. Hal ini perlu disadari mengingat selama hidup sangat jarang manusia itu berhasil mencapai derajat kehidupan yang suci sebagaimana para rsi dan muni agung yang mampu mengendalikan perjalanan rohnya setelah meninggal. Nah, apabila tidak ada pihak kerabat yang mengamenkan yang bersangkutan, maka dalam hal ini diperlukan kesadaran orang-orang yang masih hidup untuk mengabenkan bhuta cuil tersebut.
Upacara seperti itu misalnya pernah dilaksanakan pada 17 Februari 2014 di pantai Baluk Rening, Desa Baluk, Jembrana yang dilaksanakan atas prakarsa Dr. Luh Kartini dkk, beserta PHDI Kabupaten Jembrana. Menurut Mangku Aseman yang saat itu terlibat dalam upacara tersebut, upacara ini sebenarnya cukup rumit, sebab dalam pengabenan normal maka sudah jelas roh siapa yang diupacarai. Sementara itu dalam upacara ngaben bhuta cuil tidak jelas berapa jumlah roh yang diupacarai, karena tidak ada keluarga yang secara definitive mengupacarainya. Oleh karena itu pada kasus upacara di Baluk Rening tersebut digunakan satu adegan sawa (simbol jazad) sebagai badan material dari parabhuta cuil yang gentayangan di seluruh Bali dan sekitarnya.
Setelah prosesi pengabenan yang ditandai dengan pembakaran adegan sawa, lalu dilanjutkan nganyud ke segara (laut), kemudian dilakukan ngulapin untuk melanjutkan ke upacara nyekah. Pada saat acara ngulapin di pantai tersebutlah Mangku Aseman memohon kepada Bhtara Hyang Segara sebagai Dalem Purusa agar diperkenankan mengetahui roh-roh yang diupacarai saat itu. Disertai menghaturkan banten pakeling, mesegeh, dan napak karang, maka nampaklah dalam penglihatan astralnya sejumlah roh yang diupacarai saat itu. Mangku Aseman menghitungnya dan ternyata terdapat 56 roh, yaitu 8 roh diantaranya berasal dari luar Bali dan 1 roh berwujud turis bule.
Akhirnya menjadi jelas jumlah roh yang diupacarai saat itu, namun problem muncul lagi kemudian saat menjelang upacara ngelinggihang dewa pitara. Meskipun pengabenan bhuta cuil saat itu menggunakan sarana upakara sederhana dan Agni Hotra, tetapi ada lima sulinggih (pendeta) yang memimpin upacara saat itu, yaitu: Ida Pedanda Oka Sudanta dari Geriya Tibusambi, Yehembang Kangin, Ida Rsi Anom Palguna dari Geriya Batur Sari, Tegal Cangkring, Ida Sri Empu Pande Tigaron dari Mendoyo, Bhagawan Angga Jaya dari Penyaringan, dan Ida Pandita Mpu Nabe Bhaskara dari Baler Bale Agung. Saat menjelang puja ngelinggihang yang dipimpin para sulinggih dan diikuti para pemangku, Jro Mangku Aseman bertanya kepada para sulinggih untuk mengetahui kemana para dewa pitara ini kalinggihang agar tujuan doa bida sama. Ida Sulinggih mengatakan para jiwa yang sudah bersih ini akan dituntun secara spiritual ke Paramawisesa, namun Mangku Aseman matur (mengutarakan pendapat) kepada sulinggih, bahwa ia pernah mendengar informasi kalau roh orang-orang Hindu yang meninggal di India keantukang (dituntun kembali) ke sungai Gangga. Atas pendapat Mangku Aseman itu para sulinggih akhirnya sepakat untuk ngantukang dewa pitara ke segara, yaitu Dalem Segara Ning sebagai sthana Dalem Purusa (Hyang Siwa).
Sumber: Majalah Raditya Edisi 219
sumber : http://phdi.or.id/artikel/pengabenan-bhuta-cuil-upaya-mendamaikan-alam-astral

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net