Senin, 11 April 2016

Yajna untuk Memperkuat Sraddha


Dalam kehidupan beragama, keimanan kepada Tuhan yang mantap akan menjadikan seseorang bhakti terhadap yang diimaninya. Oleh sebab itu, baik sraddha maupun bhakti bukanlah sesuatu yang bisa dimiliki secara tiba-tiba, melainkan harus dilatih secara terus menerus, terutama melatih rasa. Olah intelek terutama di bidang pengetahuan ketuhanan sangat membantu memunculkan, menumbuhkan, dan meneguhkan sikap sraddha dan bhakti, tetapi itu saja belum cukup. Pengetahuan ketuhanan (tattwa) yang baik akan menghasilkan kualitas sraddha dan bhakti yang baik dan kuat bilamana diuji dalam pengalaman langsung, dan pengalaman hanya bisa diperoleh dengan cara mempraktikkan ajaran-ajaran tattwa (filsafat ketuhanan), sila (meneladani perilaku orang-orang suci dan arif bijaksana). Pada saat pengetahuan intelek bertemu atau mendapat pembuktian dalam medan pengalaman, ketika itulah seseorang mengalami kepuasan rohani atau kepuasan spiritual disebut atmanastuti.
Tingkah laku manusia termasuk perbuatan yang bersifat keagamaan dipengaruhi oleh tiga fungsi sebagaimana disebutkan oleh Jalaluddin dalam bukunya "Psikologi Agama" sebagai berikut: (1) Cipta (Reason), merupakan fungsi intelektual jiwa manusia. Ilmu kalam (Teologi) adalah cerminan adanya pengaruh fungsi intelek itu. Melalui cipta, orang dapat menilai, membandingkan, dan memutuskan sesuatu tindakan terhadap stimulant tertentu. Perasaan intelek ini dalam agama merupakan suatu kenyataan yang dapat dilihat, terlebih-lebih dalam agama modern, peranan dan fungsi reason ini sangat menentukan. (2) Rasa (Emotiori), suatu tenaga dalam jiwa manusia yang banyak berperan dalam membentuk motivasi dalam corak tingkah laku seseorang. Betapapun pentingnya fungsi reason, namun jika digunakan secara berlebihan akan menyebabkan ajaran agama itu menjadi dingin. (3) Karsa (Will), merupakan fungsi ekskutif dalam jiwa manusia. Will berfungsi mendorong timbulnya pelaksanaan doktrin serta ajaran agama beradasarkan fungsi kejiwaan.
Mungkin saja pengalaman agama seseorang bersifat intelek atau emosi, namun jika tidak ada peranan will maka agama itu belum tentu terwujud sesuai dengan kehendak reason maupun emotion. Masih diperlukan suatu tenaga pendorong agar ajaran agama itu agar menjadi suatu tindakan keagamaan.
Sraddha pertama-tama dapat dipelajari dengan intelek dengan memahami Brahmawidya atau teologi. Namun keimanan tersebut baru akan hidup setelah melibatkan rasa (emosi) keagamaan dalam diri, dan selanjutnya terimplementasi dalam tindakan sehari-hari(Karsa) sebagai suluh hidup.
Masalah Sraddha yang kurang mantap telah menimbulkan berbagai problema dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, karena keimanannya kurang kuat kepada Tuhan maka sering berbagai kesulitan kehidupan yang dialami disangka bersumber dari gangguan ilmu hitam (gangguan leak), terkena kutukan dewata (keduken Bhatara Hyang Guru), terkena gangguan gamang-tonyo, dan sebagainya. Akibat pemahaman dan keimanan yang bermasalah tersebut akhirnya tidak jarang sebuah keluarga semakin tidak harmonis, saling tuduh dan curiga karena dianggap biang peneror ilmu hitam.
Dalam situasi demikian, Sraddha dan Bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi semakin menipis, dan karena kebingungan (orang yang tanpa keyakinan kuat mudah bingung, goyah, dan dibujuk rayu, serta dihasut), orang-orang yang bernasib malang ini akan lari dari satu balian ke balian lainnya untuk meminta pertolongan atas nasib buruk yang menimpanya, tetapi bilamana belum bertemu orang yang arif bijaksana dalam menangani masalah-masalah seperti ini, maka bukan solusi yang akan didapat melainkan akan terjadi komplikasi masalah.
Dengan demikian, pembicaraan kembali pada awal, dimana dalam menjalankan kehidupan meniti kesucian diperlukan pergaulan dengan orang-orang suci atau dengan orang-orang arif bijaksana yang dapat memberikan pertimbangan yang bersifat Satwika, yaitu berdasarkan ajaran agama, nasihat yang menyejukkan dan menenteramkan, dan member motivasi positif. Pergaulan yang salah juga dapat merusak kualitas Sraddha-Bhakti seseorang. Misalnya bilamana seseorang terpengaruh oleh perkataan ahlu supernatural yang mengatakan ada tonyomenghuni rumahnya dan harus dibuatkan pelinggih baru, atau ada naga besar di bawah rumahnya yang harus ditebus dengan upacara pecaruan kebo, dan seterusnya.
Masukan-masukan yang bersifat Rajasik maupun Tamasik dari orang-orang tertentu bersifat menghasut, meneror dan menakut-nakuti atas nama dewa atau makhluk tertentu, tidak memberikan motivasi religius, menyarankan pengorbanan materi, dan sebagainya. Untuk dapat inspirasi bagaimana meneguhkan Sraddha dan Bhakti agar diri tidak mudah goyah, sebaiknya bisa diikuti kisah dalam Bhaga-vata Vahini sebagai berikut.
Diceritakan setelah usainya perang Bharatayudha, Maharaja Yudhisthira merasakan penyesalan yang sangat mendalam mengingat dosa-dosa yang telah diperbuatnya selama perang, yaitu membunuh saudara-saudara sepupunya, membunuh kakek Bhisma, Guru Drona, juga para raja-raja, dan ribuan pasukan.
"Saya merasa bahwa saya harus melakukan suatu penebusan untuk itu, jika tidak dilakukan penebusan maka tidak akan ada kebahagiaan pada diri saya, juga pada dinasti saya maupun rakyat saya, karena itu saya mohon nasihat Anda sekalian mengenai hal ini, karena di antara Anda yang hadir disini banyak yang telah mengetahui kenyataan diri sejati dan mencapai brahmajnana," ucap Yudhisthira pada sebuah siding kerajaan yang di antara dihadiri Rsi Wyasa, Sri Krisna, para rsi, pejabat, dan tentunya keluarga Pandawa.
Sri Krisna berkata, "Yudhisthira, Anda tersohor sebagai Dharmaraja, seharusnya Anda memahami dharma. Anda mengetahui seluk-beluk tentang dharma dan moralitas, tentang keadilan, tentang perbuatan yang benar dan salah. Karena itu saya heran mengapa Anda merasa sedih atas peperangan dan kemenangan ini. Merupakan dharma ksatryalah untuk mengangkat senjata dan berjuang sampai saat terakhir tanpa memikirkan dirinya sendiri untuk menyelamatkan negaranya. Anda hanya mengikuti dharma Anda. Bagaimana mungkin karma 'kegiatan' yang mengikuti dharma bisa berdosa?"
Kemudian Rsi Wyasa menambahkan, "Perbuatan yang berdosa dan tercela tidak dapat dielekkan dalam medan perang. Hal ini jangan menyebabkan rasa sedih. Tujuan utama perang adalah melindungi dharma dari musuh-musuhnya. Jika hal itu selalu diingat, maka dosa tidak akan mempengaruhi para pejuang. Dharmaraja, Anda berbicara dalam pengaruh maya. Saya dapat mengerti jika orang lain yang kurang arif memiliki keraguan seperti ini, tetapi saya heran kenapa Anda bisa mengkhawatirkan dosa khayalan ini? Meskipun demikian, jika perkataan saya ini kurang meyakinkan, saya dapat menyarankan suatu jalan keluar. Cara itu akan menghapuskan segala kekhawatiran dan ketakutan. Beberapa raja zaman dahulu melakukannya setelah peperangan untuk menghapuskan dosa-dosa akibat peperangan. Upacara itu adalah asvamedha. Jika Anda ingin, Anda juga dapat melakukan ritus itu, tetapi percayalah kepada saya, tanpa ritus itu pun Anda bebas dari dosa. Karena iman Anda goyah, saya menyarankan upacara ini demi kepuasan Anda."
Selanjutnya Sri Krisna berkata, "Saya tahu Anda tidak memiliki biaya untuk kegiatan yang sangat mahal ini. Para raja hanya memperoleh uang dari rakyatnya. Tidaklah terpuji jika uang yang dipungut dari mereka dihabiskan untuk yajna. Hanya uang yang diperoleh dengan baik dapat digunakan untuk upacara suci semacam itu, jika tidak, usaha semacam itu bukannya akan membawa kebaikan tetapi akan mendatangkan kemalangan. Para raja bawahan pun tidak dapat menolong Anda karena mereka juga ikut melarat usai peperangan besar ini. Setelah mengetahui semua ini, bagaimana mungkin Anda dapat menyetujui penyelenggaraan Asvamedha yajna tiga kali berturut-turut? Selain itu, upacara ini juga tidak boleh dilakukan sembarangan, karena Anda adalah raja besar maka yajna itu pun harus dilakukan dalam ukuran yang pantas."
Krishna memberitahu sebuah jalan keluar untuk yajna sebesar itu, bahwa di zaman dahulu seorang maharaja bernama Marut menyelenggarakan yaga sedemikian rupa sehigga sapai sekarang pun tidak ada yang mampu menyamainya. Balairung tempat yaga itu dilangsungkan dan setiap benda yang ada hubungannya dengan tersebut dibuat dari emas. Batu bata dari emas dibagikan kepada para pendeta yang memimpin upacara. Demikian juga bukannya sapi yang dibagikan, tetapi sapi yang terbuat dari emas. Para Brahmin tidak sanggup membawa semua hadiah tersebut dan membuangnya di jalanan. Potongan-potongan tersebut dalam jumlah yang banyak tertimbun dalam tanah dan Yudhisthira diberitahukan untuk mengambilnya, karena benda yang sudah dibuang secara sadar oleh pemiliknya. Selain itu segala sesuatu yang terdapat di dalam bumi adalah milik kerajaan sehingga sah digunakan sebagai sarana upacara. Dengan izin Sri Krishna, asvamedha yajna Maharaja Yudhisthira pun akhirnya sukses diselenggarakan dengan pelaksanaan yang satwika.
Berdasarkan cerita dalam Bhagavata Vahini tersebut di atas maka dapat dipetik beberapa pelajaran, yaitu: (a) Orang yang sraddha-nya (imannya) goyah maka ia memerlukan upacara yajna untuk meneguhkan kembali keyakinannya, (b) Dengan pelaksanaan yang tepat, menyangkut bahan-bahan upacara, tata cara pelaksanaan, dan pemimpin upacaranya, maka upacara yajna tertentu dapat menebus dosa. (c) Sraddha-bhakti yang kuat kepada Tuhan akan memberikan jalan kemudahan bagi seseorang di dalam melangsungkan sebuah upacara yajna, demikian juga kemudahan dalam menjalani kehidupan sehari-hari (karena beriman kepada Tuhan, Yudhisthira dapat menyelenggarakan asvamedha yajna yang besar setelah diberi solusi oleh Sri Krishna, yaitu perwujudan Tuhan di muka bumi).
Source: Karuna Putra l Majalah Raditya Edisi 220 l 2015
sumber : http://phdi.or.id/artikel/yajna-untuk-memperkuat-sraddha

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net