Senin, 11 Juli 2016

KONSEP WAIRAGYA UNTUK PEMBERANTASAN KORUPSI

I Nyoman Tika

Dalam persefektif Hindu, korupsi adalah kondisi yang terbangun karena melawan hukum kerja (rta), di mana koruptor ingin mendapatkan sesuatu bukan dari hasil bekerja keras, sehingga merugikan negara. Pada zaman Kali, dalam konsepsi Hindu orang jahat jumlahnya 3 : 1. Artinya kalau ada 4 orang, maka ada tiga orang jahatnya dan hanya satu yang baik. Oleh karena itu, tak pelak korupsi sudah kian menggurita, dan beritanya telah menjadi konsumsi publik setiap hari. Berita korupsi sungguh bersifat masif. 

Korupsi berawal dari hal-hal kecil, yang dibiarkan tumbuh subur bak akar kanker, setelah besar menghancurkan sel induknya. Yunani adalah sebuah bukti untuk menjelaskan hal itu. Sumber krisis Yunani adalah “fakelaki” artinya amplop kecil, mirip dengan uang sogok, pelicin untuk memperlancar usaha. Memberikan amplop-amplop kecil berisi uang saat mengajukan permohonan di kantor imigrasi, atau pasien-pasien operasi dapat tenang masuk ke dalam ruangan operasi, atau kepada para pejabat pemerintah akan menjamin proses otorisasi, sertifikasi atau izin mendirikan bangunan. Di Indonesia korupsi menebar lewat amplop yang kerap diidentikkan dengan aneka serangan fajar.

Inilah pola korupsi yang menyebabkan pejabat akan mengeruk uang untuk mengejar kembali modal. Artinya pilkada secara langsung sejujurnya menebarkan benih-benih korupsi. Permasalahan yang muncul saat ini tentang korupsi adalah: (1) kasus korupsi terus merebak secara luas mulai skala kecil, sampai megakorupsi, sekaliber Hambalang dan Century, namun publik terus menunggu penyelesaian, entah sampai kapan; (2) publik semakin melek terhadap kasus korupsi, karena pemberitaan media yang demikian gencar, korupsi bercampur–aduk dalam spektrum politik dan hukum, publik kerap menjadi bingung akibat lambatnya kinerja aparat penegak hukum; (3) Hukuman yang ditimpakan pada koruptor relatif ringan, sehingga publik cenderung apatis terhadap upaya pemerintah memberantas korupsi; (4) banyak kasus korupsi tanpa penyelesaian yang jelas, terkatung-katung dan senyap dihamparan kompleksitas masalah yang ada.

Saat banyak kasus-asus korupsi menyeret para pengampu kebijakan negara, dan penegak hukum sangat lambat bekerja karena saratnya kepentingan, maka berlaku dalil-dalil yang dikemukakan oleh Frank (1974), dalam Dependce Is dead, Long Live Dependce, and the Clasess Struggle: Answer and Critics. Pertama, kasus korupsi yang semakin menggurita karena budaya pendukungnya memungkinkan untuk itu. Untuk kasus Indonesia, penjajahan yang panjang membuat masyarakatnya mengalami sindrom imperior terhadap kemiskinan, sehingga memunculkan paham dendam kemiskinan. Masyarakat ingin secara instan lepas dari kubangan kemiskinan, sehigga dalil korupsi karena adanya niat, kesempatan dan kekuasaan, sulit dielakkan.

Di bingkai itu dalil pertama Frank adalah, perubahan mindsett masyarakat bersifat asli atau tradisional, artinya biasa dialami oleh semua negara. Negara-negara yang saat ini modern, dan mampu berdiri mengatasi bencana korupsi, juga memiliki tekad kuat untuk mengatasinya, apabila kekokohan tiang penyangga hukum roboh. Di demensi itu, menguatkan anggapan bahwa kultur budaya kita (Indonesia) tidak bisa dilepaskan bahwa orang yang berpangkat kemaruk menimbun kekayaan, sudah dari zaman dulu ada. Hal ini sudah digambarkan dalam buku History of Java karya Thomas Stanford Raffles (Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-1816), terbit pertama tahun 1816. Raja dan lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-sumber ekonomi di masyarakat. Rakyat umumnya “dibiarkan” miskin, tertindas, tunduk dan harus menuruti apa kata, kemauan atau kehendak “penguasa”. Inilah gambaran mengapa korupsi seakan sulit diberantas di negara ini.

Dalil kedua Frank adalah pandangan dualisme masyarakat. Di satu pihak modern, kapitalis dan maju, sedangkan di lain pihak terisolasi, feodal atau prakapitalis dan terbelakang. Keterbelakangan dan kemiskinan serta kepincangan yang terjadi di negeri ini, bukan karena proses historis semata, namun salah satunya disebabkan korupsi yang merajalela. Kondisi ini melahirkan ketimpangan yang lebar antara yang kaya dengan yang miskin.

Di bingkai itu, merebakknya perilaku korupsi, disebabkan oleh beberapa hal, antara lain. Pertama, koruptor tidak pernah merasa bersalah. Karena sanksi yang dijatuhkan terhadap kasus korupsi sangat ringan. Kedua, koruptor tidak merasa bersalah karena korban mereka umumnya tidak berwajah. Maksudnya tidak berwajah di sini adalah para korban koruptor adalah rakyat kecil yang terkadang tidak jelas keberadaannya, namun walaupun begitu, tetap saja mereka terkena dampak dari perilaku si koruptor tersebut. Ketiga, karena ada sebagian harta hasil korupsi tersebut yang digunakan untuk kegiatan positif. Para koruptor umumnya menggunakan harta hasil korupsi untuk beramal ataupun melakukan hal positif lainnya. Dengan begitu para koruptor merasa bahwa dosa mereka telah terhapuskan atas hal baik yang telah mereka lakukan.

Solusi yang bisa ditawarkan adalah. Pertama, pemerintah pusat harus memberikan apresiasi yang baik pada kinerja pimpinan daerah, yang mampu berprilaku bersih dari korupsi. Pengawasan pemerintah pusat dan masyarakat luas terhadap korupsi terus ditingkatkan. Hal ini disebabkan tindakan korupsi itu adalah perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Oleh karena itu, pemimpin seperti itu tidak patut dipilih lagi.

Solusi kedua adalah, dengan melakukan pembenahan secara agresif pada dua lembaga publik di Indonesia, yakni partai politik dan sistem hukum. Dua lembaga publik tersebut harus dipaksa untuk mengikuti kaidah etik mereka sebagai pelayan rakyat untuk mencapai keadilan dan kemakmuran bersama. Dalam hal ini rakyat harus berani mengorganisir diri, dan memaksakan agenda tersebut ke berbagai partai politik maupun sistem hukum yang ada, mulai dari polisi, kejaksaan, pengadilan, sampai dengan Mahkamah Agung. Maka partisipasi politik yang konsisten amat diperlukan.

Solusi ketiga, pada level yang lebih individual, yaitu perlu mengenali dan mengakui sisi-sisi gelap yang ada dalam diri setiap manusia. Setidaknya ada lima sisi gelap manusia, yakni hasrat berkuasa yang bercokol di dalam dirinya, nafsu untuk meraup kenikmatan, sisi hewani yang tak tertata, kemalasan dan ketidakberpikiran manusia, dan kekosongan jiwa manusia. Inilah titik strategis untuk mengawali pemberantasan korupsi mulai dari diri sendiri. Terakhir, kita harus memperkuat srada dan bakti kepada Hyang Widi, dan membangkitkan keyakinan bahwa mendapatkan harta dengan jalan salah akan berakibat pada vibrasi buruk yang melingkupi mereka yang menikmati harta yang diterima karena korupsi.

Krishan dalam gita menyiratkan bahwa setelah manusia mengetahui cacat dan kelemahan pada benda-benda duniawi, maka dia tidak lagi ingin memiliki benda-benda itu. Krishna menegaskan, “Jika engkau ingin mencapai Tuhan dan mendapat penampakan-Nya, sifat paling penting yang harus kau kembangkan adalah wairagya 'ketidakterikatan' atau pengunduran diri dari keduniawian. Ketidakterikatan memberi engkau kemampuan untuk mengarahkan pandanganmu ke dalam batin. Arjuna, jika engkau melaksanakan ketidakterikatan, engkau pasti mampu mengendalikan pikiranmu,” kata Krishna dengan penuh rahmat. Om nama Siwaya"

(Penulis, Sekretaris Magister Pendidikan IPA, Undiksha, Alumnus Doktor ITB).


sumber : http://majalahhinduraditya.blogspot.co.id/2013/03/konsep-wairagya-untuk-pemberantasan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net