Rabu, 27 Juli 2016

MODERNITAS DAN AGAMA

Ida Pandita Mpu Acharyananda

Patut diakui bahwa rekayasa iptek telah mengantarkan manusia pada sebuah revolusi besar dalam kehidupannya. Pergeseran-pergeseran sikap hidup dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan zaman terjadi di berbagai sendi kehidupan. Banyak hal positif yang dapat dinikmati dari hal modernisasi ini, namun di sisi lain banyak pula dampak negatifnya, salah satunya adalah sikap modernomaniak yakni kegila-gilaan untuk mengadakan modernisasi. Institusi pendidikan telah berhasil dan sukses mencetak orang terpelajar yang pintar namun sebagian kecil yang terdidik. Hal ini dibuktikan dari penyelewengan yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk korupsi yang dilakukan secara beramai-ramai oleh orang-orang yang memiliki katagori pemimpin dan terpelajar. 
Realita ini tentu sulit dipahami oleh orang awam, bagaimana mungkin orang yang terpelajar (pintar) dapat terseret menjadi manusia yang tersesat (keblinger). Jika demikian, adakah kepandaian atau pendidikan itu berfungsi untuk membimbing kehidupan, sehingga manusia terpelajar itu tidak tersesat jalan? Jika tersesat, berarti pendidikan itu belum menjadi bagian dari kebudayaan yang seyogyanya memiliki peran fungsional bagi kelangsungan hidup manusia. Atau bahkan diposisikan sebagai rival dari agama karena pendidikan dianggap telah menjerumuskan manusia, sehingga tidak lagi menjadi manusiawi alias menjadi robot.

Jika iptek sebagai embrio lahirnya modernitas tak memberikan keterangan tentang arti dan makna kehidupan, yang merupakan salah satu dimensi dari misteri hakikat kehidupan manusia, lantas institusi apa yang dapat menjelaskannya? Agama di kedepankan sebagai institusi yang dapat menguak rahasia terdalam dan sarat misteri dari kehidupan umat manusia itu. Kendati, agama yang dimaksudkan bukan pada kelembagaannya, tetapi lebih pada dimensi spiritualitas keberagamaan. Selain agama yang yang berdimensi spiritual menunjuk pada aspek kesenian dan kesusasteraan, karena dapat dipandang memberikan sentuhan pada kehalusan budi dan prilaku manusia sekaligus memberi nuansa metafisik bagi kehidupan manusia sebagai suatu yang tidak dapat diberikan oleh iptek.

Menurut sejarah perkembangan dunia secara umum hubungan antara iptek yang melahirkan modernitas dengan agama sering mengalami pasang surut (khusus bagi agama rumpun Yahudi). Padahal penganut agama tersebut dengan fanatiknya mengatakan bahwa apa yang tersurat dan tersirat dalam kitab sucinya merupakan wahyu Tuhan, bukan rekayasa manusia dan bersifat absolut. Sehingga apa yang menjadi produk iptek selalu ditanggapi negatif. Sejarah menyatakan saat ilmu pengetahuan menyatakan dunia ini bulat, ternyata terjadi kepanikan yang luar biasa bagi kaum agamawan, mengingat kitab suci agama rumpun Yahudi menyatakan dunia ini datar seperti piring. Padahal kenyataanya bumi ini bundar. Kitab suci mengatakan bumi adalah pusat alam (geosentris), langit dan bintang hiasan bumi, bumi statis mataharilah yang bergerak mengelilingi bumi. Sedangkan ilmu pengetahuan menyatakan sebaliknya. Apa akibatnya bagi pelopor di bidang ilmu pengetahuan seperti Galileo-Galilei yang membuat analisisnya bertolak belakang dengan kitab suci tersebut. Dan masih banyak fakta serta pendapat yang bertolak belakang antara ilmu pengetahuan dan agama (khusus bagi rumpun agama Yahudi).

Berdasarkan kenyataan-kenyataan di atas seolah-olah ada sesuatu yang membatasi antara agama dan ilmu pengetahuan, bahkan ada jurang pemisah yang begitu dalam. Bahkan terjadi justifikasi terhadap tokoh-tokoh ilmu pengetahuan oleh agamawan dengan legitimasi Extra Ecclesia Nulla Salus, di luar Gereja dan jama’ah Kristiani tidak ada keselamatan. Agama berpijak pada kebenaran wahyu yang berasal dari Tuhan yang bersifat statis/langgeng, ilmu pengetahuan berdasarkan atas akal manusia atau sebagai hasil penelitian empiris yang bersifat dinamis. Karena sifatnya berbeda, sehingga sering terjadi dialektika bahkan konflik sekalipun.

Lantas bagaimana dengan Hindu, adanya mahawakya “Satyam-Jnanam-Anantam-Anandam Brahman,” artinya Tuhan Yang Maha Esa adalah; Kebenaran, Ilmu Pengetahuan, Kebahagiaan, dan Tidak Terbatas. Lebih lanjut adanya figur Dewi Saraswati sebagai Dewi Ilmu Pengetahuan adalah saktinya Dewa Brahma, Dewa Pencipta memberikan makna kepada kita bahwa; ilmu pengetahuan adalah syarat utama bagi suatu penciptaan. Tanpa ilmu pengetahuan tidak akan ada sesuatu apapun. Tanpa Saraswati, Brahma tak akan dapat berbuat apa-apa. Bahkan dalam Candogya Upanisad lebih rinci diuraikan; tanpa ilmu pengetahuan tak akan ada penciptaan, tanpa penciptaan tidak akan ada kemajuan, tanpa kemajuan tidak akan ada kebahagiaan.

Setiap kerja memerlukan olah pikir (ide), lebih-lebih dalam melakukan perbuatan yang baik atau sesuatu yang agung, maka peranan ilmu pengetahuan atau sakti yang merupakan kekuatan tidak boleh diabaikan. Sebab kemakmuran dan kebahagiaan dalam bidang material dan spiritual tak akan terwujud jika ilmu pengetahuan diabaikan. Tanpa ilmu orang disebut Awidya. Orang yang awidya adalah orang yang hidupnya sia-sia. Hindu mengajarkan umatnya untuk tidak menjadi orang yang sia-sia dalam hidup ini. Melalui ilmu pengetahuanlah hidup ini diproses untuk dapat memberi makna dan arti. Bahkan dalam sistem untuk mempercepat kebahagiaan spiritual /moksa, modernitas merupakan bagian tak terpisahkan dalam mempercepat tujuan tertinggi tersebut. Dengan demikian modernitas produk dari iptek merupakan subsistem dalam evolusi kosmik dalam merealisasikan tujuan hidup yang tertinggi. Akan hal tersebut Taitteriya Upanisad menyatakan bahwa ada 5(lima) tahapan dalam tangga kosmik yang disebut dengan Panca Maya Kosha yang tersusun secara bertingkat:

1. Anna Maya Kosa (anorganik/fisikis)
2. Prana Maya Kosa (biologis)
3. Mana Maya Kosa (psikis)
4. Wijnana Maya Kosa (logika mental/intelektual)
5. Ananda Maya Kosa (kebahagiaan spiritual).
6.
Berdasarkan tangga kosmik di atas modernitas adalah produk dari Wijnana Maya Kosa atau logika mental yang membawa pada situasi yang mengglobal. Dalam penziarahan hidup manusia dalam konsep Hindu semua tangga kosmik tersebut wajib dilalui dan dituntaskan untuk mencapai tujuan yang sesungguhnya. Dengan demikian modernitas bukanlah suatu tujuan. Kapan modernitas itu dianggap sebagai suatu tujuan, maka tidak akan membawa peningkatan terhadap peradaban manusia. Tetapi justru sebaliknya menyebabkan manusia mabuk. Orang mabuk adalah orang yang tidak ingat apa-apa. Untuk tidak menjadi mabuk akibat pengaruh modernitas, ada baiknya didengarkan nasihat Deva Siva kepada Arjuna sebelum ia meninggalkan Gunung Indrakila setelah mendapatkan anugrah senjata Pasupati analog Iptek dengan Cadu Sakti analog modernitas. Di mana Arjuna dinasihati agar jangan sampai mabuk akibat anugrah dari Dewa Siwa tersebut. Hal ini disuratkan oleh Mpu Kanwa dalam kakawin Arjuna Wiwaha XXXV.7 sebagai berikut.

“Perluaslah cakrawala pikirannmu, jangan sampai ananda berganti haluan ketika telah mendapat anugrah itu. Hendaklah pikiran ananda tetap ajeg seperti saat bertapa dahulu, tidak lupa akan puja samadhi, sebagai halnya pendeta besar walaupun telah mencapai astaguna namun beliau tetap rendah hati dalam kederhanaan hidup. Jika nafsu yang memabukkan itu selalu diumbar akibatnya ananda akan jatuh ke derajat orang bodoh, dan karenanya harus dimulai dari permulaan. “

Dengan demikian modernitas belumlah cukup menjadikan dunia ini sebagai sorga di mana manusia dapat hidup bebas, aman, penuh cinta kasih dan persaudaraan. Maka kewajiban berikutnya adalah menuntaskan evolusi kosmik sampai pada tingkat ananda atau dalam kakawin di atas disebut dengan samadhi, yang memiliki tujuan kebahagiaan spiritual. Adanya kesadaran untuk menuntaskan evolusi kosmik tersebut, maka modernitas takkan mengakibatkan terjadinya penghancuran diri (self destruction), justru sebaliknya yakni pengisian diri (selft fullfilmen). Proses pengisian diri adalah cara hidup dalam Hindu disebut dengan Samskriti atau dapat disamakan dengan kebudayaan. Manusia yang berbudaya adalah manusia yang mengalami proses penghalusan sehingga ia memiliki makna hidup yang sejati, transformasi diri di mana orang lebih merasa menjadi manusiawi.

Modernitas adalah sebuah ontologis yang harus dibudayakan sebagai sebuah epistimologi untuk mencapai kemahardikaan diri sebagai aksiologinya yang merupakan goal yang harus dicapai. Ketiga hal tersebut akan bersinergi apabila modernitas sebagai produk iptek, budaya sebagai cara hidup dan agama sebagai pelindung hidup (The Sacred Canopy) memiliki dimensi fungsional dan dimensi pemerdekaan diri.



sumber : http://majalahhinduraditya.blogspot.co.id/2012/07/modernitas-dan-agama.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net