Minggu, 09 Desember 2018

Menelusuri Jejak Guru Padmasambhava

“Ayahku adalah kesadaran hakiki, Samantabhadra. Ibuku adalah bagian inti dari kenyataan, Samantabhadri. Aku milik kasta non-dualitas dari kawasan kesadaran.
Namaku adalah Yang Mulia Terlahir dari Teratai, Padmasambhava.
Aku berasal Dharmadatu yang tak terlahirkan. Aku memakan konsep dualitas pikiran. Aku bertindak sesuai jalan Para Buddha dari tiga masa.”
~ Padmasambhava.
Dikenal sebagai Guru Rinpoche (guru berharga), yang dianggap sebagai Buddha kedua terutama dalam aliran Nyingma, mahzab buddhis tertua di Tibet. Namanya yang secara harafiah berarti “lahir dari teratai”.
Padmasambhava adalah tokoh yang sangat berpengaruh dalam agama Buddha di Tibet. Pada abad ke-8, Raja Trisong Detsen yang menginginkan Buddhadharma berkembang di Tibet dengan cara mengundang Mahabiksu Shantarakshita dari India, yang kemudian mendirikan Vihara Vajrayana pertama di Tibet, Samye, dan mentransmisikan silsilah vinaya kepada para biksu.
Namun gangguan dari makhluk halus dan dewa lokal Tibet ternyata sangat berpengaruh. Samye yang tengah didirikan dihancurkan oleh kekuatan tak kasat mata itu berkali-kali. Ini menghambat pembabaran Dharma di Tibet.
Shantaraksita lalu mengusulkan untuk mengundang seorang Maha Acharya yang berasal dari Oddiyana untuk menyelesaikan permasalahan ini, Padamasambhava. Kedatangan Guru Rinpoche yang memang sangat sakti dan penuh keajaiban mampu membuat para makhluk niskala di Tibet bertekuk lutut. Banyak dari mereka lalu disumpah oleh Guru Rinpoche menjadi Dharmapala, pelindung ajaran Dharma.
Padmasambhava secara luas dihormati di Tibet, Nepal, dan Bhutan hingga saat ini. Ia dianggap sebagai perwujudan Buddha Amitabha, dan dalam narasi versi mistik dipercaya lahir dari teratai dalam wujud bocah berusia 8 tahun di Danau Dhanakosha, di Kerajaan Oddiyana, yang diperkirakan ada di kawasan yang saat ini menjadi wilayah Pakistan.
Pasangan spiritual
Sebelum masuk ke Tibet, ia sudah memiliki berbagai kisah mistik yang melegenda. Salah satunya adalah kisahnya bersama salah satu pasangan spiritualnya, Mandarava. Di Rewalsar, Himachal Pradesh, India, Padmasambhava diam-diam mengajarkan ajaran tantra kepada Putri Mandarava, seorang putri raja lokal.
Kerajaan di Rawalsar itu disebut Kerajaan Zahor dan nama sang raja adalah Indra Viharadhara atau Tsuk Lak Dzin dalam literatur Tibet. Dia menginginkan seorang anak laki-laki sebagai pewaris takhta. Tapi ketika permaisuri melahirkan seorang anak perempuan, ada banyak tanda ajaib, seperti hujan bunga dan musik langit yang didengar oleh semua orang di kerajaan, tetapi raja merasa tidak puas.
Sang putri tumbuh dengan sangat cepat dan pada usia tiga belas tahun, dia sudah menjadi seorang wanita yang cukup dewasa dan memesona. Banyak raja dan pangeran dari kerajaan di sekitarnya membuat lamaran perkawinan. Namun sang raja berpikir, bahwa karena Mandarava adalah anak tunggalnya, akan berbahaya jika putrinya menikahi seorang pangeran dan menjadikan yang lain sebagai musuh.
Mengikuti nasihat dari menteri-menterinya, dia bertanya pada sang putri siapa pangeran yang ingin dia nikahi. Dia ketakutan dan memohon belas kasih pada ayahnya, karena satu-satunya yang dia inginkan sebenarnya adalah menjadi seorang biarawati.
Ayahnya menolak dan berargumen bahwa tidak ada kemungkinan bagi seorang praktisi wanita untuk memiliki realisasi dalam satu masa kehidupan, sehingga putri semata wayangnya itu harus menemukan pasangan yang sesuai.
Sang putri memutuskan untuk melarikan diri dari istana karena putus asa. Ia sengaja melukai wajahnya hingga membekas, memotong rambutnya, dan mengenakan pakaian compang-camping. Lantas orangtuanya mengirim pasukan untuk mencari dan menemukannya. Namun begitu, raja dan permaisuri lalu memutuskan untuk mengabulkan keinginan Mandarava menjadi seorang biarawati. Begitu juga lima ratus orang pelayan kerajaan yang mengikuti jejas sang putri ditahbiskan sebagai biarawati.
Mata batin
Sementara itu, guru besar Uddiyana, Padmasambhava, telah melihat lewat mata batinnya bahwa bahwa ada sosok yang sesuai untuk menerima ajarannya, yakni Mandarava. Ia kemudian memutuskan untuk menemui biarawati tersebut. Saat pertama kali Mandarava dan lima ratus biarawati melihat sang guru, mereka memberikan penghormatan dan hadiah kepadanya. Sang putri pun lantas meminta ajaran, karena menyadari bahwa Padmasambhava adalah guru akarnya.
Di bawah bimbingan sang guru, Mandarava mulai berlatih siang dan malam dalam jalan mantrayana. Sang purti mendapat ajaran tantra luar dari Kriya, Charya, dan Yoga, serta tantra ‘Ayah’, tantra ‘Ibu’, dan tantra non dualistik hingga mencapai realisasi.
Sayangnya, seorang penggembala sapi melihat keseluruhan kejadian, dan menduga bahwa mereka berdua adalah sepasang kekasih. Ia lalu menyebarkan berita tak sedap yang sampai ke kerajaan. Raja yang akhirnya mendengar kabar burung ini lantas murka, karena anaknya yang memutuskan selibat justru memadu kasih dengan lelaki jelata. Ia lalu membawa pasukan dan menemui putrinya. Mereka menangkap Mandarava dan memenjarakannya. Sedangkan Padmasambhava yang bersamanya diputuskan untuk dibakar hidup-hidup.
Dibakar
Raja menyuruh para pelayannya menyiapkan sejumlah besar kayu dan minyak, dan menempatkan Guru Padmasambhava di tempat pembakaran di Rewalsar, dan membakarnya. Api menyala selama satu minggu penuh dan konon asap hitam menutupi langit. Setelah melihat asapnya tidak pudar, mereka menyadari ada yang tidak beres, dan raja pergi ke sana untuk melihat apa yang terjadi.
Mereka melihat Guru Rinpoche, duduk santai dalam posisi meditasi. Ia berada di dalam teratai raksasa yang mengambang di tengah danau, yang dulunya tempat pembakaran. Ia dikelilingi cahaya pelangi dan ratusan dakini menyanyikan pujian kepadanya. Karena dia sudah menyatu dengan sifat hakiki keberadaan, unsur api tidak bisa membakarnya dan justru mewujud menjadi sebuah danau yang indah, dengan cincin api yang masih menyala di sekitarnya.
Raja dan semua yang hadir tiba-tiba memiliki keyakinan yang sangat kuat pada Padmasambhava sebagai orang yang tercerahkan. Raja lantas bertobat atas tindakan buruk mereka terhadap makhluk suci itu. Raja menawarkan jubah dan perhiasan kerajaannya dan bersujud kepada sang guru.
Raja membawa Padmasambhava ke istana dan mendudukkannya di atas takhta kerajaan, memberinya pakaian raja, dan membebaskan putrinya, Mandarava, yang telah ditahan selama seminggu. Namun sang putri menolak untuk pergi, dan mengatakan bahwa dia tidak memiliki keinginan untuk meninggalkan penjara. Namun setelah, raja, permaisuri, dan para menteri meminta pengampunan Mandarava dan memintanya untuk kembali ke istana, akhirnya dia menerimanya.
Raja menawarkan seluruh kerajaannya dan semua kekayaan kepada Guru Padmasambhava yang memintanya untuk tinggal di Zahor dan mengajar, memberi manfaat bagi semua makhluk di sana. Raja pun mempersembahkan putrinya untuk menjadi pasangan Padmasambhava. Dikatakan bahwa sang guru pun tinggal di sana selama tiga tahun.
Danau teratai
Kawasan danau bekas tempat pembakaran di Rewalsar itu kini dikenal sebagai Tso Pema dalam bahasa Tibet, yang berarti “danau teratai.” Danau itu sendiri disucikan dan dianggap sebagai objek pemujaan, sama seperti stupa. Oleh karena itu di sana bisa dilihat banyak orang berjalan searah jarum jam mengelilingi danau tiap harinya, melakukan namaskara di sekitarnya atau melakukan praktik spiritual lainnya.
Tak hanya suci bagi umat Buddha, danau ini juga merupakan kawasan suci bagi umat hindu dan penganut Sikh. Terdapat beberapa kuil Hindu di sekitar danau, dan terdapat sebuah gurudwara –tempat ibadah umat Sikh—yang cukup luas bangunannya. Di kawasaan danau sendiri terdapat beberapa vihara Tibetan dari aliran Nyingma, Drikung Kagyu, dan Drukpa Kagyu, yang memiliki patung Guru Rinpoche setinggi 33,5 meter yang terlihat sangat mencolok.
Di perbukitan sisi barat danau, terdapat Gua Rahasia Guru Rinpoche dan Gua Mandarava. Ini berada di kawasan biara perempuan yang bisa dicapai sekitar satu setengah jam berjalan kaki dari danau.
Tak kalah menarik adalah adanya jejak tapak kaki Guru Rinpoche di dinding bebatuan. Ini adalah salah satu dari beberapa jejak kaki di batu kokoh di beberapa negara di kawasan Himalaya yang dipercaya merupakan bekas tapak kaki Padmasambhava.
Berbagai pesona yang dijumpai di tempat tersebut membuat penulis sendiri memiliki devosi khusus terhadap Guru Rinpoche. Di kawasan Tso Pema inilah berulang kali dari mulut penulis terucap mantra Padmasambhava dengan penuh haruOm Ah Hung Vajra Guru Padma Siddhi Hung!

*Penulis, seorang jurnalis di Jogja. Dapat dijumpai di facebook, @deniclassic 
sumber : http://buddhazine.com/menelusuri-jejak-guru-padmasambhava/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net