Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, Minggu 13 Agustus 2006
Judul Buku | : | Sama-sama Gila! |
Penulis | : | Anand Krishna |
Penerbit | : | PT Gramedia Pustaka Utama |
Cetakan | : | I, Juli, 2006 |
Tebal | : | xvi + 166 halaman |
Harga | : | Rp 30.000 |
"Jangan mau tampak baik oleh dunia, orang lain dan terutama dirimu sendiri" - Anonim
Buku ini memuat 180 anekdot pendek. Bisa kita pakai sebagai cermin untuk melihat kegoblokan diri kita sebagai manusia. Uniknya, kalau kita sudi membuka topeng yang selama ini menutupi wajah kita serta berani melihat diri apa-adanya maka kita akan menemukan sumber kebijaksanaan sejati di dalam diri. Ternyata di balik yang tampak goblok di luar, ada ke bijaksanaan di dalam.
Tokoh gila kita kali ini ialah Mulla Nasruddin. Manusia historis yang pernah hidup benar-benar dan melawat bumi ini. Ia juga terkenal sebagai seorang Sufi. Konon makamnya bisa ditemukan di Rusia yang notabene penduduknya atheis. Tapi ada juga yang mengklaim bahwa ia hidup di Iran. Orang Arab turut menyatakan bahwa Mulla pernah tinggal di Jazirah Arab. Bahkan di daerah Bukhara, mereka mengenangnya dengan sebuah monumen khusus.
Namun perlu diingat bahwa Mulla Nasruddin bukan seorang manusia semata. Ia mewakili seluruh umat manusia. Ia adalah Anda dan saya pada saat yang bersamaan. Kenapa? Karena ia mewakili kegilaan dan kegoblokan kita! Ia sungguh tan-ekslusif dan amat universal. Ia menjadi milik dunia dengan segala kesempurnaan (baca: kegilaan dan kegoblokan) nya. Para Murshid/Guru Sufi kerap menggunakan kisah-kisah Mulla Nasruddin untuk menyampaikan ajaran esoteris kehidupan kepada para murid. Kisah-kisah semacam ini sudah tersebar sejak berabad-abad silam.
Sudah siap untuk mengungkap kegilaan dan kegoblokan kita?
Mari kita ulas satu kisah, no 69, hal 74. Kebetulan berkisah tentang makana angka 69. Bagi mereka yang sudah berusia tujuh belas tahun ke atas dan sudah menikah, betapa nikmat postur ini. Eit.. jangan terburu-buru mengeluarkan fatwa porno dan melulu berfikir tentang seks ataupun adegan Kamasutra.
Mulla Nasruddin yang pintar memainkan lidah menjelaskan demikian, "Enam, mewakili lima indra dan satu keakuan. Berbahagialah kalian wahai manusia yang berhasil mengendalikannya!" Bukankah hidup semacam ini amat nikmat?
Nilai universal yang hendak disampaikan lewat kisah dan perhitungan matematis di atas ialah bahwa roda Sang Kala berputar terus. Hari ini suka, besok duka. Hari ini pesta, besok bela sungkawa. Hari ini kaya, besok miskin. Hari ini makan tempe, besok makan tongseng. Senada dengan pesan Ki Ageng Surya Mataram, seorang tokoh Kejawen Nusantara yang konon sanggup memasukkan petir ke dalam botol. Beliau berujar begini, "Urip kuwi cen mulur-mungkeret".
Secara redaksional beda tapi esensinya sama dengan thesis ilmuwan kondang abad ini, Albert Einstein, segala sesuatu relatif di alam semesta ini, semua tergantung bagaimana kita menyikapinya. Mau terus cemberut mangga, mau tersenyum ya mangga. Sebab, "Beauty is a matter of seeing!"
Banyak cerita jenaka lain yang bisa membuka cakrawala pandang kita yang selama ini terbelenggu oleh dogma usang, pikiran kaku dan arogansi diri. Karena menggunakan joke maka Insya Allah tak akan membuat kita tersinggung dan sakit hati. Kecuali, jika kita belum cukup dewasa.
Lewat buku ini kita bisa menjadi polos, lugu dan apa adanya seperti anak-anak tapi tak kekanak-kanakan alias gampang mutung, marah dan uring-uringan. Memang dalam proses penelaahan buku gila ini butuh sedikit permenungan. Karena banyak cerita yang kadang membingungkan dan tak masuk akal. Kembali kita bersua dengan realitas paradoksal kehidupan. "Lha wong untuk menertawai diri sendiri kok kudu serius sih?"
Bahasa buku ini ringan tapi berbobot. Bisa dibaca sambil minum teh hangat ditemani nyamikan pisang goreng. Tapi bersiap-siaplah karena mindset, pola pikir kita tiba-tiba dijungkirbalikkan. Isinya memuat pesan-pesan universal yang dikemas secara santai dan fungky. Dengan membaca, mencerna dan mencecapnya niscaya kita bisa menemukan hikmah kebijaksanaan hidup.
-Tarsisius Nugroho Angkasa S.Pdsumber: http://www.akcjoglosemar.org/resensi-buku-guruji/belajar-menertawai-diri-sendiri/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar