Page 1 of 4 Perspektif Model Kepemimpinan Hindu Dalam Masyarakat Bali* I Made Titib** Abstrak Kakawin Gajah Mada, sebuah kakawin pada abad ke 20, selesai
ditulis di Bali pada tanggal 10 November 1958, bertepatan dengan Hari
Pahlawan. Kakawin ini menguraikan kejayaan Mahapatih Gajah Mada yang terkenal
bijaksana. Penyair menggunakan berbagai sumber sebagai bahan penyusunan
kakawin ini, antara lain Babad Gajah Mada, Nagarakritagama, Pararaton,
Cerita Rakyat Tentang Gajah Mada, Slokantara, Silakrama, dan lain-lain. Di
dalam kakawin tersebut terdapat ajaran kepemimpinan di antaranya tentang
profil pemimpin, kerja keras, visioner, cerdik, cermat, tipu daya,
melenyapkan gangguan terhadap negara, pemimpin dan pandita melaksanakan
fungsinya sebagai Brahma, Wisnu, dan Siva, mewujudkan kesejahtraan,
melindungi seluruh wilayah negara, menumbuhkan kesadaran warga negara
terhadap tegaknya hukum, mewujudkan kesucian pribadi melalui pertapaan, dan
samadhi. Gajah Mada seorang negarawan besar dan ajaran kepemimpinan yang
diajarkan dan diimplementasikan masih sangat relevan dewasa ini. Kata Kunci Pendahuluan
Mahapatih Gajah Mada sangat
populer sebagai seorang tokoh nasional pada masa kejayaan Majapahit. Banyak
karya sastra dan mitos yang berkaitan dengan tokoh yang mampu mempersatukan
seluruh wilayah Nusantara yang meliputi kepulauan Madagaskar, Indonesia
dewasa ini, sebagian Malaysia hingga ke Filipina Selatan. Salah satu karya
sastra tersebut adalah Kakawin Gajah Mada (disingkat KGM) yang sudah dikaji
dalam bentuk disertasi oleh Partini Sarjono Pradotokusomo dan sudah
diterbitkan oleh Bina Cipta Bandung (1986) dengan topik Kakawin Gajah Mada
(Sebuah Karya Sastra Kakawin abad ke-20, Suntingan Naskah serta Telaah
Struktur, Tokoh, dan Hubungan Antarteks). Di dalam KGM ditemukan
berbagai taktik, strategi, profil pemimpin, dan ajaran kepemimpinan yang
dilaksanakan oleh Mahapatih Gajah Mada yang kiranya masih relevan untuk
dikaji dari perspektif model kepemimpinan Hindu dalam masyarakat Bali,
tentunya ada pula hal-hal yang negatif yang tidak patut diteladani. Pengarang
kakawin adalah Ida Cokorda Ngurah dari Puri Saren Kauh Ubud. Beliau seorang
bangsawan kaya dari keluarga Ksatriya. Beliau juga seorang serba bisa, ahli
sastra, terutama sastra Kawi, pengarang, pemahat, pembuat patung, pengukir,
dan seorang arsitek tradisional. Ajaran kepemimpinan dalam KGM
seperti disebutkan dalam kolofon teks ini (67.2) merupakan karya
intertekstualitas: ‘tan pendah lawe awuk slirih leseh ring sampiran
ngamet, yeka inantun-antun ginawe tenun sigra pwa kadurus’ (Tak ubahnya
benang tenun yang lapuk, koyak, dan lusuh di tempat gantungan, kemudian
dirangkai menjadi tenunan, tentu saja putus). Berdasarkan kutipan tersebut,
tulisan ini ingin mengungkapkan tentang ajaran kepemimpinan yang terkandung
dalam KGM, serta pesan yang terkandung dari KGM tersebut, yang dikaji melalui
teori hermeneutik dan intertekstualitas. Sinopsis Kakawin Gajah Mada
Pada bagian awal KGM, sebuah
manggala (1.1-3) yang ditujukan kepada Bhattara Dhatra (Brahma). Diceritakan
kehidupan pandita suami istri bernama Sura Dharma dan Nari Ratih yang tinggal
di wilayah Wilatikta yang berguru kepada pandita Hangga Runti. Kedua siswa
pandita ini diwisudha untuk mengikuti disiplin sebagai Sewala Brahmacari.
Ketika Pandita Sura Dharma pergi meninggalkan pertapan untuk mengambil air
minum, saat itu datang Dewa Brahma yang menyamar menyerupai wujud Pandita
Sura Dharma yang merayu dan memperkosa Pandita Nari Ratih (1.4-8, 2.1-6,
3.1-8, 4.1-12, 5.1-10, 6.1-8, 7.1-10, 8.1-10, 9.1-10, 9.1-8). Kegagalan suami
istri untuk melaksanakan disiplin Sewala Brahmacari mengakibatkan kekecewaan
yang mendalam kedua suami istri tersebut yang mengakibatkan Pandita Nari
Ratih hamil besar. Kemudian mereka berdua mengembara melakukan penyucian diri
dan perjalanannya memasuki Desa Mada. Di depan pelataran (babaturan) sebuah
pura tempat memuja Dewa Siwa dengan saktinya Dewi Durga dan Gangga di desa
ini Nari Ratih melahirkan seorang anak laki-laki (10.1-15). Anak itu
ditinggalkan di pura tersebut, dan Pandita Sura Dharma dan
istrinya kemudian mencapai kesempurnaan/nirwana(11.1-12). Seperti ada kekuatan yang
menarik kepala Desa Mada untuk menuju lokasi bayi laki-laki yang ditinggalkan
oleh Pandita Sura Dharma dan istrinya yang tampak malam itu menyala bagaikan
api yang membakar pura Dewa Siwa tersebut. Kemudian bayi itu dipungut dan
dijadikan anak angkat yang kemudian anak itu menunjukkan sopan santun ,
mempesona dan menimbulkan simpati yang mendalam dan anak itu diberi nama
Pipil Mada (13.1-8). Setelah anak itu remaja, ia diijinkan mengembalakan
lembu. Ia bersama teman-teman sebayanya mengembalakan lembu di padang
Kumalawati, di tepi sungai yang airnya deras dan jernih. Di tepi tempat
pengembalaan itu terdapat sebuah candi, yang indah dengan taman bunga
yang sedang mekar berbunga(15.1-9). Pipil Mada mengajak teman-temannya
untuk membuka sebidang tanah yang luas dan membukanya menjadi tanah pertanian
(16.1-8). Tanah yang dijadikan ladang tersebut bernama tegal Trik, dan karena
kemampuan Pipil Mada, tanah tersebut diubah menjadi tanah pertanian yang
subur yang dibagi-bagi kepada para gembala (18.1-11). Tanah yang tadinya
kering dan tidak subur diubah menjadi tanah pertanian yang subur, penuh
dengan aneka tanaman umbi-umbian dan buah-buahan. Demikian pula aneka bunga
tumbuh berkembang banyak orang yang kagum menyaksikan perubahan yang luar
biasa tersebut (19.1-8). Atas keberhasilan tanah
pertanian tersebut. Pipil Mada bersama para gembala berniat mempersembahkan
hasil pertaniannya itu kepada raja Majapahit (20.1-11). Pipil
Mada memimpin rombongan yang jumlahnya sampai seribu orang (22.1-8). Segera
tiba di balairung keraton (23.1-8). Mereka diterima oleh perdana menteri
(mahapatih) dengan senang hati yang keheranan terhadap kemampuan anak-anak
gembala tersebut. Sang mahapatih kemudian meninjau tanah ladang yang
subur tersebut (24.1-12). Sang mahapatih melakukan berbagai ujian terhadap
sikap dan mental para gembala di ladang tersebut antara lain berupa
dijatuhkannya sebuah palu mas dan uang perak yang ditinggalkan di ladang.
Pipil Mada kemudian menunjukan integritasnya dengan menghaturkan semua milik
mahapatih itu, yang menyebabkan pemilik harta berharga tersebut tertegun
kagum (25.1-15). Pipil Mada sangat tekun sembahyang dan melakukan
meditasi yang dilakukannya sejak masa kanak-kanak. Tiga hari kemudian mereka
memimpin kembali para gembala ternak itu menghaturkan hasil bumi ke istana
Majapahit (26.1-14). Cukup lama para gembala diterima di istana, dan mereka
diuji untuk menangkap ikan dan Pipil Mada menunjukkan kemampuannya yang luar
biasa yang pertama datang menghadap dengan ikan yang sangat banyak (27.1-14).
Pipil Mada sendiri diminta
untuk tetap tinggal di istana mahapatih. Pipil Mada menunjukan
kemampuan dirinya yang luar biasa dan menyenangkan. Diceritakan disebuh
pertapaan terjadi keributan akibat Banasakti, makhluk siluman yang pura-pura
menjadi murid pandita tersebut. Pada saat pandita guru pergi mandi, tiba-tiba
makhluk siluman itu berubah wujud menjadi pandita guru yang penampilannya
sama seperti pandita yang asli. Kedua pandita itu merebut istri pandita asli.
Pertikaian dua pandita itu sampai terdengar ke istana sang mahapatih. Pipil
Mada menyampaikan saran kepada mahapatih dengan menguji mereka di istana
dengan cara mengangkat besi yang berat (29.1-20). Tipu daya yang disampaikan
Pipil Mada itu berhasil, ternyata pandita yang palsu adalah pandita sanggup
memikul besi yang berat tersebut, dan pandita palsu tersebut mati
dibunuh (30.1-14, 31.1-12). Mahapatih sangat senang kepada Pipil Mada
yang disebutnya sangat arif dan mampu menyelamatkan dirinya, kemudian
dinikahkan dengan putrinya, Dyah Bebed (32.1-6). Pipil Mada di istana
mahapatih menunjukan dirinya sebagai Dewa Asmara (37.3-5) yang kemudian
mahapatih menyerahkan kekuasaannya kepada Pipil Mada sebagai dirinya. Pipil
Mada memasukan dewa-dewa kahyangan dalam tubuhnya (37.14-18). Mertua Pipil
Mada menasehati anak dan menantunya, menjadi putri yang setia mengikuti
teladan Putri Madawi, putri Maharaja Jayati dan Pipil Mada mengikuti jejak
Pandita Golawa yang sangat bakti kepada gurunya Wiswamitra. Dapat memberi perlindungan
seperti Sang Garuda (40.1-13). Raja Kala Gemet menyetujui
pengunduran ayah Dyah Bebed sebagai mahapatih dan menunjuk Gajah Mada sebagai
mahapatih Kerajaan Majapahit (Wilatikta). Ketika Gajah Mada menjabat sebagai
mahapatih, seluruh raja (bawahan) tunduk kepada Majapahit, negara makmur dan
sejahtra (41.7-42). Dhang Hyang Kepakisan
memerintah di Majalangu (lukisan keindahan pemandangan). Kelahiran dua anak,
pria dan wanita, dari batu yang dipuja yang merupakan penjelmaan dari pandita
Sura Dharma dan istrinya (43.1-9). Anak itu dinamai Sri Kapakisan oleh Gajah
Mada. Kemudian Sri Kapakisan mempunyai empat orang putra, tiga laki-laki dan
satu wanita. Raja Kala Gemet wafat meninggalkan dua putri (44.8). Sri Kresna
Kapakisan menjadi raja Majapahit; Gajah Mada menjadi mahapatihnya (44.9-12). Selanjutnya diceritakan
kerajaan Bali. Asal-usul raja Bali (45.1-4). Pendirian benteng di Batu Anyar
(45.5). Para patih raja adalah: Pasung Rigis di Tangkulak, Kebo Mayura (Kebo
Iwo) di Karang Buncing. Tambyak di Jimbaran, Komang di Sraya. Dilukiskan
persahabatan antara Pasung Rigis dan Kebo Mayura (45.6-7). Raja Bali
mengadakan latihan perang. Kepala raja pagi hari dipotong, melesat ke
angkasa, sore hari kembali bersatu dengan badannya (45.8-11). Latihan perang
bertempat di Gunung Batur. Kembali ke Batu Anyar latihan perang dilanjutkan.
Kepala raja dipotong oleh Pasung Rigis, namun sampai sore kapalanya itu belum
juga kembali (46.8-21). Kepala raja kemudian diganti dengan kepala babi
hutan, disebut Bedhahulu (47.1-5). Raja kemudian tinggal di menara yang
tinggi dan tidak boleh dilihat orang (47.6-9). Gajah Mada di Majapahit
mengadakan sayembara dua putri Kala Gemet (lukisan keindahan). Dyah Pusparaga
dipersunting Pradita, putra raja Koripan, adiknya Ratna Puspacitrangsa
diperistri Sukarsa, putra raja Gaglang (47.10-14). Kelahiran putra raja
Koripan bernama Hayam Wuruk atau Smara Wijaya dan putra raja Gaglang bernama
Jaya Tular aatau Smara Kajanta (48.1-5). Negara Majapahit sejahtera dengan
Mahapatih Gajah Mada (46.8). Terjadi peristiwa kelaparan
di Majapahit (48.1-7). Raja Bali yang dituduh menyebabkan bahaya kelaparan
tersebut (48.8). Gajah Mada didampingi oleh Gajah Para diutus ke Bali (48.8).
Raja Bedhahulu atau Bedhamukha dan Kebo Mayura dicarikan siasat supaya dapat
ditaklukan (48.9). Menuju ke kediaman Pasung Rigis dan Kebo Mayura
(48.10-11). Gajah Mada meminta Kebo Mayura untuk bersedia dikawinkan dengan
putri raja Majapahit (50.1-7). Kebo Mayura setuju dan minta izin kepada raja
Bedhahulu (50.8). Gajah Mada dapat melihat wajah raja Bedhahulu. Kematian
raja Bedhahulu (50.8-11). Gajah Mada dan Pasung Rigis ke Tangkulak (50.9-12).
Pasung Rigis dilumpuhkan kesaktiannya (50.13-21). Gajah Mada meneliti daerah
yang strategis untuk persiapan perang (50.1-4). Jamuan makan di desa-desa
sepanjang perjalanan (51.5-9). Kebo Wawira (Kebo Iwa) disuruh menggali sumur
(51.10-12). Kebo Wawira mau dibunuh, tetapi tidak berhasil (51.13-52.6). Kebo
Wawira dapat dibunuh dengan kapur (52.7-11). Laporan Gajah Mada di
Majapahit bahwa memang benar raja Bali penyebab musibah dan kelaparan di
Majapahit (53.1-54.2). Dilanjutkan dengan pengerahan bala tentara Majapahit
akan menyerang Bali (54.3-55.5). Di lain pihak kerajaan Bali mempersiapkan
tentaranya (55.6-8). Perang berkobar, Arya Damar berhadapan dengan Pasung
Rigis dan patih Bedhahulu ini kalah dan berhasil dibunuh oleh Arya Damar
(58.1-6). Kemenangan berada pada bala
tentara Jawa (59.1-5). Arya Damar menemui Gajah Mada di Mimba (59.6). Arya
Damar salah paham (59.7-14). Di Bali ada musuh berupa Raja Danawa (raja
Balingkang) yang datang menyerang (60.1-6). Arya Kapakisan disuruh Gajah Mada
melapor ke Majapahit (60.7-61.1). Pengerahan bala tentara dari daerah lain
oleh Majapahit (61.2-6). Raja Majapahit dan bala tentara tiba di Bali. Raja
memberi wejangan pada bala tentara dan penyusunan siasat perang, kemudian
perang berkobar (61.7-63.8). Gajah Mada dan Gajah Para kalah melawan Raja
Danawa, dilanjutkan dengan Raja Kresna Kapakisan mengalahkan Raja Danawa
(63.3-63.10). Kemenangan ada pada pihak
Majapahit. Pembagian wilayah kerajaan dengan raja Bhima di Pasuruhan, Juru di
Blambangan, Kenceng di Tabanan, Senthong di Pacung, Bleteng di Penatih, Kutha
Waringin di Kapal, Binculuk di Tegeh Kuri, Kapakisan di Bedhahulu, Blog di
Kaba-Kaba. Raja mendirikan kerajaan di Samplangan (64.6-10). Penyerangan ke
Sumbawa oleh putra Pasung Rigis (64.11-13). Di Majapahit, Raja Kresna
Kapakisan mengundurkan diri, penggantinya raja Hayam Wuruk dan Wengker. Gajah
Mada mencegah mundurnya Raja Kapakisan, tetapi raja tetap pendirian. Dua raja
memerintah dengan pendamping para patih, terutama Gajah Mada (65.1-10).
Keadaan Majapahit yang makmur dan sejahtera. Keberhasilan Gajah Mada sebagai
pendamping raja. Raja Majapahit yang arif bijaksana, penganut dan mengamalkan
ajaran agama (66.1-13). Penutup dengan pernyataan kerendahan hati sang kawi,
dan diakhiri doa sang kawi supaya karyanya berhasil (67.1-5). Dalam bagian
penutup ini sang kawi memuja sang pencipta atas anugrahnya, yang dipuja
melalui Omkara dan Acintya, sebagai Candrasiwa dan Diwangkara yang
menghancurkan semua racun (bisa), dan menempatkan teratai Aditi pada kepala
untuk memohon penyucian, yang senantiasa menyebarkan cahaya yang terang. |
Mitos dalam Kakawin Gajah Mada
Tokoh Gajah Mada begitu
dikagumi, sehingga terbentuklah berbagai mitos tentang dirinya. Fraser
berpendapat bahwa pada hakekatnya, pikiran manusia itu tidak mau menerima
begitu saja semua gejala yang ditangkapnya dengan akal dan pancaindera. Orang
terus-menerus mencari yang tersirat di belakang sesuatu, sehingga terjadilah
sebuah mitos. Locher berpendapat bahwa mitos hidup dalam suatu kelompok yang
merujuk pada kejadian-kejadian yang sekaligus berhubungan dengan masa lampau,
sekarang dan yang akan datang. Dengan penekanan yang berbeda-beda, ada yang
lebih peka terhadap masa lampau, ada pula untuk masa sekarang atau masa yang
akan datang. Itulah kekhasan yang membuat mitos itu mempunyai sifat ganda,
sekaligus berhubungan dan tidak berhubungan dengan sejarah. Ia tidak
mempersoalkan benar tidaknya mitos itu, sebab mitos itu seperti kepercayaan
lainnya mungkin saja tidak benar, tetapi mungkin juga benar karena itu sebuah
mitos. Mitos itu dapat berubah sesuai dengan kepentingan dan kerangka acuan
masyarakatnya atau individu dalam masyarakat di mana mitos itu hidup (Partini,
1986:11). Menurut Nurgiyanto (Cika, 2006: 24) mitos merupakan penerusan
tradisi. Tradisi yang menguatkan disebut pengukuhan tradisi (myth of
concern), sedangkan penolakan tradisi sebagai mitos pemberontakan (myth of freedom).
Kedua hal ini dikatakan sebagai sesuatu yang “wajib” hadir dalam penulisan teks
kesastraan, sesuai dengan hakikat kesastraan itu yang selalu berada dalam
ketegangan antara konvensi dan inovasi. Demikian dalam KGM tidak hanya
mitos tentang Gajah Mada yang ditampilkan, juga mitos-mitos lainnya sebagai
tokoh antagonis yang perlu dikaji dalam tulisan ini. Mitos-mitos tersebut
antara lain:
1) Gajah Mada
sebagai keturunan Dewa Brahma (…..mahyun mrakertang Dhatrasuta teher mahaknang
guritnireka (KGM 1.2b: ingin memuji putra Dewa Brahma (Gajah Mada) kemudian
mengagungkannya dalam bentuk kakawin). Dari larik di atas, oleh penyair KGM
Gajah Mada dijadikan sarana citra, keluarga serta keturunannya sebagai anggota
yang terhormat dari masyarakatnya. Penyair KGM menganggap Gajah Mada seorang
yang digjaya (a)nindyeng sarat (KGM 1.2c: yang jaya tidak tercela di seluruh
dunia). Sebagai tokoh protagonis digambarkan kesempurnaan dirinya yang mampu
memasukan dewa-dewa kahyangan ke dalam tubuhnya (37.14-18), seperti
ajaran kepemimpinan yang populer dengan nama Astabrata yang diungkap dalam
kakawin Ramayana.
Sumber ajaran kepemimpinan
Astabrata ini adalah kitab Manawadharmasastra IX.303-311 (Pudja & Sudharta,
2002:607-609) dan bukan Ramayana karya Walmiki. Demikian pula Gajah Mada
disebutkan mampu tampil sebagai Dewa Asmara yang tampan dan cemerlang (37.3-5).
Partini Sarjono Pradotokusumo (1986:59) menyimpulkan penggambaran tokoh
Gajah Mada dalam KGM adalah sebagai berikut: (1) Tokoh yang pada mulanya
‘datar’ sesuai dengan the epic divine hero, namun dapat membuat kejutan dengan
memperlihatkan sifat-sifat yang tidak terpuji, misalnya dalam menghadapi Kebo
Wawira; (2) Jaya secara lahiriah, ialah sebagai pencetus gagasan-gagasan yang
dapat mengantarkannya mencapai kedudukan yang tinggi sebagai mahapatih kerajaan
Majapahit; (3) Kejayaan dalam pemikirannya didapat berkat keturunannya yang
agung dan juga karena bakti, ketaatan dan kesetiaannya pada mereka yang
diabdinya, terutama raja; (4) kejayaan batin didapatnya berkat sifat-sifat
tersebut di atas pada guru agama dan pada ajaran-ajaran yang terdapat
dalam kitab agama sebagai persiapan menuju kelepasan. Muhamad Yamin (Partini,
1986:1253) menyatakan secara meyakinkan bahwa Gajah Mada adalah
seorang-orang Indonesia berdarah rakyat, meskipun ditulisnya juga bahwa
kepercayaan orang Bali, Gajah Mada adalah penjelmaan Sang Hyang Narayana ke
atas dunia. Pandangan Mohamad Yamin tersebut tidaklah salah, karena di dalam
Agama Hindu, sifat-sifat kepemimpinan yang menonjol umumnya diambil dari sifat
Dewa Wisnu atau Narayana, yang tampak dari penjelmaan awatara-awatara-Nya dalam
setiap zaman.
2) Tokoh
protagonis lainnya adalah
Sri Kepakisan dan istrinya yang ditampilkan dalam mitos kelahiran dua anak,
pria dan wanita, dari batu yang dipuja yang merupakan penjelmaan dari pandita
Sura Dharma dan istrinya (43.1-9). Anak itu dinamai Sri Kapakisan oleh Gajah
Mada (44.8). Terjadinya perkawinan incest atau kembar dampit (kembar
buncing) di kalangan para bangsawan dianggap sangat utama karena penjelmaan
manusia utama, sedang bila itu terjadi di kalangan orang kebanyakan (orang jaba
atau di luar tri wangsa) dianggap aib yang dapat menyengsarakan masyarakat.
Perkawinan tersebut disebut Asupundung dan Alangkahi Karanghulu. Tentang
kelahiran buncing dan perkawinan di atas, pada tanggal 12 Juli 1951 Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Bali memutuskan dua buah keputusan penting berkaitan
dengan hal tersebut, yakni Keputusan Nomor 10 Tentang penghapusan adat yang
berkaitan dengan seseorang yang melahirkan anak kembar buncing (kembar
laki-laki dan perempuan), dan Nomor 11 Tentang penghapusan perkawinan
Asupundung dan Anglangkahi Karanghulu, yakni perkawinan antara laki-laki dari
Sudrawangsa dengan istri dari Brahmanawangsa dan antara laki-laki dari Sudrawangsa
dengan istri dari Ksatriyawangsa. Keputusan DPRD Bali ini mencabut Paswara
tahun 1910 yang diubah dengan beslit Residen Bali dan Lombok tertanggal 11
April 1927 No.352 Jl.C.2 tentang Asupundung dan Anglangkahi Karanghulu.
Keputusan DPRD Bali tahun 1951 baru mendapat pengukuhan kembali dari Parisada
Hindu Dharma Indonesia Pusat, melalui Bhisama Sabha Pandita Nomor 3 Tahun 2002
tanggal 20 Oktober 2002 Tentang Pengamalan Catur Warna sesuai dengan kitab suci
Veda dan susastra Hindu (Dana, 2005:149).
3) Tokoh
antagonis dalam KGM yang pertama disebutkan adalah Raja Masula-Masuli yang
lahir atas perkenan Dewa Indra. Ia disebut sebagai keturunan raksasa yang buas
dan tamak, musuh dari orang-orang saleh. Ia adalah ayah dari Gajah Waktra
(Gajah Wahana) yang kemudian disebut Bedhahulu. Tokoh antagonis umumnya selalu
dikaitkan dengan kelahiran dari keturunan orang jahat atau raksasa.
4) Tokoh
antagonis lainnya sebagai lawan dari Mahapatih Gajah Mada adalah raja Bali yang
disebut Bedhahulu atau Bedhamukha. Raja Bali mengadakan latihan perang. Kepala
raja pagi hari dipotong, melesat ke angkasa, sore hari kembali bersatu dengan
badannya (45.8-11). Latihan perang bertempat di Gunung Batur. Kembali ke Batu
Anyar latihan perang dilanjutkan. Kepala raja dipotong oleh Pasung Rigis, namun
sampai sore kapalanya itu belum juga kembali (46.8-21). Kepala raja kemudian
diganti dengan kepala babi hutan, disebut Bedhahulu (47.1-5). Raja kemudian
tinggal di menara yang tinggi dan tidak boleh dilihat orang (47.6-9). Raja ini
digambarkan sangat bengis, namun akhirnya ia juga mencapai kelepasan menuju
sorga (50.10). Bedhahulu atau Bedhamukha tentunya mengandung makna sebagai
orang yang tidak tunduk kepada raja Majapahit.
5) Kebo
Wawira (Kebo Iwa) digambarkan sebagai orang yang mukanya buas, badannya besar
dan tinggi, bagaikan Kumbhakarna yang gagah, congkak, badannya kuat perkasa
(51.60).
Tokoh protagonis pada umumnya
selalu digambarkan sangat tampan, cerdas dan berbudi pekerti luhur, sebaliknya
tokoh antagonis digambarkan sebagai orang yang tidak tampan, jahat, bodoh,
licik, dan tidak memiliki budi pekerti yang luhur. Hal ini adalah wajar dan
merupakan konvensi dalam karyasastra sejak diturunkannya kitab suci Veda,
dituliskannya kitab-kitab Itihasa (Ramayana dan Mahabharata) dan kitab-kitab
Purana. Penggambaran para dewa dan raksasa, perwujudan dharma dengan adharma,
senantiasa diekspresikan melalui tokoh-tokoh yang tampan dan buruk, seperti
Rama, Krisna, Arjuna, yang bertentangan dengan Rawana, Duryodhana, Dussasana, dan
sebagainya.
Ajaran Kepemimpinan dalam Kakawin Gajah Mada
Ajaran
kepemimpinan dalam KGM dapat dijumpai pada bagian awal hingga bagian akhir dari
karyasastra kakawin ini. Seorang pemimpin hendaknya:
1) Senantiasa
rajin sembahyang dan bermeditasi atau samadhi (17.5). Digambarkan bahwa
sejak anak-anak Pipil Mada atau Gajah Mada suka melaksanakan sembahyang dan
meditasi. Meditasi dilakukan pada malam hari dan sering mendapat vision
(penglihatan) dewata yakni mendapat petunjuk dari Dewa Brahma, ayah spiritualnya.
2) Menjadi
pelopor dan memiliki wawasan ke depan, terutama dalam membuka ladang Trik
(18.1). Gajah Mada digambarkan selalu menjadi pelopor dan mengambil inisiatif
yang pertama serta bekerja keras di antara teman-teman sebayanya.
3) Mampu
memberi semangat dalam melaksanakan kerja keras dan berat terutama dalam
memajukan sistem pertanian (18.8, 22.4). Gajah Mada digambarkan mampu memberi
motivasi kepada sesamanya. Karismanya tampak yang sejak anak-anak, kemana Pipil
Mada pergi diikuti oleh teman-teman sebayanya (13.8). Para gembala senantiasa
menuruti apa yang diperintahkan Pipil Mada (17.3).
4) Ahli
memimpin, termasuk memimpin sidang, hatinya terbuka, dan kata-katanya
manis bagaikan air kehidupan (20.7-10). Dalam berbagai kesempatan digambarkan
Gajah Mada dapat memimpin sidang, memiliki keterbukaan dan pemimpin yang
memberikan kesejukan kepada bawahannya.
5) Mampu
menarik simpati, cerdas, dan kreatif. Hal ini tampak ketika Gajah Mada baru
pertama kali mengabdikan dirinya di istana mahapatih Majapahit yang sudah mulai
tua (Arya Tadah?) dan kemudian ia dikawinkan dengan putrinya bernama Dyah Bebed
(30.1-14, 31.1-12, 32.1-6). Kecerdasan Gajah Mada tampak pula ketika ia ingin
mengetahui wajah asli Raja Bedhahulu dengan cara minta dijamu sayur pakis yang
utuh sedepa panjangnya, lauk pauknya setumpuk usus ayam, minumannya satu
bumbung legen, ia bersedia makan di hadapan raja (50.1). Dengan cara demikian
itu Gajah Mada akan mudah melihat wajah raja Bali saat itu, dan raja tidak boleh
membunuh utusan raja Majapahit ini, apa lagi saat yang bersangkutan menikmati
makanan (humadang ri ajengira sri haji kang bhojana).
6) Sopan dan
ramah (49.6). Gajah Mada sangat sopan dan ramah ketika ia ditanya oleh Kebo
Wawira dan Pasung Rigis tentang maksud kedatangannya ke Bali. Gajah Mada diutus
oleh Raja Jawa yang mempunyai putri yang sangat cantik, tiada duanya di
Wilatikta, dan memuji Kebo Wawira supaya bersedia mengawini putri Jawa tersebut
(49.7-10). Karena penampilannya yang sangat sopan dan ramah, akhirnya
Kebo Iwa mudah ditipu oleh Gajah Mada.
7) Senantiasa
menuntut ilmu pengetahuan, tidak mementingkan kesukaan duniawi, mempelajari
kitab suci, dan melaksanakan upacara yajña (66.2-3).
8) Senantiasa
melindungi warga dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat, menegakkan keadilan
(66.4-7).
9) Seorang
pemimpin hendaknya gagah berani, bertanggungjawab, dan tangguh dalam menghadapi
berbagai masalah, tunduk kepada aturan (hukum), tidak menghina rakyat jelata,
dan tidak menjilat kepada penguasa (atasan atau yang berpangkat)(66.8-12).
10)
Menghormati orang yang arif bijaksana, menghargai para pahlawan, dan
senantiasa melakukan tapabrata dan samadhi. (66.13).
Perspektif Model Kepemimpinan Hindu
dalam Masyarakat Bali
Seperti telah disebutkan pada
bagian awal tulisan ini Ida Cokorda Ngurah dari Puri Saren Kauh Ubud adalah
seorang bangsawan kaya dari keluarga Ksatriya. Beliau juga seorang serba bisa,
ahli sastra, terutama sastra Kawi, pengarang, pemahat, pembuat patung,
pengukir, dan seorang arsitek tradisional. Beliau menyelesaikan penyusunan KGM
pada tanggal 10 November 1958. Dari 67 wirama, pupuh atau bait KGM beliau
mengajukan 10 butir ajaran kepemimpinan yang rupanya beliau petik dari berbagai
sumber sastra Kawi yang dijadikan sebagai referensinya.
Sesungguhnya sebagai seorang
seniman, dari keluarga raja, maka merupakan kewajiban untuk membaca karya
sastra Kawi atau Jawa Kuno yang di dalamnya sangat kaya dengan berbagai
ajaran. Dari khasanah karyasastra Kawi atau naskah yang tersimpan di
Bali, telah banyak dilakukan pengelompokan, di antaranya oleh Kadjeng (1929),
Pigeaud (1967), dan terakhir oleh I Wayan Cika (2006:4) sebagai berikut: (1)
Arsitektur yang terdiri dari: Hasta Kosala, Hasta Kosali, Hastabhumi,
Dharmaning Sangging; (2) Lelampahan (lakon atau cerita yang dipentaskan); (3)
Kesusastraan seperti: Parwa, Kakawin, Kidung, Gaguritan, dan Parikan; (4) Usada
(pengobatan); (5) Sejarah & Mitologi seperti Babad, Pamancangah, Usana,
Uwug; (5) Agama & Etika seperti Weda, Mantra, Puja, Kalpasastra, Tutur,
Sasana, dan Niti.
Penyair KGM rupanya telah
membaca semua referensi dalam naskah-naskah Bali di atas, hal itu tampak
mengkristal dalam 10 butir ajaran kepemimpinan dalam KGM. Walaupun ajaran
tersebut sangat ideal, namun Gajah Mada juga melakukan strategi atau taktik
politik yang licik, yakni melakukan penipuan, baik terhadap raja Majapahit yang
menghubungkan bahaya kelaparan di Majapahit akibat perbuatan raja Bali.
Demikian pula ia telah menipu Kebo Wawira dan Pasung Rigis. Dalam khasanah
sastra Bali memang terdapat adigium musuh wenang linyokin (musuh dapat ditipu
atau dibohongi), hal ini tentunya mengurangi kredibilitas kepemimpinan yang
dilakukan oleh Gajah Mada.
Pembagian wilayah serta
menempatkan penguasa dengan sistem Majapahit di Bali tentunya merubah tatanan
sistem kepemimpinan kelogial yang dikenal dengan sistem Maulu-Apad yang umumnya
berlaku di Bali pegunungan, yang tampaknya sangat demokratis, karena setiap
orang bila melakukan swadharmanya dengan benar, pada saatnya ia akan duduk
sebagai seorang pemimpin dalam komunitasnya. Sistem ini rupanya merupakan
kelanjutan sistem yang diterapkan pada zaman Bali Kuno yang dikenal sebagai
ajaran Mpu Raja Krita yang menjabat Senapati I Kuturan, yang kemudian lebih
populer dengan sebutan Mpu Kuturan. Warisan monumental beliau adalah adanya
sistem pamarajan, banjar, kahyangan tiga, dan subak. Sistem inilah yang
ditengarai mampu membentengi Bali dari berbagai perubahan akibat perkembangan
kehidupan, sampai era globalisasi dewasa ini.
Ajaran kepemimpinan dalam KGM
rupanya tidak jauh bila dikaji dari perspektif model kepemimpinan Hindu dalam
masyarakat Bali. Karena model kepemimpinan Hindu yang dituangkan dalam kitab
suci Veda dan susastra Hindu telah dituangkan dalam khasanah karya sastra Kawi
atau Jawa Kuno dan hal ini merupakan sumber utama ajaran atau model
kepemimpinan Hindu di Bali.
Konsep atau ajaran kepemimpinan
tidaklah hanya berguna bagi pemimpin atau calon pemimpin, tetapi berguna bagi
setiap orang termasuk pula menjadi anggota yang dipimpin. Dengan mengerti
kepemimpinan kita memahami bagaimana seharusnya seorang pemimpin berbuat
demikian pula bagaimana seharusnya seorang anggota patuh pada
pemimpinnya.
Sebenarnya ajaran kepemimpinan
Hindu, khususnya di Bali telah memasyarakat, di antaranya ajaran Catur Guru
Bhakti, yakni berbakti kepada empat jenis guru yang terdiri dari:
1) Guru
Rupaka atau Guru Rekha, yakni orang tua, ibu bapak.
2) Guru
Pangadyayan atau Pangajian, yakni para guru yang memberikan pendidikan.
3) Guru
Wisesa, yakni pemerintah yang memberikan perlindungan dan kemakmuran masyarakat
4) Guru
Svadhyaya, yakni Tuhan Yang Maha Esa sebagai guru tertinggi (Paramestiguru).
Dengan memahami dan patuh
keempat guru tersebut di atas sebenarnya setiap umat Hindu telah melaksanakan
ajaran kepemimpinan. Demikian pula di rumah atau di luar pendidikan sekolah, di
sekolah dan bahkan kepada pemerintahpun, seorang anak atau anggota masyarakat
dituntut untuk patuh kepada empat guru tersebut di atas. Persoalannya
lebih jauh apakah ajaran atau konsep kepemimpinan Hindu hanya terbatas pada
ajaran Catur Guru Bhakti itu? Ataukah ada ajaran-ajaran kepemimpinan lainnya
yang perlu digali dan apakah ajaran Agama Hindu mampu mengantisipasi
perkembangan masyarakat dalam era globalisasi dengan kecenderungan material
oriented-nya. Bagaimana fungsi-fungsi kepemimpinan Hindu itu sebenanya dan
apakah seseorang menjadi pemimpin itu karena dilahirkan atau karena diciptakan
dan lain-lain permasalahan yang patut kita kaji dalam kesempatan terbatas
ini.
Ajaran atau konsep kepemimpinan
(leadership) dalam Hindu dikenal dengan istilah adhipatyam atau nayakatvam.
Kata adhipatyam berasal dari adhipati sedang nayakatvam dari kata nayaka, kedua
kata dari kosa kata bahasa Sanskerta ini berarti pemimpin. Untuk memahami
konsep kepemimpinan, tipologi, fungsi dan asal-usulnya, pada kesempatan yang
terbatas ini penyusun mencoba mengkaji dari sumber pustaka yang ada terutama
dari sumber primer yakni kitab suci Veda dan susastra (pustaka) Hindu lainnya
seperti Ramayana, Mahabharata dan
sebagainya.
Di samping kata adhipati dan
nayaka yang berarti pemimpin terdapat juga beberapa istilah atau sebutan untuk
seorang pemimpin, yaitu raja, maharaja, prabhu, ksatriya, svamin, isvara
dan natha. Di samping istilah-istilah tersebut di Indonesia kita kenal
istilah ratu atau datu, sang wibhuh, murdhaning jagat dan sebagainya yang
mempunyai arti yang sama dengan kata pemimpin namun secara terminlogis terdapat
beberapa perbedaan.
Di dalam ajaran Agama Hindu
terdapat nilai-nilai kepemimpinan yang universal, tidak dibatasi oleh ruang dan
waktu, karena itu selalu relevan dengan perkembangan masyarakat. Nilai-nilai
kepemimpinan dalam ajaran Agama Hindu lebih dari sekedar sumber filsafat, etik
dan moral, tetapi juga nilai-nilai spiritual yang luhur untuk mencapai
tujuan tertinggi berupa kebahagiaan lahir dan batin.
Nilai-nilai atau konsep-konsep
kepemimpinan Hindu dapat dijumpai dalam kitab suci Veda, Arthasastra,
Dharmasastra termasuk pula dalam kitab-kitab Itihasa seperti Ramayana dan
Mahabharata dan kitab-kitab Purana seperti Agni Purana, Vayu Purana dan
lain-lain.
Di dalam kitab suci Veda kita
jumpai beberapa mantra yang menyangkut ajaran kepemimpinan antara lain :
1) Seorang pemimpin
berasal dari warga negara (Yajurveda XX.9).
2) Warga
negara yang merupakan satu kesatuan dalam berbangsa adalah anggota badan
seorang pemimpin (Yajurveda XX.8)
3) Seorang
pemimpin melindungi warganya tanpa menyakiti mereka (Yajurveda XIII.30).
4) Kami
memilih seorang pemimpin untuk memperoleh makanan dan mengentaskan kemiskinan
dan kesejahtraan yang berlimpah (Yajurveda X.21).
5) Seorang
pemimpin atas rakhmatnya melindungi masyarakatnya (Yajurveda XXX.5).
6) Seorang
pemimpin tidak pernah sedih, ia senantiasa berbuat jujur (Rigveda V.34.7)
7) Seorang
pemimpin membuat kita sejahtra dan melindungi cendekiawannya (Rigveda I.54.11).
8) Marilah
kita semua orang dari segala penjuru mendatangi pemimpin untuk melenyapkan
semua penderitaan (Yajurveda VI.36).
9) Semogalah
masyarakat memperoleh kesejahtraan/kebahagiaan karena pemimpinnya (Yajurveda
XI.28).
10) Wahai
pemimpin! Usahakanlah semua wargamu berbahagia, berikan kesejahtraan dan
tolonglah mereka (Sàmaveda,971)
11) Wahai Pemimpin!
Datangilah masyarakat dan bebaskanlah mereka dari penderitaan (Samaveda, 753).
12) Kami
semua patuh dan taat kepada semua peraturan pemimpin/pemerintah (Rigveda
VIII.25.16).
13) Semua
golongan dalam masyarakat memuji pemimpinnya atas perhatiannya yang baik
terhadap kesejahtraan warganya (Rigveda V.37.4).
14) Wahai
Pemimpin! Bertindaklah untuk kesejahtraan masyarakatmu dan keabadian namamu
(Atharvaveda XIII.1.34).
Selanjutnya di dalam
Arthasastra karya maharsi Kautilya atau Chanakya (VI.1.2-6) dinyatakan enam
sifat atau disiplin hidup yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, yaitu :
1)
Abhigamika, seorang pemimpin dapat menarik simpati rakyatnya, karena itu
ia harus berorientasi ke bawah, mengutamakan kepentingan rakyat banyak.
2) Prajña,
seorang pemimpin hendaknya cerdas, arif dan bijaksana, menguasai ilmu
pengetahuan dan seni kepemimpinan serta memiliki daya analisa yang tajam dengan
pandangan yang jauh ke depan.
3) Utsaha,
seorang pemimpin hendaknya mampu mengambil inisiatif, oleh karena itu ia harus
aktif, innovatif dan menjadi pelopor dalam mengembangkan kreativitas masyarakat
untuk maju.
4)
Atmasampad, seorang pemimpin hendaknya memiliki integritas pribadi,
memiliki moral yang luhur, segala tingkah lakunya terpuji dan patut menjadi
teladan masyarakat.
5)
Sakhyasamanta, seorang pemimpin mampu mengawasi bawahannya, dengan
demikian segala kebijaksanaan yang telah ditetapkan dapat terlaksana secara
berdaya guna dan berhasil guna sesuai dengan sasaran yang telah ditetapkan.
6)
Aksudraparisakta, seorang pemimpin memiliki kemampuan untuk memadukan
pendapat yang saling berbeda dalam suatu permusyawaratan. Pemimpin seharusnya
menguasai teknik dan seni mempertemukan pendapat-pendapat yang saling berbeda.
Kepandaian pemimpin dalam berdiplomasi ini akan mengantarkan sukses
kepemimpinannya.
Masih banyak ajaran
kepemimpinan dapat kita jumpai dalam kitab suci Veda maupun Arthasastra
yang tidak terungkapkan pada kesempatan ini. Di samping kitab suci Veda dan
Arthasastra dalam kitab-kitab Itihasa (Ramayana dan Mahabharata) dan
kitab-kitab Purana. Dalam Ramayana, ajaran Sri Rama sangat dipuji oleh maharsi
Walmiki. Pada bagian manggala dari kakawin itu diuraikan bagaimana kepemimpinan
Sri Rama yang sangat termashur dan relevan untuk dipelajari dan dikembangkan
dewasa ini. demikian pula ajaran kepemimpinan dalam Mahabharata ke XIII, yakni
kitab Anusasanaparva, hampir seluruh buku mengajarkan ajaran kepemimpinan Hindu
yang sangat ideal merupakan wejangan dari maharsi Bhisma, ketika menunggu ajal
di atas tempat tidur dari anak panah. Ajaran kepemimpinan yang diwejangkan
kepada Dharmawangsa itu juga sangat relevan dan patut untuk dijadikan pedoman
oleh para pemimpin.
Membahas model kepemimpinan
tidak dapat dilepaskan dengan tipologi kepemimpinan, kepemimpinan Hindu
menyangkut ajaran moral yang tentunya nampak seperti adanya dua kutub yang
berlawan atau seperti warna hitam-putih, benar-salah, baik dan buruk, walaupun dalam
kenyataannya tidak ada seorang manusia atau pemimpin yang benar-benar seratus
persen baik atau sebaliknya. Secara psikologis sifat manusia, seperti di
sebutkan dalam kitab suci Bhagavadgita bahwa manusia memiliki dua kecenderungan
atau sifat, yaitu :
1) Daiwi
Sampat, sifat kedewataan (Madhawa), yakni segala sifat yang baik, jujur,
benar, terpuji dan sejeninya.
2) Asuri
Sampat, sifat keraksasaan (Danawa), yakni segala sifat yang buruk, kasar, rakus
tidak jujur, serakah dan yang sejenisnya.
Atas dasar dua sifat atau
kecendrungan manusia (Manawa) seperti tersebut di atas, maka kepemimpinan Hindu
tentunya mengikuti tipologi kecenderungan manusia, yaitu tipologi kepemimpinan
Hindu yang ideal digambarkan sebagai kepemimpinan para dewa (Daiwi Sampat) di
bawah maharsi agung Wrihaspati yang bulat, utuh, demokratis dan mengabdi untuk
kepentingan masyarakat dan kemanusiaan, tegaknya agama, moral dan hukum
serta berusaha tiada hentinya untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat
(Perhatikan nasehat Sri Rama kepada adiknya Bharata dalam Kakawin Ramayana
berbahasa Jawa Kuno). Sebaliknya tipologi kepemimpinan Hindu yang tidak patut
dicontoh dan seharusnya ditinggalkan oleh seorang pemimpin adalah kepemimpinan
yang sangat dipengaruhi oleh sifat atau kecendrungan Asuri Sampat, yaitu
rakus, diktator, otoriter tidak memperhatikan kepentingan masyarakat dan rakyat
di bawah pimpinannya.
Bila kita mengkaji nama-nama
atau istilah secara terminologis, semantik atau etimologis kita sebenarnya
sudah mendapatkan gambaran tentang fungsi-fungsi kepemimpinan itu, misalnya
kata raja, dari urat kata raj yang artinya menggerakkan. Maharaja artinya
pemimpin besar yang mampu menggerakkan (massa). Prabhu artinya yang terkemuka,
memimpin, membimbing atau yang paling berani mengambil tanggung jawab bagi
anggotanya. Ksatriya atau rajanya artinya yang melindungi atau memberikan
perlindungan. Svamin menjadi kata suami dalam bahasa Indonesia artinya yang
mempimpin, tuan (master, lord) atau yang menguasai dirinya sendiri.
Isvara artinya yang tertinggi, yang paling menonjol atau yang paling berkuasa,
natha artinya yang melindungi atau memberikan perlindungan. Ratu dan datu
artinya hampir sama dengan kata raja sedang murdhaning jagat, artinya tampuk
pimpinan dari masyarakat.
Berdasarkan tinjauan
terminologis, etimolis dan semantik serta berdasar kutipan-kutipan terjemahan
mantra Veda dan terjemahan sloka-sloka kitab Arthasastra maka dapat
dirumuskan fungsi-fungsi kepemimpinan dalam Hindu atas dua jenis fungsi,
yaitu:
1) Melindungi
masyarakat, memberikan rasa aman, bertanggung jawab serta memberikan bimbingan
kepada warganya untuk turut mewujudkan rasa aman dan tentram dikalangan mereka
(fungsi security).
2) Mewujudkan
kemakmuran bersama-sama anggota masyarakat untuk mewujudkan kesejahtraan,
kemakmuran dan melepaskan pederitaan masyarakat lahir dan batin (fungsi
prosperity).
Kepemimpinan yang berlandaskan
ajaran Agama Hindu tentunya dapat mengaktualisasikan ajaran Agama Hindu. Untuk
itu fungsi-fungsi agama bagi kehidupan manusia harus disadari dan dipahami oleh
seorang pemimpin, sebab membahas kepemimpinan Hindu tidak dapat melepaskan diri
untuk tidak mengkaji ajaran Agama Hindu. Dalam hubungannya dengan
kehidupan manusia, agama dan juga pemimpin atau kepemimpinan mempunyai fungsi-fungsi
sebagai berikut :
1) Sebagai
factor motivatif, mendorong, mendasari, melandasi cita-cita dan amal perbuatan
manusia dalam seluruh aspek kehidupannya.
2) Sebagai
faktor kreatif, produktif dan innovatif, mendorong dan mengharuskan untuk tidak
hanya melakukan kerja produktif saja, tetapi juga kreatif dan innovatif.
3) Sebagai
faktor integratif, memadukan segenap aktivitas manusia baik sebagai individu
maupun sebagai anggota masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan. Keyakinan
dan penghayatan terhadap ajaran agama akan menghindarkan manusia dari situasi
dan kepribadiannya yang pecah. Dengan keutuhan kepribadiannya itu manusia akan
mampu menghadapi berbagai macam tantangan dan resiko kehidupan.
4) Sebagai
faktor sublimatif atau transformatif, mampu mengubah sikap dan prilaku,
perkataan maupun perbuatan sesuai sesuai dengan ajaran agama.
5) Sebagai
faktor inspiratif, memberikan inspirasi bagi pengembangan seni dan budaya yang
dijiwai oleh Agama Hindu.
Tentunya fungsi-fungsi
kepemimpinan itu akan lebih kompleks bila dikaitkan dengan berbagai jenis atau
tipologi kepemimpinan yang bersifat spesifik. Di dalam kitab suci Veda
diamanatkan bahwa seorang pemimpin bagaikan Dewa Indra dan Soma (Rigveda
II.16.2, VII.104.3), seorang pemimpin bagaikan Dewa Agni (Yajurveda XIII.1,
XII.7) yang kemudian di dalam kitab Manawadharmasastra (IX.303-311)
dikembangkan menjadi delapan dewa yang memasuki tubuh seorang pemimpin, yaitu
dewa-dewa penjaga alam, yakni Dewa Soma (Candra), Dewa Agni, Dewa Surya, Dewa
Wayu, Dewa Kuwera, Dewa Indra, dan Dewa Yama. Fungsi atau sifat dari delapan
dewa-dewa ini kemudian di dalam Kakawin Ramayana dikenal dengan ajaran
kepemimpinan Astabrata seperti telah disebutkan di atas.
Lebih jauh, asal-usul seorang
pemimpin sebenarnya telah ditegaskan dalam kitab suci Veda (Yajurveda XX.9)
yang secara jelas menyatakan bahwa seorang pemimpin berasal dari warga negara
atau rakyat. Tentunya yang dimaksudkan oleh kitab suci ini adalah
benar-benar memiliki kualifikasi atau kemampuan seseorang. Hal ini adalah
sejalan dengan bakat dan kemampuan atau profesi seseorang yang dalam bahasa
Sanskerta disebut dengan warna. Kata warna dari urat kata wri yang artinya
pilihan bakat dari seseorang. Bila bakat kepemimpinannya yang menonjol dan
mampu memimpin sebuah organisasi dengan baik disebut ksatriya, karena kata
ksatriya artinya yang memberi perlindungan. Demikian pula yang memiliki
kecerdasan yang tinggi, senang terjun di bidang spiritual, ia adalah seorang
brahmana. Demikian pula profesi-profesi masyarakat seperti pedagang, petani,
nelayan dan sebagainya.
Berdasarkan penjelasan tersebut
maka seorang dapat menjadi pemimpin disebabkan oleh beberapa hal
1) Karena
memiliki bakat sejak kanak-kanak sudah menonjol sifat dan prilaku
kepemimpinannya. Ketika dewasa otomatis dia akan menjadi seorang pemimpin yang
handal. Bila seseorang karena direkayasa untuk menjadi pemimpin dan tidak
berdasarkan bakat dan kemampuannya, maka walaupun ia dipaksakan menjadi seorang
pemimpin, kepemimpinannya akan kelihatan lembek, melempem, loyo dan tidak
memiliki aktivitas apapun.
2) Seorang
pemimpin muncul di samping karena bakat, situasi tertentu juga memaksakan
kelahiran seorang pemimpin. Pemimpim yang demikian akan sukses bila ia memiliki
bakat dan kemampuan untuk itu. Dengan kecerdasan yang dimiliki serta
mengembangkan sikap ingin terus belajar, maka pemimpin yang mendapat kesempatan
untuk memimpin akan selalu berhasil membimbing warganya.
Keberhasilan seseorang pemimpin
disebabkan karena ia memiliki kemampuan untuk mengatasi berbagai
tantangan, mengingatkan kepada ceritra Ganesa ketika baru bertempur ke medan
perang. Justru semakin dipukul oleh musuhnya tubuh Ganesa semakin besar dan
kuat dan akhirnya patahan taringnya sendiri mampu mengatasi berbagai rintangan.
Simpulan
Dari uraian tersebut di atas
dapat ditarik simpulan antara lain sebagai berikut:
1) Ajaran
kepemimpinan dalam KGM menyangkut taktik dan strategi yakni kemampuan Gajah
Mada untuk menarik simpati masyarakat lingkungan, mahapatih, dan raja Majapahit
yang ditunjukkan dengan kerja keras membuka ladang pertanian, memecahkan
permasalahan yang dihadapi oleh mahapatih, dan mengatasi permasalahan yang
dihadapi oleh Kerajaan Majapahit, yakni dengan menghilangkan sumber bahaya
kelaparan yang menimpa Kerajaan Majapahit, yang disebabkan oleh raja Bali yang
kepalanya kepala babi (Bedhahulu atau Bedhamukha).
2) Ajaran
kepemimpinan dalam KGM lebih menekankan pada profil pemimpin meliputi sepuluh
butir ajaranan kepemimpinan, yaitu: (1) pemimpin rajin sembahyang, (2) menjadi
pelopor dan memiliki wawasan ke depan, (3) mampu memberi semangat
/motivasi bekerja keras, (4) ahli memimpin, termasuk memimpin sidang, dan
hatinya terbuka, (5) mampu menarik simpati, cerdas, dan kreatif, (6) sopan dan
ramah, (7) senantiasa menuntut ilmu pengetahuan, tidak mementingkan kesukaan
duniawi, (8) melindungi warga dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat,
menegakkan keadilan, (9) gagah berani, bertanggungjawab, tangguh dalam
menghadapi berbagai masalah, dan tunduk kepada aturan (hukum), (10) menghormati
orang yang arif bijaksana, menghargai para pahlawan, dan senantiasa melakukan
tapabrata dan samadhi.
3) Pola
kepemimpinan masyarakat Hindu di Bali mencerminkan ekspresi pengamalan ajaran
kepemipinan yang termuat dalam kitab suci Veda dan susastra Hindu terutama yang
dituangkan dalam karyasastra Jawa Kuno seperti: catur guru bhakti, astabrata,
tri hita karana, dan sebagainya yang mengkristal dalam ajaran kepemimpinan
dalam KGM tersebut di atas.
Penutup
Demikian ajaran kepemimpinan
dalam KGM dilihat dari perspektif pola kepemimpinan Hindu dalam masyarakat Bali
yang bersumber pada kitab suci Veda dan susastra Hindu. Tentunya penelitian ke
arah yang mendalam terhadap topik tersebut di atas masih terbuka lebar untuk
dilaksanakan. Dalam kepemimpinan Bali ke depan, pemimpin yang diamanatkan dalam
Veda dan susastra Hindu, termasuk dalam KGM sangat diperlukan, terutama yang
memiliki wawasan keilmuan dan pandangan jauh ke masa yang akan datang.
Daftar Pustaka
Atlekar, G. S. 1987. Studies on Valmiki Ramayana. Poona, India:
Bhandarkar Oriental Research Institute.
Cika, I Wayan.2006. Kakawin Sabha Parwa, Analisis Filologis. Denpasar: Pustaka
Larasan.
Dana, I Nengah. 2005. Kompilasi Dokumen Literer 45 Tahun Parisada.
Jakarta: Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat.
Dutt, M. N. 2001. The Mahabharata, Edited by Ishvar Chandra Sharma and O.N.
Bimali, Vols. I-IX, Sankrit Teks and English Translation. New Delhi:
Parimal Publications.
Dvivedi, K.D. 1990. The Essennce of the Vedas. Gyanpur, Varanasi: Vishva
Bharati Research Institute.
Kane, P.V.1975. History of Dharmasastra Vols. 1 – VIII, Poona
India: Bandarkar Oriental Series.
Partini Sardjono Pradotokusumo.1986. Kakawin Gajah Mada. (Sebuah Karya Sastra
Kakawin Abad ke-20, Suntingan naskah serta Telaah Struktur, Tokoh dan Hubungan
Antarteks). Bandung: Bina Cipta.
Pudja, G. & Sudharta, Tjokorda Rai. 2002. Manawa Dharmasastra, Weda Smrti,
Kompedium Hukum Hindu. Jakarta: CV. Pelita Nursatama Lestari.
Raghuvira.1957. Sarasamuccaya: An Old Javanese Didactict Text, New Delhi,
India: International Academy of Indian Culture.
Santoso, Soewito. 1980. Ramayana Kakawin. Vol.3. New Delhi, Singapore:
International Academy of Indian Culture and Institute of Southeast Asian
Studies.
Titib, I Made.2003. Veda, Sabda Suci: Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya:
Penerbit Paramita
--------- 1951. Peringatan Satu Tahun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bali.
Denpasar: Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bali.
---------------------------------
* Makalah telah
dipresentasikan dalam acara Seminar Model
Kepemimpinan Bali, diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Universitas Udayana
(IKAYANA) pada hari Rabu, 13 September 2003 di Lantai IV, Gedung Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman Denpasar.
**Teolog Hindu, Guru Besar
(Profesor) Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, memperoleh gelar Doktor
(Ph.D) in Vedic Literature, Gurukula Kangri University, Haridwar, Uttar
Pradesh, India, 1993, dan Doktor Program Studi Kajian Budaya, Universitas
Udayana Denpasar (2005). Pernah menjabat Direktur Urusan Agama Hindu, Ditjen
Bimas Hindu dan Buddha Dep. Agama R..I. dan Ketua I Pengurus Harian Parisada
Hindu Dharma Indonensia Pusat dan kini sebagai Dekan Fakultas Brahma Widya
(Teologi dan Filsafat) Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, Bali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar