Ada seorang brahmana yang bernama
Jaratkaru, sebabnya oleh raja disebut Jaratkaru, ayam ity âhuh$Jarâtiks, (karena) jarat berarti suka mengalah (har.
kemunduran), ikasya tad bhayam$kârun,
suka berbelas kasih, tempat berlindung bagi yang sedang dalam ketakutan, oleh
karena itu (dia) benar-benar luar biasa, seyogyanyalah (dia) disegani, karena
sifatnya yang suka mengalah.
Teringatlah dia akan penjelmaan badan, tah$kârur iti smr, karena itu namanya Jaratkaru, (yang mana)
takut kepada kesengsaraan penjelmaan. Ya ta warakulotpannah, dia adalah putera
seorang Bikhu (= pendeta) yang mempunyai tapa yang luar biasa, seorang Bikhu
yang gembira memungut padi yang tersebar dan telah terbuang di jalan, yang
dicari (dan) dibersihkannya. Akhirnya menjadi banyaklah (padi yang
dikumpulkannya itu), kemudian ditanaknya (padi-padi itu), (yang mana) ketika
itu disajikannya kepada Bhatara (= dewa-dewa) serta memberikannya kepada para
tamu. Begitulah tapa orang tuanya, tahan akan penderitaan, tidak bergaul dengan
perempuan, hanya tapa yang dibesarkannya, diajarinya, menderita membuat tapa.
Ketika itu Maharaja Parikesit berburu, lalu dikutuk oleh Bhagawan Sranggi
dimakan oleh ular Taksaka[1]. Oleh karena itulah Jaratkaru membuat tapa.
Setelah dia manjur mantranya, dia (dapat) pergi ke segala alam, (dapat)
mengunjungi ke segala tempat asing hendak dia datangi dan (dapat) berjalan di
atas air. Makin lama makin jauh perjalanannya, sampai dia terbawa ke
Ayatanasthana, yaitu suatu tempat yang mengantarai surga dan neraka, tempatnya
arwah menunggu (untuk) mendapatkan surga-neraka. Tempat itu terkunjungi oleh
Jaratkaru, dia berada di Ayatanasthana.
Ada satu arwah yang digantung di sebatang bambu, yang digantung sungsang dan
diikat kakinya. Di bawahnya adalah jurang yang dalam yang menuju ke alam
neraka. Jika bambu itu patah, maka yang digantung itu akan menuju ke tempat itu
(/alam neraka). Ada seekor tikus tinggal di lobang bambu yang dipinggir jurang
itu. Setiap hari dia menggigit bambu itu. Hal itu terlihat oleh Jaratkaru,
sehingga mengalirlah air matanya, maka dari itu berbelas kasihlah dia, hancur
luluh hatinya kepada arwah yang digantung terbalik di ujung bambu itu serta
diikat kakinya. Jaratkaru terpengaruh hatinya oleh arwah yang menyerupai seorang
Bikhu yang berambut terjalin serta berpakaian dari kulit pohon. Tidak
sepantasnyalah dia menghadapi kesengsaraan yang dideritanya. Dia menderita
tidak makan seperti daun yang tergantung, yang kekeringan karena kemarau, yang
berayun-ayun oleh karena angin deras, dia tidak makan selalu. Demikianlah
keadaan arwah itu.
?"$astambam âçritâh$"Ke bhawanto ’walambante wîran
Kata Jaratkaru: "Siapakah tuanku yang digantung di sebatang bambu yang
hampir patah oleh gigitan tikus, (yang hampir jatuh ke dalam) jurang yang tidak
diketahui dalamnya. Keadaan yang demikian itu membuat sangat sedih hati hamba,
sehingga hamba menaruh belas kasih hendak menolong engkau. Hamba membuat tapa
sejak masih kanak-kanak serta menimbun beratnya tapa hamba, lalu sampai ke sini
(dan melihat tuanku yang menderita), sehingga berbelas kasihlah hamba melihat
kesengsaraanmu. Seberapa besar pahala dari tapa hamba yang harus hamba berikan,
supaya engkau dapat pulang ke surga sehingga dapat berhenti menghadapi
sengsara? Seperempatkah atau setengahkah yang (dapat) aku berikan sesuai dengan
jalanmu untuk mendapatkan surga".
Perkataan Jaratkaru tersebut terdengar oleh arwah itu. Menjawablah dia dengan
sangat dingin seperti disiram oleh air hidup hatinya:
"Tapawrata karma wayam. Hamba ditanya oleh tuanku, dan akan kuberitahukan
semua keadaanku, ayetrato$umarambham
krtam karma santânam preks, (Itu semua terjadi) karena (akan) putus
keturunanku. Karena itulah aku terputus dari Pitraloka (= alam arwah para
leluhur) dan bergantung-gantung pada sebatang bambu yang seolah-olah (hampir)
jatuh ke alam neraka. (Sebenarnya) aku mempunyai satu keturunan. Namanya
Jaratkaru. Tetapi dia moksa juga, hendak meluputkan segala sesuatu yang
membelenggu manusia, tidak beristri, menjadi murid brahmana yang suci. ...[2]
Jika seandainya keturunanku terputus, maka akibatnya adalah binasa. Semula aku
senang terutama oleh pekerjaan tapa yang istimewa. (Tetapi) hal yang
demikianlah yang terjadi sekarang ini, yaitu dengan tidak adanya keturunanku,
tino yathâ$kr$ dus$narah,
tidak ada perbedaan antara aku dengan (orang) yang melakukan perbuatan dosa,
yang (sama-sama) menghadapi kesengsaraan. Hal inilah yang dapat engkau lakukan
jika engkau berbelas kasih "Bikhu itu bernama Jaratkaru, mita belas
kasihlah kepadanya. Suruh supaya dia beranak, agar supaya aku dapat pulang ke
Pitraloka. Beritahukanlah kepadanya bahwa aku menghadapi sengsara, agar supaya
hatinya dapat berbelas kasih".
Dengan arwah itu berbicara, maka semakin mengalir air mata Jaratkaru. Seperti
diiris hatinya melihat bapaknya menghadapi keadaan susah: "Hamba ini
bernama Jaratkaru, keturunanmu yang tamak akan tapa, yang mengingini kedudukan
sebagai murid brahmana. Aku kira sekarang ini engkau belum selesai, padahal
telah sempurna tapa yang telah dibuat. Adapun sekarang, mengenai jalanmu pulang
ke surga, janganlah tuanku khawatirkan. Biarlah hamba berhenti sebagai murid
brahmana, dengan mencari istri sehingga hamba dapat mendapatkan anak. Adapun
yang hamba kehendaki sebagai istri adalah yang senama dengan nama hamba, agar
tidak ada halangan bagi perkawinan hamba. Jikalau hamba telah mempunyai anak,
biarlah hamba dapat menjadi murid brahmana lagi. Tenangkanlah hati
tuanku."
Demikianlah kata Jaratkaru. Berjalanlah dia mencari istri yang senama dengan
dirinya. Ketika dia mengembara mencari istri, ketika itu maharaja Janamejaya[3]
baru beristrikan Bhamustiman. Pada waktu itulah Jaratkaru mengembara. Telah
sepuluh daerah (= desa) yang dijelajahinya, tetapi dia tidak mendapatkan istri
yang senama dengannya. Dia tidak tahu lagi apa yang harus diperbuatnya untuk
memikirkan upaya agar bapaknya keluar dari sengsara. Kemudian menyusuplah dia
ke hutan yang sunyi, menangis dan memanggil segala dewa, segala butha (=
makhluk raksasa), katanya:
"i ca$Yâni bhûtâni santîha, janggamâni
sthîrân, hai semua butha, para makhluk hidup yang menjadi penjelmaanmu, hamba
bernama Jaratkaru, seorang brahmana yang hendak beristri. Berilah hamba istri
yang senama dengan hamba, yaitu yang bernama Jaratkaru, supaya hamba mendapat
anak, sehingga orang tuaku dapat memperoleh surga.
Demikianlah tangis Jaratkaru. Ketika keributan itu terjadi (tangis Jaratkaru)
itu terdengar oleh semua naga (= ular) yang disuruh oleh Basuki untuk mencari
seorang brahmana yang bernama Jaratkaru supaya brahmana itu mempunyai anak dari
adiknya yang akan diberikan kepadanya, yang merupakan ular betina yang bernama
Jaratkaru, supaya anak yang dilahirkan itu akan membebaskan mereka (= ular-ular
tadi) dari korban ular. Itulah maksud Basuki (menyuruh ular-ular itu pergi
mencari seorang brahmana bernama Jaratkaru). Dan ketika terdengar oleh mereka
tangis Jaratkaru, gembiralah mereka dan memberitahukan kepada Basuki supaya
mengundang Jaratkaru dan diberikan kepada adiknya. Tertariklah hatinya kepada
Jaratkaru. Dibawa pulanglah dia (= Jaratkaru) oleh Basuki, dan dikawinkannyalah
dia serta dinikahkanlah dia dengan upacara yang telah semestinya. Selama dia (=
Jaratkaru) duduk di tempat duduk, berkatalah Jaratkaru kepada istrinya:
"Saya berjanji dengan engkau, jika engkau mengucapkan apa yang tidak
menyenangkan kepadaku, apalagi melakukan perbuatan yang tidak pantas, jika
seandainya hal itu dilakukan olehmu, maka aku akan meninggalkan engkau".
Demikianlah kata Jaratkaru kepada istrinya. Hidup bersamalah mereka. Setelah
beberapa lama mereka hidup bersama, mengandunglah si naga perempuan Jaratkaru.
Terlihatlah tanda kehamilan itu oleh si suami. Maka dia meminta supaya
ditunggui ketika tidur, ketika dia bermaksud mau meninggalkan istrinya[4].
Memohonlah dia untuk dipangku kepalanya oleh istrinya, katanya:
Pangkulah olehmu kepalaku waktu tidur". Dengan hati-hati si istri memangku
kepada si suami. Sangat lama dia tidur, hingga waktu senja, waktu sembahyang.
Teringatlah si naga perempuan Jaratkaru, katanya:
"Sekarang adalah waktu sorenya para dewa. Waktu ini tuan brahmana harus
membuat doa. Sebaiknya dia dibangunkan. Jikalau menunggu sampai dia terbangun,
pastilah dia akan marah, karena dia sangat takut kalau terlambat sembahyang
karena itu bagi dia merupakan tugas agama kepada para dewa." Lalu
dibangunnyalah si suami:
"Hai tuanku Maha Brahmana, bangunlah tuanku! Sekarang waktu telah senja
tuanku, waktu untuk mengerjakan tugas agama. Bunga telah tersedia serta
bau-bauan dan padi."
Demikianlah katanya sambil mengusap wajah si suami. Kemudian bangunlah
Jaratkaru. Cahaya kemarahan memancar pada matanya dan memerah mukanya karena
marah besarnya. Katanya:
"Cih! Engkau naga perempuan yang sangat jahat, engkau sebagai istri
menghinaku. strînâm$Ayukto
maryâdah, engkau sampai hati menggagu tidurku. Tidak layak lagi tingkah lakumu
sebagai istri. Oleh karena itu akan kutinggalkan engkau sekarang ini."
Demikianlah sudah dia kemudian meninggalkan si istri. Ikutlah si naga
perempuan, dan lari memeluk si suami:
"Hai tuanku, maafkan hamba tuanku! Bukan maksud hati menghina, jika hamba membangunkan
tuanku. Hamba hanya mengingatkan sembahyangmu tiap senja. Salahkah itu,
sehingga aku menyembah tuanku. Seyogyanyalah engkau kembali ... tuan yang
terhormat. Jika hamba telah beranak, di mana anak itu akan menghapuskan korban
ular bagi saudara-saudaraku, maka tuanku dapat membuat tapa lagi."
Demikianlah kata si naga perempuan meminta belas kasih. Jaratkaru menjawab:
"Alangkah pantas sikap si naga perempuan. Engkau mengingatkan hamba untuk
memuja dewa ketika senja tiba. Tetapi hal itu tidak dapat mengubah kataku untuk
meninggalkan engkau. Aku tidak akan tersesat. Itu kehendakku. Janganlah engkau
kuatir. Asti, itulah (nama) anak itu. Anak itu akan menolong engkau kelak dari
korban ular. Tenangkanlah hatimu".
Kemudian pergilah Jaratkaru. Dia tidak dapat ditahan. Si naga perempuan
memberitahukan kepada Basuki akan kepergian si suami. Dia memberitahukan semua
ucapan Jaratkaru dan memberitahukan bahwa perutnya ada isinya. Bersuka citalah
Basuki mendengar itu semua. Setelah beberapa lama, lahirlah anak laki-laki
dengan tubuh sempurna. Dinamailah anak itu Astika, karena si bapak mengucapkan
"asti".
Dipeliharalah dia oleh Basuki, dididik serta diasuh menurut segala apa yang
diharuskan bagi brahmana, dirawat dan diberi kalung brahmana. Dengan lahirnya
Astika, maka arwah yang menggantung di ujung bambu itu melesat pulang pe
Pitraloka, menikmati pahala tapanya, yaitu tapa yang luar biasa. Patuhlah
Astika, sehingga dapat membaca Weda. Diijinkannyalah dia untuk mempelajari
segala sastra, mengikuti ajaran Bhrgu. Demikianlah cerita tentang Astika. Dia
adalah orang yang membuat naga Taksaka terhindar dari korban ular maharaja
Janamejaya.
http://manyul83.blogspot.com/2010/06/contoh-anak-yang-suputra.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar