Oleh IGN.Suardeyasa
Kisah Jaratkaru
Cerita Jaratkaru ini rupanya bersumber dari Kakawin Adiparwa adyaya V,
PJ.Zoetmulder menyadur teks Kakawin ini sekitar lebih dari ratusan halaman.
Kakawin ini memiliki sebuah ciri khas, berbahasa Sansekerta kepulauan (Archipelago
Sanskrit), dan terdapat komentar dengan Bahasa Kawi (Jawa Kuno).
Kisah ini cukup unik, mengisahkan seorang brahmana yang melangsungkan
brahmacari bernama Jaratkaru. Taatnya menjalankan tapa, terkisah pada waktu
Raja Parikesit sedang menderita karmanya harus digigit Naga Taksaka.
Ayah Jaratkaru adalah seorang brahmana, yang taat menjalankan tapa bratanya.
Setiap hari melewati jalan, untuk mengumpulkan sisa-sisa beras/padi yang
terjatuh di tanah. Setelah itu, diolah sehingga menjadi masakan yang siap
dipersembahkan kepada para Dewa dan dihidangkan bagi tamu-tamunya yang
berkunjung sebagai atiti puja.
Setelah ayah Jaratkaru meninggal, Jaratkaru yang telah dianugrahkan sejumlah
pengetahuan suci, suatu ketika berkesempatan untuk melakukan tirtha yatra ke
sorga.
Perjalanan ini sampailah di sebuah alam yang disebut dengan Ayatana, alam
ini adalah sisi yang bukan Sorga dan juga bukan neraka. Alam ini dijelaskan
sebagai alam bagi para leluhur yang belum mendapatkan kebebasan.
Leluhur yang berada di alam Ayatana masih belum mendapatkan keputusan
tempat, dia ke sorga atau ke neraka. Seperti menggantung di sebuah ujung pohon
bambu (tiying petung), di bawahnya terdapat kawah neraka.
Berkenanlah Jaratkaru melihat leluhurnya yang masih berada di alam Ayatana,
sifat karuna budi yang dimilikinya mengakibatkan dia menangis. Ditanyalah
leluhurnya sebabnya demikian.
Terjawablah, Jaratkaru tidak memiliki keturunan yang dapat menyelamatkan
leluhurnya dari Ayatana ini. Karma yang dilakukan oleh Jaratkaru hanya dapat
digunakan oleh dirinya sendiri agar mendapatkan kelepasan.
Jaratkaru tidak mengambil kesempatan itu untuk moksa, akan tetapi kembali
turun ke dunia untuk mencari seorang istri agar mendapatkan anak suputra.
Jadilah Sang Jaratkaru memperistri Sang Nagini, saudara perempuan dari Naga
Basuki. Tapi dengan suatu perjanjian, suatu ketika jika Sang Nagini melakukan
kesalahan, yakni berlaku yang tidak sopan kepada Sang Jaratkaru. Saat itulah
Sang Nagini dikembalikan kepada Naga Basuki.
Entah berapa lamanya mereka berkeluarga, sehingga Sang Nagini sudah
mengandung. Suatu hari, Sang Jaratkaru ingin agar istrinya memangkunya selama
tidur. Lama sang brahmana tertidur, hingga sore hari. Tidak sebiasanya sang
brahmana tidak melakukan Suryasewana di sore hari.
Berniatlah Sang Nagini untuk membangunkan suaminya dari tidur agar
menjalankan kewajibannya sebagai seorang brahmana. Saat dibangunkan, Sang
Jaratkaru merasa teraganggu, dan disaat itulah Sang Nagini ditinggalkan. Sang
Jaratkaru menuju moksa.
Selanjutnya, terlahirlah seorang anak diberi nama Sang Astika, keturunan
seorang brahmana agung sejak leluhurnya dulu. Sang Astika berguru kepada
Bhagawan Brghu.
Terdengarlah bahwa, Raja Parikesit yang melaksanakan Yadnya Sarpa, untuk
memanggil seluruh naga yang mengancam dirinya dari karmanya agar meninggal
dipatuk naga taksaka.
Yadnya ini ditujukan untuk membumi hanguskan seluruh naga yang ada di
negerinya. Akan tetapi semua itu dihalangi oleh kekuatan tapa dari Sang Astika,
yang dapat membebaskan Naga Taksaka dari Yadnya Sarpa itu. Karma dari tapanya
itulah yang dapat membebaskan leluhurnya yang berada di Ayatana menuju Moksa,
menyatu dengan Tuhan.
Anak Suputra Penerus Karma Leluhur
Dapat diinterpretasi lebih dalam, seorang Astika dapat memberikan karma
baiknya untuk membebaskan leluhurnya terdahulu di alam Ayatana. Dalam kisah ini
memperlihatkan, bahwa karma anak dapat berpengaruh terhadap karma leluhurnya.
Sementara Sang Jaratkaru yang melakukan tapasya sangat hebat itu, belum
cukup mempengaruhi karma ayahnya. Karma Sang Jaratkaru masih belum dapat
menyelamatkan leluhurnya, karmanya terjadi hanya dapat digunakan untuk dirinya
sendiri saja. Sehingga harus menunggu karma baik dari cicit, yang melanjutkan
secara kontinyu tapa dari leluhurnya.
Kisah ini dapat digunakan sebagai cerminan kehidupan masa kini, banyak
generasi muda Hindu yang meninggalkan ajaran leluhurnya, tidak mendoakan agar
leluhurnya dapat menyatu dengan Tuhan.
Doa yang diberikan paling tidak jika masih sadar yang sayang dengan
leluhurnya, “semoga leluhurku mendapatkan tempat disisi Tuhan”, sehingga memang
tidak dapat menyatu dengan Tuhan, karena doanya memang tidak sampai kepada-Nya.
Dengan demikian karma anak, seperti Sang Astika yang berbuat tapa
membebaskan Naga Taksaka dari Yadnya Sarpa Raja Parikesit merupakan karma baik
yang diperoleh dengan sangat luhur.
Penulis, Koresponden Media Hindu di Denpasar
Sumber: Majalah Media Hindu
http://suardeyasasri.wordpress.com/2011/05/06/anak-suputra-dalam-putru-astika-carita/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar