MASALAH perlindungan anak tak hanya
diatur dalam Undang Undang. Anggota Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAID)
Provinsi Bali, Ida Ayu Putu Puniadi, mengungkapkan sloka dalam sastra Hindu pun
banyak memuat ungkapan mengenai martabat anak, baik dalam Nitiscistra, Manawa
Dharmasastra, maupun Dharmasastra.
Perlakuan terhadap anak diungkapkan
melalui kakawin Nitisastra, wirama wirat raga kusuma, sloka 20. Di situ
disebutkan, anak berumur limatahun hendaknya diperlakukan seperti anak raja.
Jika sudah berumur tujuh tahun diberikan pendidikan agar memiliki ilmu
pengetahuan. Jika sudah berumur enam belas tahun diperlakukan sebagai sahabat,
dan berhati-hati memberi nasihat atau menunjukkan kesalahannya. Jika sudah
berkeluarga, amati perilakunya, jika ingin memberi pelajaran cukup dengan gerak
dan isyarat. Kakawin yang memuat ketentuan orangtua mendidik anak-anaknya ini
diperkuat lagi dengan kakawin Dharmasastra sloka 80. “Demikian ajaran
Putrasasana,” tegasnya.
Dayu Puniadi menambahkan, perbedaan mendidik anak manusia dengan bangsa
binatang lain juga termuat dalam kakawin nitisastra, wirama sardula wikridita
sloka 13. Di situ disebutkan, bangsa burung hanya sewaktu-waktu menyentuh
telurnya dengan perlahan. Tetapi, jika tiba saatnya telur itu akan menetas,
dengan sendirinya anak itu keluar dari kulit telur yang pecah itu.
Wajah/rupanya, tak berbeda jauh dengan induknya. Tidak demikian halnya dengan anak-anak
manusia. Mereka harus diperhatikan, dipelihara, dididik, dan dilindungi agar
tumbuh dan berkembang menjadi anak suputra.
Kewajiban Orangtua
Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali Dra. Ida Ayu Tary Puspa, S.
Sg., M. Par. menambahkan, perlindungan anak tak hanya termuat dalam sastera
Hindu, juga dalam kitab suci. Secara Hindu disebutkan, manusia dilahirkan ke
dunia berbekal tiga utang (Tri Rna), salah satunya utang kepada leluhur (Pitra
Rna). Ketiga utang itu belum tentu terbayarkan dengan satu kali kelahiran di
dunia. Untuk itu anak/keturunan yang memiliki kewajiban melanjutkan kewajiban
keluarga demi kelangsungan keluarga itu sendiri.
Dalam Kitab Manawa Dharmasastra IX.138 disebutkan “Oleh karena seorang anak
yang akan menyeberangkan orangtuanya dari neraka yang disebut Put (neraka
lantaran tak memiliki keturunan), karena itu ia disebut putra”. Dayu Tary
menyebutkan untuk mendapatkan anak dengan karakter dan kepribadian serta
memiliki budi pekerti yang baik, sebenamya sudah dimulai dari vivaha samskara
yang dilakukan sepasang laki-laki dan perempuan dan dilanjutkan dengan
samskara-samskara lain, salah satunya garbadhana sarira (megedong-gedongan).
“Dan situ sudah seorang ibu sudah melakukan Tri Kaya Parisudha baik dalam
pikiran, perkataan, dan perbuatan itu harus suci.
Setelah kelahiran sang bayi, didikuti samskara yang lain. Tugas orangtua
menjadi lebih besar yakni mengasuh anak. ini
Ida Ayu Putu Puniadi
juga termuat dalam Nitisasatra II. 16 dan 18 yang menyebutkan “Asuhlah anak
dengan memanjakannya sampai berumur lima tahun, jangan berlebihan karena
berakibat tidak baik. Beri pendidikan maupun hukuman untuk disiplin selama
sepuluh tahun berikutnya. Kalau sudah dewasa (16 tahun) didiklah ia sebagai
teman”. “Di sinilah sebenarnya peran orangtua dalam membentuk sebuah keluarga
yang sukinah (baik dan harmonis),” ujarnya.
Tak hanya itu, dalam Nitisastra VIII.3 juga dimuat lima kewajiban orangtua
terhadap anaknya (Panca Vida) yakni melahirkan anak sesuai kodratnya untuk
meneruskan generasi umat manusia; setelah dilahirkan orangtua wajib
memeliharanya dengan memberi makan dan minum untuk kesehatan fisik, kecerdasan
memperhatikan tumbuh kembang anak; memberikan kesempatan mengenyam pendidikan
baik formal maupun nonformal; pembinaan mental spiritual dengan menkondisikan
anak dalam nuansa hidup religius, siap memberikan jaminan keamanan kepada anak.
“Jika orangtua sudah menjalani panca vida itu otomatis anak akan bakti pada
orangtua,” katanya.
Bagi anak yang berbakti pada orangtuanya, dalam Sarasamuscaya 250 disebutkan
Tuhan akan memberikan empat pahala yang mulia yakni, kemakmuran dan kemasyuran,
panjang umur dan sehat, kuat secara fisik dan mental, serta jasa-jasa dari
perbuatan baiknya. —ten
Dra. Ida Ayu Tary Puspa, S. Sg., M. Par.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar