Ahibaadana siilasya nityam vrddhopasevinah.
Catvaari tasya vardhante kiirtiraayuryaso balam. (Sarasamuscaya 250) Maksudnya: Pahala bagi mereka yang dengan tekun berbhakti pada leluhur ada empat yaitu kiirtii, bala, yasa dan ayusa. AGAMA Hindu mengajarkan sistem pemujaan berjenjang untuk mencapai pemujaan pada Tuhan sebagai pemujaan yang tertinggi. Pemujaan leluhur (Dewa Pitara) tanpa untuk menuju pada pemujaan Tuhan akan jatuh dan hancur bersama keturunannya. Kalau hanya memuja leluhur akan berhenti pada leluhur saja. Hal tersebut dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra.III.205. Karena itu, dalam Hindu ada yang melakukan pemujaan yang langsung pada Tuhan dan ada sistem pemujaan berjenjang melalui pemujaan leluhur dan para dewa-dewa. Pemujaan pada leluhur dan kepada para dewa-dewa akan memperkuat pemujaan pada Tuhan. Dalam Manawa Dharmasastra III.37 ada dinyatakan bahwa seorang putra yang lahir dari perkawinan Brahma Vivaha kalau ia berbuat baik akan dapat menebus dosa sepuluh tingkat leluhurnya ke atas dan sepuluh tingkat keturunannya ke bawah. Ini artinya setiap perbuatan menimbulkan tiga akibat. Berakibat pada diri yang berbuat, kepada leluhur dan juga kepada keturunan. Karena itu, sebagai keturunan dari leluhur yang telah meninggal menjadi kewajiban moral bagi generasinya untuk terus berusaha berbuat baik. Hal ini dimaksudkan agar dapat menambah karma baik leluhur yang sudah berbadan sekala. Salah satu bentuk perbuatan baik keturunan kepada leluhurnya dalam bentuk upacara Pitra Yadnya. Dalam bentuk upacara agama Pitra Yadnya itu dilakukan dengan upacara ngaben dan upacara Atma Wedana. Atma orang yang meninggal disebut Petra. Menurut Lontar Gaya Tri, upacara ngaben bertujuan untuk meningkatkan status kesucian Atma dari Petra menjadi Pitara. Upacara Atma Wedana seperti Nyekah, Memukur, Maligia itu bertujuan untuk meningkatkan status Pitara menjadi Dewa Pitara. Sedangkan upacara Dewa Pitara Pratistha atau lebih populer dengan istilah Nuntun Dewa Hyang bertujuan untuk menstanakan Dewa Pitara di Kamulan. Dalam Lontar Purwa Bhumi Kamulan ada dinyatakan adanya upacara Danda Kalepasan sebagai salah satu proses dari upacara Ngalinggihang Dewa Hyang di Kamulan. Secara ritual upacara ini sudah tergolong Dewa Yadnya, tetapi secara filosofis tergolong Pitra Yadnya. Karena Sang Pitara secara simbolis sudah mencapai alam Dewa atau Sidha Dewata. Upacara Ngalinggihang Dewa Pitara ini adalah upacara yang dilakukan setelah upacara ngaben dan Atma Wedana. Tujuan upacara Danda Kalepaskan adalah untuk menebus segala dosa dan berbagai utang-utang leluhur oleh keturunannya. Ini artinya keturunanlah yang akan melaksanakan segala swadharma yang belum sempat dilakukan oleh leluhur semacam hidupnya. Dengan demikian, leluhur akan dibebaskan oleh keturunannya dari berbagai ikatan dosa dan utang moral. Inilah kewajiban keturunan untuk leluhurnya. Namun, semuanya itu baru dalam wujud upacara keagamaan yang sakral. Artinya, upacara yang bersifat simbolis sakral itu baru untuk menanamkan nilai-nilai spiritual Pitra Yadnya tersebut agar dapat tertanam secara mendalam di lubuk hati sanubari umat. Upacara sakral itu baru merupakan upaya niskala. Nilai-nilai spiritual Pitra Yadnya itu akan sukses apabila dilanjutkan dengan langkah nyata atau sekala dalam perilaku sehari-hari. Jadinya upacara Ngaben Memukur Ngalinggihang Dewa Hyang adalah proses menanamkan nilai-nilai suci Pitra Yadnya. Ia akan berhasil apabila nilai-nilai itu diwujudkan dengan Subha Karma dalam perilaku sehari-hari. Makin banyak kita berbuat baik makin dapat menambah karma baik leluhur di alam niskala. Kalau leluhur sudah mendapat tempat yang selayaknya di alam niskala, dari alam niskala itulah leluhur (Dewa Pitara) akan menuntun keturunannya yang hidup di alam sekala. Jadinya Pitra Yadnya seperti ngaben itu bukanlah hanya dalam bentuk upacara dalam wujud bebanten, bade, lembu, bukur, ebatan dan lain-lainnya itu. Berbakti pada leluhur wajib diwujudkan dalam bentuk yang lebih nyata. Misalnya dengan memberikan pendidikan kepada anak cucu sampai anak cucu itu memiliki keahlian dan menjadi suputra. Itu juga wujud bakti pada leluhur. Karena menurut keyakinan Hindu, anak cucu kita yang lahir itu adalah penjelmaan leluhur kita. Wujud formal dari mendidik anak cucu itu disebut Manusa Yadnya oleh umat Hindu di Bali. Secara filosofi hal itu juga wujud dari berbakti kepada leluhur saat beliau menjelma menjadi anak cucu kita. Dalam setiap upacara yadnya ada jamuan makan bersama. Hal ini sebagai simbol untuk mendorong kita ikut aktif mengembangkan kesejahteraan ekonomi di lingkungan kita. Berkarma untuk memberikan pendidikan dan latihan keterampilan pada generasi muda, sehingga dengan pendidikan dan latihan itu mereka mampu hidup mandiri. Dengan cara itulah sebagai salah satu cara memaknai jamuan makan bersama dalam upacara yadnya. Karma seperti itu juga akan dapat menambah karma baik leluhur di alam niskala. Keyakinan yang diajarkan dalam Manawa Dharmasastra tersebut belum banyak dipahami oleh umat dalam melakukan upacara Pitra Yadnya seperti Ngaben, Memukur dan Nuntun Dewa Hyang itu. Pitra Yadnya itu bukanlah dalam wujud ritual semata. Nilai-nilai spiritual harus dilanjutkan dalam kehidupan sehari-hari. * I Ketut Gobyah |
Source : Balipost |
Toko Buku Hindu dan Buku Spiritual Online...Kami menjual buku-buku Hindu dan Spiritual lainnya secara online terbitan penerbit Media Hindu, Paramitha, BaliPost, dan lain-lain. Kami bisa melakukan pengiriman ke seluruh Indonesia.
Selasa, 07 April 2015
Ngaben dan Tujuan Memuja Leluhur
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar