Kamis, 28 Mei 2015

Aji Sangkhya dan Ida Ketut Jelantik

Sumber Ilham dan Masalah Intertekstualitas
IDA KETUT JELANTIK adalah salah satu dari beberapa sastrawan asal Buleleng yang semasa hidupnya bekerja keras mempelajari tattwa atau darshana isi dari peradaban-batin Bali. Kebesaran namanya dapat disejajarkan dengan nama legendaris I Gusti Bagus Sugriwa, juga asal Buleleng, seorang Guru bagi banyak agamawan Bali sekarang.
Siapakah Ida Ketut Jelantik itu? Sebagai manusia darah-daging ia lahir dan dibesarkan di Banjar Tegeha, Kecamatan Banjar, Singaraja. Ia meninggal pada 18 November 1961. Sebagai sastrawan ia telah 'menyumbangkan' sejumlah karya penting dalam khasanah sastra Bali. Beberapa karyanya antara lain Geguritan Sicita Subudi, Geguritan Lokika, Geguritan Bhagawadgita, satua Men Tingkas, dan sebuah buku tattwa berjudul Aji Sangkhya.
Membicarakan Ida Ketut Jelantik sama menariknya dengan membicarakan karya-karyanya. Dan memang seperti itulah ciri orang-orang yang dalam hidupnya berkarya. Ada hanya batas tipis antara karya dengan yang berkarya. Seperti juga tipis batas antara pikiran dengan yang berpikir. Dalam tulisan kecil ini, akan dibicarakan salah satu karyanya, yaitu Aji Sangkhya. Karya ini sangat penting dalam rangka memahami konsep-konsep yang ada di balik pandangan-dunia Bali. Selain itu, juga penting karena pandangan dunia yang ada dalam Aji Sangkhya dapat menjelaskan dengan cukup sistematis sebagian besar upacara yang dilakukan di Bali.
IDA KETUT JELANTIK menyusun naskah Aji Sangkhya, pada tahun 1947, dengan menggunakan bahasa Bali yang benar dan indah. Naskah itu, dan juga barangkali salinannya, berpindah tangan di kalangan peminat dan relasi tertentu saja. Selain karena ajaran yang ada dalam naskah itu tidak mudah bagi seorang pemula, juga karena situasi dan kondisi dunia penerbitan di Bali ketika itu masih jarang. Ia sendiri pada tahun itu menerbitkannya dalam bentuk buku yang masih sangat sederhana. Seperti sebuah anak panah, begitulah sebuah karya itu bisa diumpamakan. Begitu dilepas dari busur pengarangnya, anak panah itu tidak lagi ada dalam kendali pengarangnya. Buku sederhana Aji Sangkhya itu pun bergerak dan terus bergerak mencari dan menemukan muara-muaranya.
Pada tahun 1950 seorang peneliti Belanda bernama C. Hooykaas menerjemahkan naskah itu ke dalam bahasa Belanda, dengan judul Changkhya Leer van Bali. Pada tahun 1972 ada seorang bernama Gde Sandhi, B.A. mengaku beruntung mendapatkan naskah Aji Sangkhya dari sejumlah naskah yang tertulis dalam bahasa Bali yang disusun oleh Ida Ketut Jelantik. Orang yang 'beruntung' itu kemudian membolak-balikkan naskah Aji Sangkhya itu untuk memahami apa yang dikatakan dan untuk mengerti apa yang dimaksudkan. Perjuangannya itu mengantarkannya pada satu kesimpulan untuk dirinya, bahwa isi naskah itu penting, bahkan sangat penting. Bukan hanya penting untuk dirinya, ia yakin bahwa isi naskah itu penting untuk orang Bali khususnya dan untuk umat Hindu umumnya.
Apa yang kemudian ia lakukan terhadap naskah itu? Beginilah pengakuannya.
'Mengingat perkembangan Agama Hindu di Indonesia, di mana penganut-penganutnya kini telah tersebar luas di seluruh Indonesia, sedangkan buku-buku yang bersifat keagamaan masih banyak yang tertulis dalam bahasa daerah, khususnya Bahasa Jawa Kuno, maka untuk dapat mendalami ajaran Agama itu penyusun berusaha menterjemahkan Aji Sangkhya ke dalam Bahasa Indonesia, untuk mempermudah penganut-penganutnya dalam mempelajari Agamanya (....).' (revisi ejaan oleh penulis, IBM).
Begitulah Gde Sandhi, B.A. kemudian mengerjakan alih bahasa Aji Sangkhya dari bahasa Bali ke bahasa Indonesia tak lama setelah ia 'beruntung' menemukan naskah itu. Dan setahun kemudian, 1973, buku berjudul Aji Sangkha diterbitkan oleh Dirjen Bimas Hindu dan Buddha. Bentuknya mungil seukuran buku saku. Terdiri dari 57 halaman. Dengan tata letak dan perwajahan sangat-sangat sederhana. Tanpa daftar isi, tanpa keterangan tentang penulis, tanpa daftar pustaka, dengan hanya sedikit kata pengantar dari penerjemah. Dan pengakuannya yang dikutip di atas, berasal dari kata pengantar itu. Pengakuan itu menarik diperhatikan karena mencerminkan semangat yang tinggi dan kecintaan luar biasa.
Setelah dibuka dengan penjelasan tentang Cetana (unsur yang berkesadaran) dan Acetana (unsur tanpa kesadaran), buku Aji Sangkhya dimulai dengan Bab I Paramashiwa Tattwa (Shiwa yang sunya). Bab II Sadashiwa Tattwa (shiwa yang siddha-shakti), Bab III Shiwatma Tattwa (Shiwa yang wisesa, Atma).
Purusa dan Pradhana Tattwa (Bab IV), Citta (Bab V), Buddhi (Bab VI), Ahangkara (Bab VII), Ekadasa Indriya dan Panca Tan Matra (Bab VIII), Panca Mahabhuta Tattwa (Bab IX), dan ditutup dengan penjelasan tentang tattwa Manusa (Bab X), serta lampiran struktur tattwa menurut pandangan Samkhyadarshana Bali.
Dari mana Ida Ketut Jelantik mendapatkan sumber-sumber Tattwa yang disusunnya menjadi sangat sistematis itu? Pertanyaan tentang sumber adalah pertanyaan yang sah adanya. Sumber adalah referensi. Referensi adalah petunjuk ke mana kita mencari penjelasan lebih lanjut, dan juga ke mana kita mengecek 'kebenaran' sebuah pernyataan dan ulasan. Dan inilah sumber-sumber yang diacunya: Wrehaspatitattwa, Bhuwana Kosa, Tattwa Jnana, Brahmanda Purana, Panca Wingsati Tattw, Yoga Sutra, Nirmalajnana, Sang Hyang Dasatma, Catur Yuga Widhi Sastra, dan Sapta Bhuwana.
Deretan judul Kitab-Kita acuan di atas adalah kelompok Kitab darshana yang tertua yang ditemukan di Bali. Para ahli yang mendalami bidang ini menyatakan bahwa kitab-kitab tattwa-darshana lainnya yang ditemukan di Bali adalah turunan dari kitab-kitab tua itu.
Apakah Aji Sangkhya karangan Ida Ketut Jelantik adalah juga turunan dari kitab-kitab itu? Beberapa pengamat Bali pernah menyatakan bahwa Aji Sangkha adalah ringkasan dari isi kitab-kitab itu. Ada pula yang mengatakan bahwa Aji Sangkha adalah sistematisasi dari ajaran kitab-kitab sumber itu.
Dan berikut inilah yang ingin saya katakan tentang buku Ida Ketut Jelantik itu. Seumpamannya ada sepuluh buku yang diacu Ida Ketut Jelantik, maka Aji Sangkhya adalah (menjadi) buku yang kesebelas. Bahwa ada beberapa buku yang mengilhaminya, dan diakuinya sebagai sumber, itu adalah masalah intertekstualitas, sebuah karya lahir karena ada banyak karya yang terlebih dahulu memasuki pikiran pengarangnya. Ida Ketut Jelantik adalah pengarang, bukan peringkas. Hanya saja dalam kasus Aji Sangkhya, kepengarangannya tidak semenonjol dalam karya-karyanya yang lain, seperti dalam Geguritan Sucita Subudi atau dalam Geguritan Lokika.
Buleleng! Di Den Bukit itu lahir banyak pengarang sejak dahulu?
IBM Dhama Palguna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net

Toko Online terpercaya www.iloveblue.net
Toko Online terpercaya www.iloveblue.net