KEHIDUPAN beragama dan bernegara di Indonesia ini bukanlah hal yang mesti dibuat berdikotomi. Sangatlah tidak tepat kedua dinamika kehidupan itu dibuat untuk bertabrakan satu sama lainya. Seharusnya kedua hal itu dibuat bersinergi, sehingga menjadi kekuatan yang sangat tangguh untuk memperkokoh kehidupan bersama, baik dalam kehidupan bernegara maupun beragama. Dengan demikian, akan menjadi nyata bahwa kehidupan berbangsa demi melindungi kehidupan beragama serta mencegah arogansi beragama.
Sementara kehidupan beragama akan menjadi sumber kekuatan moral dan mental masyarakat dalam dinamika berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, kehidupan beragama dan berbangsa menjadi saling membutuhkan.
Orientasi kehidupan beragama harus bergeser dari yang menekankan pada eksistensi simbol-simbol formal menuju pada menguatkan eksistensi spiritual dalam diri setiap umat beragama. Penguatan eksistensi spiritual dalam kehidupan individual itu harus diwujudkan dalam realitas sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, dinamika sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara akan menjadi semakin bermoral serta memiliki daya tahan mental yang tangguh.
Beragama dan bernegara akan menjadi sesuatu yang memiliki nilai lebih di Indonesia. Negara memiliki kewajiban konstitusional untuk menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk menganut serta beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing. Hal ini sangat dijamin oleh konstitusi Negara Republik Indonesia. Kalau eksistensi negara menjadi sumber penekan kehidupan beragama maka kehidupan beragama pun akan meletup menjadi sumber perlawanan yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan bernegara. Karena itu, hendaknya perekrutan SDM yang dipercaya mengemban tugas negara di pemerintahan tidak dipilih dari mereka-mereka yang hanya memperjuangkan diri untuk mencari fasilitas pribadi. Pilihlah mereka yang memiliki idealisme kenegaraan yang tepat untuk mempertemukan dua kegiatan hidup beragama dan bernegara itu menjadi bersinergi secara positif. Pemerintah jangan mengangkat SDM yang tidak paham akan sinergi dinamika antara kehidupan bernegara dan beragama.
Masalah kehidupan beragama sebagian besar menyangkut wilayah prevasi individual. Sedangkan kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi wilayah publik. Privasi individual beragama ini sebagai hak manusia yang paling asasi. Kalau kehidupan bernegara mampu benar-benar menjamin kemerdekaan beragama maka fungsi agama untuk memperkuat moral dan mental masyarakat akan semakin kelihatan.
Dengan demikian perilaku berbangsa dan bernegara pun akan menjadi semakin bermoral. Masyarakat pun tidak mudah kena provokasi karena sudah memiliki kekuatan mental yang tangguh menghadapi berbagai godaan dan tantangan hidup. Kalau beragama itu hanya merupakan kegiatan untuk mengeksistensikan simbol-simbol agama yang hanya bernilai formalistik maka akan mehasilkan manusia-manusia yang suka berhura-hura.
Dalam ajaran Hindu ada dua arah beragama yang harus diseimbangkan. Ada yang disebut Prawrti Marga yaitu beragama ke luar diri dan Niwrti Marga yakni bergama ke dalam diri. Umumnya dewasa ini lebih banyak yang menonjol beragama dengan Prawrti Marga. Beragama dalam kebersamaan yang tidak mengarah pada pengabdian sosial. Beragama dengan penekanan Prawrti Marga itu harus mengutamakan kehidupan untuk mengabdi pada kepentingan bersama guna dapat hidup setara secara adil.
Kehidupan bersama dalam kegiatan beragama bukan untuk mengagung-agungkan kelompok sendiri dan menganggap rendah kelompok lainya. Prawrti Marga bukan untuk mengeksistensi kelompok dengan eksklusivisme. Hal ini akan dapat menimbulkan kesan merendahkan kelompok yang lain. Dengan demikian, arah beragama dengan Prawrti Marga akan menjadi sumber konflik antarkelompok. Prawrti Marga seharusnya membangun kesadaran kolektif yang positif untuk mewujudkan kebenaran (satyam) dan kesucian (siwam) melalui jalan yang damai dan harmonis (sundaram).
Keharmonisan dan hidup damai tidak dipaksakan dari atas untuk mengelabui terkuburnya kebenaran dan kesucian dalam masyarakat. Simbol-simbol keagamaan yang sakral jangan dibiarkan menjadi sarana oleh para elite untuk melegitimasi kekuasaan, berbuat hanya berdasarkan kekuasaan.
Kehidupan beragama jangan dibiarkan menjadi simbol membangun harmoni semu untuk mengalihkan tuntutan masyarakat pada tegaknya kebenaran dan kesucian. Keharmonisan yang indah (sundaram) akan datang dengan tegaknya kebenaran dan kesucian.
Beragama dengan Prawrti Marga harus seimbang dan sinergi dengan beragama melalui jalan Niwrti Marga. Niwrti Marga adalah beragama kedalam diri untuk membenahi struktur diri menjadi struktur individu yang ideal. Individu yang ideal adalah individu yang siap membangun kebersamaan yang setara membangun sifat-sifat kedewaan untuk mencegah timbulnya arogansi sosial.
Sikap arogan itulah sebagai pemicu timbulnya kerusakan sosial. Kehidupan beragama dan bernegara akan menjadi sangat mengasyikkan karena memiliki nilai lebih kalau ia benar-benar bersinergi. Ia akan menjadi tidak bernilai kalau dua kehidupan itu tidak diposisikan sebagai dua kehidupan yang saling memerlukan.
sumber : http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2004/10/26/o5.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar